Inspiring

Imam Ahmad bin Hanbal: Tokoh Pendiri Mazhab Hambali

3 Mins read

Imam Ahmad terlahir dengan nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal. Ia lahir di Baghdad pada tahun 164 H dan meninggal pada tahun 241 H di Baghdad. Kedua orangtuanya keturunan Arab dari Kabilah Syaiban. Ia berjumpa nasab dengan Nabi Muhammad Saw pada Nazar.

Perjalanan Hidup Imam Ahmad

Keluarganya tinggal di Khurasan, sebab kakeknya merupakan pejabat yang mengepalai wilayah Sarakhsi, bagian dari Khurasan, Persia, pada zaman Amawy. Namun, Hanbal menjadi pendukung Abbasiyyah, pada saat kekuatan politik Amawy mulai merosot; sehingga ayahnya (Muhammad bin Hanbal) dipercaya sebagai salah seorang pimpinan kompi pasukan perang Abbasiyyah.

Kemudian keluarga ini berpindah ke Baghdad. Ayah Imam Ahmad meninggal dalam usia 30 tahun, sebab terbunuh dalam peperangan. Sehingga, Imam Ahmad tidak sempat mengenal ayahnya dengan sempurna. Imam Ahmad akhirnya diasuh dan dididik oleh ibunya dengan pengawasan pamannya.

Imam Ahmad bin Hanbal hidup di Baghdad, yang merupakan pusat peradaban dan ilmu pengetahuan terbaik saat itu. Di sana, tinggal para pakar ilmu pengetahuan. Sejak kecil, Imam Ahmad menghafal al-Qur’an, belajar bahasa Arab, hadis, dan sejarah. Ketika beranjak dewasa, Imam Ahmad memilih untuk menekuni Ilmu Hadis.

Hingga hal tersebut menuntutnya untuk mengembara ke berbagai kota untuk mencari hadis. Dalam pengembaraannya, Imam Ahmad juga mengkaji fikih. Karena itu, ia dapat memadukan hadis dan fikih sekaligus. Ia memilih hadis bukan tanpa alasan.

Pada awalnya, ia belajar fikih di bawah asuhan Imam Abu Yusuf, Hakim Agung (Qadi al-Qudat) saat itu. Namun, hati Imam Ahmad lebih condong kepada hadis, tidak kepada fikih. Meski demikian, Imam Ahmad pada awal hidupnya telah mengenal fikih rasionalis dari salah satu tokoh utamanya, Imam Abu Yusuf.

Baca Juga  Hukum Islam di Masa Daulah Abbasiyah

Awal Mula Terbentuknya Mazhab Hambali

Sebagai pencinta hadis, Imam Ahmad bin Hanbal harus rela untuk mengembara ke berbagai kota. Sebab para ulama hadis telah berpencar ke kota-kota tersebut. Hal ini menuntut pengorbanan yang besar. Ia mulai mencari hadis di Baghdad selama tujuh tahun.

Sejak tahun 179 H, ia mulai mengembara mencari hadis ke Bashrah. Pada tahun berikutnya ke Hijaz, kemudian secara berturut-turut pengembaraannya ke Bashrah, Kufah, Hijaz, dan Yaman. Pengembaraan mencari hadis tersebut dalam rangka bertemu dengan para perawi hadis yang masih hidup dari mulut ke mulut (syafahan).

Ia tidak merasa cukup hanya menukil dari bukunya saja, agar benar-benar meyakinkan (tatsbit). Ia pergi ke Bashrah lima kali dan ke Hijaz lima kali juga. Saat itu, ia bertemu dengan Imam Syafi’i di Masjidil Haram, Mekkah. Kemudian ia bertemu lagi dengannya di Baghdad ketika Imam Syafi’i menyebarkan mazhab-nya.

Pertemuannya dengan Imam Syafi’i yang mementahkan fikih rasional, memberikan pengaruh pada pemikiran Imam Ahmad. Ia pun mengembangkan fikih tradisional dengan lebih banyak menggunakan as-Sunnah sebagai rujukan dalam memberikan fatwa.

Imam Ahmad hidup cukup sederhana. Ia tidak memiliki mata pencaharian tetap sebagaimana Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Ia juga tidak memperoleh fasilitas dari pemerintah, sebagaimana Imam Syafi’i.

Sumber keuangan yang sering mendatangkan hasil baginya adalah warisan rumah dan tanah. Serta peralatan penyulaman yang sering disewakan kepada orang-orang yang memerlukannya. Seluruh waktunya dihabiskan untuk melakukan analisis terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad Saw.

Ia juga menyusun hadis berdasarkan sistematika sanad, sehingga lahir karya besarnya berjudul Musnad Ahmad bin Hambal. Karya ini ditulis dengan bantuan murid-muridnya, terutama Abdullah, putranya sendiri.

Baca Juga  Melihat Fikih Lewat Kaca Mata Lingkungan Hidup

Dalam mencari hadis, Imam Ahmad lebih memilih jalan sulit daripada jalan mudah. Ketika lima kali mencari hadis ke Hijaz, tiga kali di antaranya dilakukan dengan jalan kaki. Ketika hendak berangkat ke Hijaz, ia berniat mencari hadis kepada para ahli hadis Mekkah dan Madinah. Kemudian dilanjutkan ke Shan’a, dan Yaman.

Filosofi Hidup Imam Ahmad bin Hanbal

Ketika melakukan ibadah haji di Mekkah, ia bertemu dengan Abdurrazzaq bin Humam. Sebenarnya, Imam Ahmad bin Hanbal bisa saja mengambil hadis darinya saat itu, namun hal itu tidak dilakukannya. Sebaliknya, ia lebih memilih bersusah-payah ke Shan’a untuk mengambil hadis darinya.

Hal ini mungkin dilandasi filosofi bahwa yang sulit tidak mudah dilupakan. Dan yang mudah sering dilupakan (sha’bu la yunsa wa as-sahlu yunsa). Dalam suatu perjalanan, Imam Ahmad selalu memanggul catatan-catatan yang diperolehnya di atas pundaknya. Beban catatan tersebut cukup berat.

Saat itu, ada orang bertanya “Sampai kapan Anda melakukan pencarian hadis ini?” Imam Ahmad menjawab, “Saya akan selalu ditemani tinta (pena) sampai ke liang kubur.” (Ma’a al-Mihbarah ila al-Maqbarah).

Namun, perlu diketahui bahwa yang dicari dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad bukan sekadar hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, juga fatwa dan putusan hukum para sahabat, serta fatwa dan putusan hukum murid sahabat Nabi.

Riwayat-riwayat tersebut, di samping merupakan sunnah, juga fikih yang cukup mendalam. Karena itu, riwayat-riwayat Imam Ahmad tidak pernah terlepas dari fikih dan fatwa. Bagaimanapun juga, ia telah belajar fikih rasionalis kepada Imam Abu Yusuf yang memberikan pengaruh cukup besar pada pemikiran hukumnya.

Pemikirannya semakin matang ketika ia berguru kepada Imam Syafi’i di Mekkah dan Baghdad. Sebenarnya, ia juga hendak menyusul Imam Syafi’i ke Mesir, namun niat tersebut tidak terwujud.

Baca Juga  Posisi Hadis Mauquf, Mursal, dan Daif bagi Muhammadiyah

Dengan keterpaduan hadis dan fikih dalam diri Imam Ahmad bin Hanbal, maka ia dipandang sebagai ahli ijtihad, ahli hadis, bahkan ahli Ilmu Kalam. Mengingat bahwa ia dianggap sebagai pendiri aliran salaf.

Editor: Zahra

Avatar
5 posts

About author
Mahasiswa S2 Komunikasi & Penyiaran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *