Islam Berkemajuan – Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah menggelar Tanwir secara daring untuk membahas masalah urgen, yakni penundaan Muktamar dan Pandemi Covid-10 (10/07/2020). Tanwir kali mengambil tema khusus yaitu “Hadapi Covid-19 dan Dampaknya: Beri Solusi untuk Negeri”. Saat Covid-19 menjadi pandemi global, dan masuk Indonesia, jargon “Islam Berkemajuan” dituntut untuk membuktikan, yakni bagaimana menghadirkan pemahaman keislaman yang selaras dengan sains dan kemanusiaan, sehingga agama mampu menjadi solusi kehidupan.
Secara praksis kelembagaan, segera dan membentuk gugus tugas, Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), untuk penanganan pandemi Covid-19. Tidak cukup di situ, Muhammadiyah telah melahirkan beberapa ijtihad pemikiran keagamaan sebagai tuntunan beribadah dalam kondisi darurat Covid-19, misalnya shalat berjamaah di masjid diganti di rumah.
Hal ini tentu didasari landasan syariat yang kuat, pertimbangan sains, dan pemihakan kemanusiaan, sehingga Islam mempu menjadi jalan keluar persoalan kehidupan.
Islam Berkemajuan, Tantangan Pembuktian
Pembuktian Islam berkemajuan dalam menghadapi Covid-19 ini tentu tidak mudah. Sebagai contoh, fatwa-fatwa keagamaan Muhammadiyah ternyata tidak sepenuhnya diikuti oleh umat, termasuk warganya sendiri. Beragam respons, misalnya ada yang menyatakan jangan takut pada Covid-19, tapi takutlah pada Allah. Takut kepada Covid-19 ciptaan Allah itu tanda lemah iman.
Ada juga yang cocokologi Corona dengan Qarana di dalam Al-Qur’an. Seolah-olah virus Corona telah diberitakan Allah di dalam Al-Qur’an. Bagi logika ini Covid-19 itu peringatan dari Allah kepada manusia yang berbuat dzalim. Selain itu banyak juga yang terpengaruh dengan logika konspirasi, bahwa penyebaran virus Corona merupakan proyek senjata biologis milik Amerika Serikat. Ditambah dengan hoax yang berseliweran yang begitu massif.
Logika seperti inilah yang mendorong sebagian umat melakukan penolakan keras terhadap ditutupnya masjid dan ditiadakannya ibadah jama’ah di masjid. Bagi mereka masjid adalah tempat berlindung kepada Allah. Bagi mereka terjangkit virus, bahkan meninggal adalah takdir Allah. Bagi yang ngeyel biasanya menyatakan mengapa masjid ditutup, tetap di pasar-pasar dibiarkan?
Akan tetapi ada juga kalangan umat Islam ialah menyerukan karantina diri bahkan karantina wilayah dengan bersandar pada Hadits Nabi tentang wabah Tha’un. Selain itu ada juga ajakan oleh untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu, seperti, minum jahe, bawang merah, yang diyakini dapat meningkatkan daya tubuh dari serangan virus Corona, meskipun tanpa pembuktian ilmiah.
Islam Berkemajuan: Mendamaikan Agama dan Sains
Dari fenomena ini, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara “agama” dan “sains” masih belum selesai. Pada saat-saat tertentu seperti sekarang ini ternyata masih terjadi ketegangan hubungan antara keduanya. Hal ini mengingatkan saya pada sebuah buku yang berjudul Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science karya Nidhal Guessoum, seorang fisikawan teoritis.
Dalam buku ini menjelaskan betapa posisi dan pengaruh Alqur’an begitu luar biasa dalam kehidupan dan pemikiran umat Islam. Salah satu pertanyaan penting dalam buku tersebut: mengapa wacana seputar sains dan agama (serta isu-isu sosial dan politik) dalam umat muslim sering kali diwarnai referensi Alqur’an, apa-apa sebar dengan Alquran?
Ketika ada wacana logis yang berkembang dalam sains dan Islam sering kali diterima dengan baik oleh masyarakat awam dan elite muslim. Akan tetapi, jika tidak sepenuhnya kompatibel (antara Alqur’an dan sains) umat Islam sangat dengan mudahnya menghakimi sains.
Hubungan agama dan ilmu menurut Ian G. Barbour dapat diklasifikasi menjadi empat corak, yaitu Konflik (bertentangan), Independen (masing-masing berdiri sendiri-sendiri), Dialog (berkomunikasi) atau Integrasi (menyatu dan bersinergi). Hubungan yang bercorak Konflik dan atau Independen tidak nyaman untuk menjalani kehidupan yang semakin kompleks.
Dengan adanya fenomena Covid-19, saatnya Muhammadiyah tampil dengan “Islam Berkemajuan: mengintegrasikan antara agama dan sains untuk menyelesaikan problem kehidupan manusia.
Kolaborasi Agama, Sains dan Etika
Klaim bahwa virus korona adalah tentara Tuhan dari Wuhan untuk membunuh manusia ateis, misalnya adalah klaim subjektif. Klaim ini menepikan adanya virus yang secara objektif dapat dilihat dan ditemukan oleh para peneliti bidang medis dan kedokteran di laboratorium. Termasuk bagaimana umat beragama menghadapi isu Covid-19 yang sepenuhnya adalah wilayah sains.
Wabah virus korona tidak dapat diselesaikan oleh sains sendiri, terlepas dari bantuan keilmuan lain karena dalam praktik di lapangan diperlukan keilmuan sosial dan humaniora ketika hendak menegakkan aturan social dan physical distancing. Begitu pula ilmu-ilmu agama. Penganut agama yang terkena wabah virus korona, selain berdoa dan didoakan oleh yang lain, juga perlu ke rumah sakit untuk diterapi secara medis, yang sepenuhnya menggunakan metode ilmu pengetahuan objektif melalui pemeriksaan laboratorium yang ketat.
Pandemi Covid-19 menharuskan untuk kolaborasi dan integrasi antara berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan untuk memecah kebekuan dan memecahkan berbagai macam kompleksitas kehidupan. Masukan dan kritik dari berbagai disiplin (multidicipline) dan lintas disiplin ilmu (transdicipline) menjadi sangat dinantikan untuk dapat memahami kompleksitas kehidupan dengan lebih baik. Ilmu-ilmu keislaman, harus saling berkolaborasi dengan ilmu-ilmu kealaman, dan juga ilmu-ilmu sosial humaniora. Karena bencana alam akan berdampak pada kehidupan sosial, maka ilmu alam wajib berkolaborasi dengan ilmu sosial, demikian juga ilmu agama.
Manhaj Islam Berkemajuan: Agama Solusi Kehidupan
Inilah manhaj Islam Berkemajuan. Tidak cukup hanya menintegrasikan kebenaran agama dan sains, tetapi juga pertimbangan kemaslahatan kemanusiaan. Dalam majelis tarjih, Muhammadiyah mengintegrasikan pola pikir bayani, burhani, dan irfani. Bayani dengan berlandaskan Alquran dan Hadits, burhani berbasis pada sains, pengetahuan, dan hasil riset mutakhir, serta irfani berdasarkan pertimbangan empati kemanusiaanatau sikap ihsan.
Jadi untuk menjadi agama yang menjadi solusi kehidupan, tidak bisa agama berdiri sendiri, tetapi harus bergandengan-tangan dengan sains, baik itu social science maupun natural science juga pertimbangan kemanusiaan. Karena sejatinya, agama adalah dari kasih sayang Tuhan untuk kebaikan umat manusia dan semesta alam.
Dengan demikian, jika ilmu saja harus saling berkerjasama, maka sebagai manusia terutama ilmuwan, agamawan, penguasan dan seluruh elemen masyarakat juga harus saling bersatu saling bekerjasama untuk menghadapi Covid-19 ini.
Editor: Nabhan