Oleh: Lya Fahmi
Tiba-tiba Azaki Khoirudin berkomentar di status Facebook saya, “Puasa sebentar lagi usai, jangan lupa bayar hutang ya!”.
Saya tertawa pedih membaca komentar itu. Tertawa karena todongan itu datang persis di saat saya berniat mangkir dari melunasi hutang dan pedih karena hutang itu terpaksa harus saya lunasi juga akhirnya.
Hutang yang dimaksud oleh Azaki tentu janji saya untuk menuliskan pengalaman pertama Bilqis belajar puasa pada bulan Ramadhan. Oh iya, Bilqis itu anak saya satu-satunya, siapa tahu ada pembaca yang bertanya-tanya Bilqis itu siapa. 😀
Saya adalah sosok ibu yang suka membanding-bandingkan diri saya sendiri dengan anak saya di usia yang sama. Saya akan mengukur kemampuan dan capaian anak saya dengan kemampuan dan capaian saya di usia yang sama dengannya. Misalnya:
“Aku umur tiga tahun itu sudah bisa jajan sendiri ke warung, lho. Bilqis kok belum ya?”
“Aku umur lima tahun itu udah bisa mengeja, lho. Bilqis kok enggak ya?”
“Aku umur enam tahun udah bisa naik sepeda, lho. Bilqis belajar naik sepeda aja kok belum minat ya?”
Dan banyak lagi. Keinginan untuk membanding-bandingkan diri dengan anak, otomatis saja muncul di dalam kepala. Semacam ada keyakinan bawah sadar bahwa apa yang mampu saya lakukan di usia tertentu, maka juga harus sudah bisa dilakukan anak di usia yang sama.
Berhubung sebentar lagi Bilqis genap berusia enam tahun, maka pikiran otomatis saya adalah, “Aku belajar puasa di usia enam tahun, maka Bilqis juga harus belajar puasa di usia yang sama.”
Ada banyak dinamika menarik selama mengenalkan ibadah puasa kepada Bilqis. Selama proses belajar puasa tersebut, tidak hanya Bilqis yang memetik pelajaran, tapi juga kami sebagai orang tuanya. Mari saya ceritakan peristiwa dan pelajaran moralnya.
Saya dan suami memang sepakat untuk mulai melatih Bilqis berpuasa, tapi kami berdua tidak pernah membahas secara detail bagaimana teknis melatihnya. Dalam pikiran saya, Bilqis harus terus menahan haus dan lapar sampai batas kemampuannya.
Batas kemampuan tersebut pelan-pelan diperpanjang hingga akhirnya bisa mencapai azan magrib. Tapi dalam pikiran suami, Bilqis cukup berpuasa sampai pukul dua belas siang dan melanjutkan puasanya mulai pukul satu siang hingga waktu berbuka. Kapan kami menyadari bahwa pikiran kami tidak sinkron? Ketika Bilqis sudah memulai puasanya.
“Lho, Bilqis kok makan lagi? Bilqis kan puasa.” Tanya suami saat melihat Bilqis ngemil pada pukul empat sore.
“Ya biar to, toh tadi udah batal juga puasanya.” Jawabku pada suami.
“Ya nggak gitu, dia kan harus belajar menahan haus dan lapar juga selama puasa. Toleransi untuk dia cuma boleh makan dan minum dalam waktu satu jam dari jam dua belas sampai jam satu siang.” Jawab suami.
“Yeee kalo batal mah batal aja. Kalau seperti itu, itu namanya kita nggak mengajarkan konsep puasa dengan benar. Puasa kan definisinya menahan haus dan lapar dari terbit fajar hingga tenggelam matahari. Kalau diantaranya dia makan, tetap aja namanya nggak puasa. Masak kita mengajarkan ke dia merasa puasa padahal sebenarnya nggak puasa?” Balasku panjang lebar.
“Ya kan namanya juga belajar. Memangnya gimana cara yang lebih baik?” Tanya suami balik.
“Ya sesanggupnya dia menahan lapar dan haus sampai jam berapa. Misalnya, hari ini dia sanggup sampai jam dua belas, besok kita perpanjang sampai jam satu, besoknya lagi kita perpanjang sampai jam dua, begitu terus sampai dia berhasil puasa sampai adzan maghrib. Nah, ketika dia puasa penuh sampai azan magrib, baru saat itu kita akui dia sudah berhasil berpuasa.”
“Jangan puasa penuh dulu lah, kasihan dia masih kecil.” Balas suami sambil menunjukkan wajah iba.
Ya bagaimana mau mengajak belajar, kok pakai rasa iba segala. Saya sudah lupa bagaimana percakapan itu berakhir. Tapi yang saya ingat, kami berdua tidak mencapai kata sepakat.
Lalu, bagaimana kelanjutannya? Kelanjutannya, proses belajar berpuasa Bilqis tidak seideal yang kami harapkan. Bilqis selalu berbuka puasa sekitar pukul dua belas siang. Setelah itu, kadang ia “melanjutkan puasa,” kadang makan dan minum sesuka hatinya.
Dari pengalaman ini saya jadi menyadari satu hal. Benar apa yang dikatakan para ahli pengasuhan bahwa pengasuhan membutuhkan konsistensi dan kerjasama kedua orang tua. Bagaimana tujuan bisa dicapai apabila aturan dari orang tua berubah-ubah? Maka dari itu, sebelum melaksanakan program pengasuhan terhadap anak, rapat (meeting) antar kedua orang tua perlu dilakukan untuk menyamakan persepsi, menetapkan tujuan, dan menyepakati aturan.
Tanpa strategi dan konsistensi dalam penerapannya, harapan kita sebagai orang tua terhadap anak hanya akan tinggal harapan. Yaa seperti harapan saya pada proses belajar puasa Bilqis yang targetnya belum tercapai.
Permasalahan yang menghambat proses belajar puasa Bilqis tidak hanya soal ketidakkompakan orang tuanya. Permasalahan lainnya adalah Bilqis tidak memahami konsep puasa dimulai saat azan subuh berkumandang.
Sebenarnya bukan tidak memahami konsep kapan mulai berpuasa, tapi ia mengutamakan konsep lain yang sudah lebih dulu diajarkan padanya, yaitu tidak berhenti makan sebelum makanannya habis.
Sulit sekali meminta Bilqis berhenti makan ketika azan subuh datang apabila makanannya masih tersisa. Butuh berulang kali mengingatkannya bahwa ia harus berhenti makan ketika adzan shubuh datang. Namun, ia sering kali marah jika diminta berhenti. Jadi, sebenarnya Bilqis sudah tidak puasa sejak terbit fajar karena baru berhenti makan setelah adzan Shubuh selesai. 😀
Terkadang, saya merasa sebal dengan proses belajar puasa Bilqis yang saya anggap tidak semulus proses belajar puasa saya terdahulu. Tapi, saya perlu menahan diri dari kebiasaan membanding-bandingkan diri yang hasilnya hanya menyusahkan hati dan pikiran.
Saya harus menyadari bahwa Bilqis tak harus selalu sama dengan saya. Saya harus memahami bahwa masing-masing orang memiliki prosesnya sendiri-sendiri dalam belajar. Bilqis mungkin belum memahami aturan waktu berpuasa, tapi ia adalah anak yang disiplin bangun sahur. Bilqis bangun sahur tanpa drama, ia bangun tanpa merepotkan orang tua. Sesuatu yang sampai saat ini tak saya punyai, hahaha.
Saya kira, poin utama yang dipelajari Bilqis pada Ramadhan tahun ini ialah pemahamannya bahwa ibadah puasa selalu dimulai dengan sahur yang juga bernilai pahala. Semoga hingga nanti dewasa Bilqis tidak termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang suka melewati waktu sahur saat berpuasa. Proses belajar memang tidak pernah instan, ia merupakan proses berkelanjutan hingga tercapai perubahan.
Semoga kami masih dipertemukan dengan Ramadhan tahun depan, sehingga dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan belajar puasa tahun ini dan berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Aamiin.