FeaturePerspektif

Puasa Hijau: Cara Baru Menyambut Ramadan

3 Mins read

Oleh : Aprizal Sulthon Rosyid

Kota Malang dikenal sebagai kota berhawa sejuk, tapi sekarang anggapan itu tidak begitu tepat. Kota Malang sudah panas; didapuk sebagai kota termacet ketiga di Indonesia. Kian tahun kendaraan membludak, sedang infrastruktur transportasi tidak (bisa) diperlebar lagi. Sementara mahasiswa rantau kian kelas menengah sehingga mampu membawa kendaraan pribadi. Lengkap sudah syarat sumpeknya sebuah kota.

Saya cukup beruntung. Saya tinggal di Dadaprejo, sebuah kawasan persawahan di pinggiran Kota Batu. Jarak antar rumah masih jarang, diselingi dengan petak-petak sawah atau kebun bunga. Kadang saya sempatkan diri bersantai mengelilingi area persawahan. Saya senang mendengar obrolan dunia hewan. Di malam hari, suara katak, gangsir, orong-orong, bersahut-sahutan. Suara-suara itu puitis dalam arti tertentu.

Hewan sama seperti manusia, butuh kenyamanan hidup. Namun beberapa dekade terakhir, manusia mendapatkan pembenaran bahwa kemajuan berarti ‘pertumbuhan ekonomi’ dan jalan satu-satunya untuk berjaya adalah ‘terus membangun’. Beban lingkungan tidak pernah menjadi prioritas pertimbangan. Maka pada pukul satu malam, bila engkau berjalan kaki dari Jetis hingga Dadaprejo, engkau takkan mendapati suara hewan malam di pohon-pohon. Mereka telah diusir oleh “hasil dari membangun” itu. Udara keruh dan bising.

Di Jalan Raya Dermo sudah tak bisa engkau temukan hamparan sawah yang tenang. Warung-warung kopi sudah berdiri di sepanjang sisi jalan. Warung-warung itu “dibangun” dan merupakan simbol kemajuan. Sekalipun pembangunan dilakukan di atas tanah sewaan (sebab sawah Dermo milik negara), tetap saja itu artinya ruang terbuka hijau makin berkurang. Sawah dilihat oleh manusia sebagai tanah kosong yang bisa dibangun-banguni sesuatu.

Padahal, istilah ‘tanah kosong’ bukan istilah yang benar; yang benar adalah ‘lahan kosong’. Kata lahan merujuk pada tanah sebagai kegunaan (bagi manusia), bukan sebagai eksistensi ontologis. Ada baiknya kita membaca esai Aldo Leopold yang dibukukan pada tahun 1949, berjudul “Etika Tanah”. Di sana ia menegaskan bahwa makna tanah lebih dari sekadar lahan (the land is not merely soil); tanah adalah rumah bagi keluarga ekosistem. Tidak ada tanah yang kosong; tanah selalu dipenuhi kehidupan.

Baca Juga  Agama Itu Sederhana, Menjadi Rumit Karena Umatnya

Sawah-sawah lain di sekitar Dermo menghilang satu per satu. Berdirinya sebuah kafe di tengah sawah akan memicu tren alih fungsi lahan dan mengundang berdirinya banyak kafe. Maka selamat tinggal lumbung pangan. Selamat tinggal kodok dan jangkrik. Selamat tinggal burung-burung pengincar padi. Manusia terus membangun. Petani semakin lelah bertani; mereka tergoda oleh petani lain yang makmur karena menjual tanah. Pemilik modal melihatnya sebagai kesempatan, bukan keprihatinan.

Kita masih bersyukur, warung-warung diisi dengan percakapan manusia yang tidak bising. Satu dua memutar musik, tapi terdengar di dalam warung masing-masing. Tapi ada juga kafe yang tidak tahu diri: di jalan Dermo, ada satu kafe yang menggelar konser musik setiap malam, dengan suara yang menembus radius puluhan meter, mengganggu warung kopi lain, mengganggu “warga sawah” lain. Tapi atas nama kemajuan, polusi suara bukan soal. Semua demi sepotong rizki.

Di hadapan ideologi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, definisi rizki hanya satu: uang.

***

Ramadan tiba sesaat lagi. Saya ingin mengajak siapapun untuk melihat bulan puasa dengan cara baru. Saya menyebutnya Puasa Hijau.

Ajaran Islam punya dua unsur, yaitu ‘bentuk’ dan ‘semangat’. Sesungguhnya, kedua unsur itu bersifat wajib. Mengabaikan salah satu akan membuat ajaran Islam tidak utuh dan kemudian hilang arah. Ilmu tentang keberpaduan bentuk dan semangat disebut “Maqasid Syariat”. Bentuk syariat dimaksudkan untuk menunaikan semangat syariat. Bila tidak, maka bentuk tinggallah bentuk; keberadaannya boleh jadi sama dengan bentuk-bentuk lain. Tidak istimewa.

Bentuk puasa adalah menahan diri dari makan dan minum sejak matahari terbit hingga tenggelam, sedang semangatnya adalah consumeless, meminimalkan konsumsi dalam pengertian yang luas. Ketika keduanya (bentuk dan semangat) dipadukan, tampaklah cita-cita agung puasa, yakni kehidupan yang asketis. Substansi dari asketisme adalah menahan diri dari godaan konsumsi meski mampu; dan, alih-alih peradaban kuantitas (to have), lebih penting membangun peradaban kualitas (to be). Puasa, pada akhirnya, menghendaki kehidupan demikian.

Baca Juga  Berubah, Kenapa Tidak?

Nabi Saw. telah mencontohkannya. Mari melihat sejumlah riwayat asketisme Nabi Saw: beliau pernah ditawari Allah sebuah istana yang terbuat dari emas, namun beliau memilih hidup sederhana. Beliau juga ditawari kekuasaan bak raja, namun beliau memilih hidup merakyat. Asketisme Nabi Saw. menegaskan bahwa hidup yang dianggap memprihatinkan sesungguhnya merupakan hidup yang paling ideal. “Hidup prihatin” ala Nabi Saw. adalah hidup yang memiliki secukupnya, menikmati sebutuhnya dan tidak menimbun-nimbun.

Selama ini, asketisme Nabi Saw. direfleksikan dalam kerangka keadilan sosial, di mana tujuan asketisme adalah distribusi kesejahteraan. Puasa Hijau adalah refleksi yang melampaui itu: tujuan asketisme dalam Puasa Hijau adalah menghentikan mode keserakahan ekonomi manusia dan berbagi ruang yang sehat untuk masyarakat ekologis.

Puasa Hijau adalah upaya untuk tidak meladeni keinginan-keinginan yang punya konsekuensi buruk terhadap alam. Puasa Hijau adalah mengendalikan kegilaan dalam membeli dan membangun. Puasa Hijau adalah menyangkal godaan antroposentris yang mendaulat manusia sebagai sentral pertimbangan tindakan moral—bahwa manusia, dengan mandat Tuhan, berhak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara mencelakakan lingkungan. Puasa Hijau adalah menahan diri dengan meyakini bahwa dengan berpuasalah bumi yang disakralkan Tuhan bisa diselamatkan dari tangan jahat manusia sendiri.

Namun tentu, tantangan berat ada di hadapan perjuangan Puasa Hijau, sebab mode produksi dan mode konsumsi umat Islam hari ini (masih) disetir imajinasi kehidupan kelas menengah. Alih-alih memenuhi kebutuhan primer (dharuriyat) yang menuntut kualitas, ada rasa tidak tahan untuk, atau rasa malu jika tidak, memiliki kebutuhan hidup yang sekunder (hajiyat) dan tersier (tahsiniyat) yang menuntut kuantitas. Apalagi, kebutuhan non-primer harus dipenuhi dengan membeli komoditi—yang beban lingkungannya tinggi saat diproduksi atau dikonsumsi. Meninggalkan komoditi menjadi sulit bila tidak ada mode hidup alternatif. Manusia terjerat ketergantungan (sekaligus ketagihannya) sendiri. []

Baca Juga  Sepuluh Tahun Gus Dur, Merindukan Pembela Kaum Tertindas
Related posts
Feature

Sebuah Panduan Lengkap Bagi Kamu yang Ingin Nikah Beda Agama di Hongkong!

9 Mins read
“Kami bukan pasangan kaya raya dan berkecukupan. Tetapi, kebijakan negara yang diskriminatif untuk pasangan beda agama, menjadikan kami nekat dan bertekad menikah…
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds