Tafsir

Memanah, Renang, dan Berkuda: Bukan Sunnah

4 Mins read

Memang tidak rutin, tetapi seringkali saya menghabiskan akhir pekan bersama keluarga di sebuah kawasan perumahan yang belakangan ini ramai oleh para pencari suasana santai. Di tengah situasi itu, ada sebuah pemandangan yang menarik.

Sebidang tanah luas di samping sebuah pemakaman di kompleks perumahan itu terlihat ramai oleh sejumlah pelajar yang tengah berlatih memanah. Tak hanya aneka perlengkapan memanah, di situ juga terlihat seekor kuda yang secara bergantian dinaiki oleh para pelajar tersebut. Dari spanduk yang terpampang, mudah diduga bahwa itu adalah kegiatan sebuah lembaga pendidikan Islam.

Pemandangan ini menyita perhatian orang yang lalu-lalang, karena terlihat asing. Namun, tidaklah sulit mendapati pemandangan serupa di berbagai tempat di Indonesia akhir-akhir ini. Memanah dan berkuda banyak diajarkan di berbagai pusat pendidikan Islam sebagai implementasi dari hadits Nabi Muhammad tentang perintah mengajarkan kepada anak-anak ketrampilan berenang, memanah, dan berkuda.

Hukum Memanah, Renang dan Berkuda: Mubah

Hadits itu diriwayatkan oleh Jabir bin Abdilah dan berbunyi: “Segala sesuatu yang tidak mengandung dzikrullah (menyebut nama Allah) merupakan perbuatan yang sia-sia, senda gurau dan permainan belaka; kecuali empat perkara, yaitu: senda gurau suami dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah dan mengajarkan renang.”

Sebenarnya, hadits di atas tidak secara langsung menunjukkan perintah kepada umat Islam untuk mengajarkan ketiga ketrampilan tersebut kepada anak-anak mereka. Dalam kenyataannya, yang lebih banyak dikutip sebagai dasar bukanlah hadits di atas, melainkan perkataan Umar bin Khattab: “Ajarilah anak-anakmu berkuda, berenang, dan memanah.” Dalam banyak konteks, perkataan ini sering dianggap sebagai hadits Nabi.

Sementara di kalangan para ahli hadits perdebatan seputar status dan ke-hujjah-an hadits yang dikutip di atas masih terus berlangsung, dinamika pemahaman umat Islam Indonesia terhadap hadits ini juga tak kalah menarik. Secara umum, pemahaman itu bisa dibagi ke dalam dua arus besar, yaitu literalis dan kontekstualis.

Para pendukung arus literal menafsirkan dan memahami hadits ini sebagaimana bunyinya. Berbekal keyakinan itu, lalu mereka menjadikan memanah, renang, dan berkuda sebagai bagian dari kurikulum pendidikan formal. Maraknya kelas-kelas memanah dan berkuda di berbagai sekolah Islam belakangan ini adalah wujud dari pemahaman literal atas hadits ini. Bagi mereka, memanah lebih dari sekadar olahraga biasa. Lebih dari itu, berlatih memanah adalah menghidupkan sunnah Rasulullah.

Baca Juga  Nabi Muhammad tidak Pernah Pakai Celana Cingkrang!
***

Sebaliknya, para pendukung arus kontekstual berpandangan bahwa hadits di atas harus dipahami secara kontekstual dan bukan semata-mata mengikuti bunyi harfiahnya. Ahli fiqih Indonesia, Ahmad Sarwat, misalnya, berpandangan bahwa memanah, renang, dan berkuda ini adalah mubah. Baginya, terlalu jauh menganggap hadits ini sebagai sunnah dan apalagi memberlakukannya sebagai kewajiban.

Lebih dari itu, Ahmad Sarwat juga berpandangan bahwa dengan memperhatikan bunyi hadits Nabi di atas akan terlihat sebenarnya renang bukan perbuatan yang sia-sia. Hanya saja, Nabi Muhammad tidak memerintahkan secara langsung renang tersebut dan apalagi memberikan contohnya dalam bentuk perbuatan.

Di tengah  persilangan pendapat ini, saya memilih mengikuti pandangan kontekstual. Salah satu dasar yang saya gunakan untuk sampai kepada sikap ini adalah bahwa tidak semua sunnah Nabi merupakan sunnah yang harus diikuti sebagai bagian dari ibadah keagamaan.

Memahami Sunnah dan Tafsirnya

Pada umumnya, ulama membagi sunnah Nabi Muhammad ke dalam dua bagian, yaitu sunnah tasyri’iyyah dan sunnah ghairu tasyri’iyyah. Memang persoalan sunnah tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah ini telah menjadi bahan perdebatan di kalangan para ulama. Ada yang berpandangan bahwa sunnah Nabi Muhammad tidak boleh dibedakan, dengan hujjah bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pribadi yang tidak mungkin perbuatannya dipisah-pisahkan. Lebih dari itu, mereka bahkan menganggap pemilahan tersebut adalah pengaruh Barat pada pemikiran umat Islam.

Sedangkan, mereka yang menganut pemilahan sunnah tasyri’iyyah dan ghairu tasyri’iyyah berpandangan bahwa sebagian di antara sunnah hanya timbul untuk merespons dan memberi solusi terhadap kejadian tertentu pada tempat-tempat tertentu. Karena itu, sunnah seperti ini bersifat kondisional, sehingga tidak tepat apabila diterapkan untuk kasus-kasus dalam kondisi yang lain serta di tempat-tempat yang lain. Hal yang lebih penting dari sunnah seperti ini adalah nilai substantifnya atau yang dalam bahasa hukum Islam disebut dengan illat.

Atas dasar ini, pemahaman saya tentang memanah berbeda dengan kalangan literalis. Dalam sebuah forum ilmiah di mana saya menjadi salah satu pembicara bersama Profesor Imam Suprayogo, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, terungkap sebuah perspektif yang menarik. Menurut Imam, yang harus kita teladani dan ambil pelajaran dari memanah, berenang, dan berkuda adalah nilai-nilai substantif, bukan bentuk fisiknya.

Baca Juga  Tafsir Wabah (1): Memahami Definisi Azab

Dalam memanah, kata Imam, diperlukan fokus pada satu titik. Demikian pula, olahraga ini memerlukan keselarasan antara otak dan berbagai anggota badan. Otak berfokus pada titik tujuan, sementara tangan dan mata menjalankan fungsinya untuk mewujudkan tujuan pada sasaran tembak. Demikian halnya dalam kehidupan. Untuk mencapai satu tujuan, diperlukan fokus dan kerjasama antar berbagai elemen, dan untuk mencapai keberhasilan, fokus pada satu titik adalah keniscayaan.

***

Masih menurut Imam, makna kiasan ini juga bisa diterapkan pada renang. Renang adalah olahraga air yang meniscayakan seorang perenang untuk selalu menggerakkan tangan dan kaki. Ketika tangan dan kaki tak bergerak, maka perenang akan tenggelam. Falsafah ini juga berlaku dalam kehidupan. Maknanya, hidup tidak boleh berhenti kalau kita tidak ingin terlindas roda zaman dan ketatnya persaingan. Dengan kata lain, renang merupakan kiasan yang mengirimkan pesan agar manusia selalu kreatif dan inovatif, serta tidak berputus asa ketika mengalami kegagalan.

Tentang kuda, hal ini juga memberikan isyarat zaman kepada umat manusia untuk bertindak efektif dalam berhubungan dengan persoalan-persoalan praktis kehidupan. Misalnya, dalam hal transportasi, kuda adalah sarana transportasi tercepat pada zaman itu. Maka gunakanlah sarana yang tercepat karena itu adalah juga bagian dari penghormatan terhadap waktu yang juga merupakan ajaran Islam.

Lebih jauh tentang kuda ini, dalam Encylopedia Britannica disebutkan bahwa kuda adalah binatang yang memiliki hubungan sangat unik dengan manusia. Kuda adalah partner dan sahabat bagi manusia dalam menyelesaikan urusan-urusan kehidupan duniawi. Barangkali karena hal ini, lalu kuda dijadikan sebagai ukuran daya. Istilah tenaga kuda atau horse power yang muncul pada awal zaman uap, adalah buktinya.

Tafsir Kontekstual: Memanah, Renang, dan Berkuda

Selain tafsiran di atas, pada konteks zaman ini, panahan, renang, dan berkuda; bisa diartikan sebagai senjata, strategi, dan transportasi. Jika ditarik pada pendidikan keluarga, mengajarkan panahan kepada anak, bermakna membekali anak dengan keterampilan-keterampilan taktis pertahanan diri. Saya ingat, semasa kecil dulu, Bapak dan Ibu selalu mendorong saya untuk ikut latihan bela diri. “Untuk mempertahankan diri jika terjadi apa-apa. Syukur jika bisa menolong orang,” demikian nasihat Ibu.

Baca Juga  Mengamalkan Sunnah yang Bukan Cuma Ngutip Dalil Lalu di-Share

Dalam konteks umat, memanah adalah isyarat agar umat Islam selalu menguasai persenjataan dan strategi militer. Dinamika zaman ini mengajarkan sebuah kesadaran bahwa senjata fisik tak lagi menjanjikan kemenangan. Perang masa kini bukan lagi perang dengan senjata yang terlihat. Jika Anda percaya tentang tidak alaminya virus corona, itulah bukti perang dengan senjata non-fisik itu.

Lalu renang. Berenang adalah simbol inovasi, strategi, dan survival. Baik dalam konteks keluarga maupun umat, ketiganya sangat penting. Anak-anak harus dibekali dengan kemampuan untuk berkompetisi pada zamannya. Karena setiap generasi memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Bukankah Rasulullah juga bersabda: “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka, bukan zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zaman mereka, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian.”

Karena itu, memaknai panah, renang, dan kuda sesuai zamannya sangatlah penting. Maka, memanahlah dengan panah zamanmu. Berenanglah pada kolam zamanmu. Dan naiklah kuda sesuai kuda pada zamanmu.

Editor: Arif
Desain Grafis: Galih Qobid Mulkhi
Admin Publisher: Yahya FR
Avatar
37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

2 Comments

  • Avatar
  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *