Perspektif

Berakhirnya Era Cebong dan Kampret

4 Mins read

Oleh: Achmad Santoso*

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Kamis malam (27/6) yang menolak seluruhnya permohonan pemohon, dalam hal ini pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, seharusnya menjadi akhir dari sengketa panjang Pilpres 2019. Sebab, beberapa saat kemudian, dalam konferensi pers, Prabowo menyatakan bahwa dirinya legowodan menghormati putusan MK.

Dalam proses sidang terakhir di MK itu juga tak tampak gesekan massa yang demikian nyata. Tidak seperti yang terjadi pada 22 Mei lalu ketika dini harinya KPU membacakan rekapitulasi final hasil pilpres. Chaos ketika itu sampai dijadikan satu edisi penuh majalah investigatif Tempo dengan judul “Tim Mawar dan Rusuh Sarinah” edisi Senin, 10 Juni 2019.

Pilpres 2019 ini semestinya juga menjadi pintu masuk menuju era baru perpolitikan Indonesia. Pada 2024 mendatang, Jokowi tidak diperkenankan mencalonkan lagi sebagai capres karena sudah dua kali bertahan. Akan muncul banyak wajah baru yang turut mewarnai pesta demokrasi kelak. Dan satu lagi yang paling penting: kini era cebong dan kampret (harus) berakhir!

Selama setengah dasawarsa, dimulai dari 2014, terminologi “cebong” dan “kampret” menjadi “ujung tombak” yang meruncingkan polarisasi dan perseteruan panjang kubu pro-Jokowi dan pro-Prabowo. Kendati tampaknya tidak semasif tahun-tahun sebelumnya, cebong dan kampret masih ditemui bergentayangan di media-media sosial. Setiap kali ada warganet yang komentarnya cenderung ke kubu Jokowi, lekas saja yang lain melabeli “cebong”.

Begitu pula tatkala ada netizen yang berargumentasi berupa kritik kepada Jokowi, seketika ada yang menuduh  kampret. Padahal, mereka seharusnya sadar bahwa dalam politik dikenal adagium “tidak ada lawan atau kawan yang abadi”. Hal itu dibuktikan dengan Golkar, PPP, bahkan PAN yang memilih untuk “lompat pagar” seusai Pilpres 2014. Label-label destruktif dan kontraproduktif itu pula yang membuat pertemuan antara Jokowi dan Prabowo dengan maksud rekonsiliasi –jejak digital menerangkan sekali saja pasca-Pilpres 2014– seperti tiada guna alias sia-sia belaka.

Baca Juga  Belajarlah dari Sejarah Kekuasaan yang Zalim

Wajah koran nasional Jawa Pospun seolah-olah mengirim pesan penting bahwa pilpres sudah selesai, tensi ketegangan mesti diturunkan, dan kedua kubu diharapkan saling memperbaiki hubungan. Bukan hanya para elite dan demagog, melainkan juga pendukung-pendukungnya. Jawa Pos dengan gagah menulis headline“Tidak Ada Lagi 01 dan 02”. Ya, tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada kini adalah bangsa Indonesia. Persis seperti akhir kalimat pidato politik Joko Widodo selepas putusan MK.

“Saya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu kembali bersama-sama membangun Indonesia, bersama-sama memajukan negara Indonesia, tanah air kita tercinta.Tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada hanyalah persatuan Indonesia. Walau pilihan politik berbeda, tetapi kita harus saling menghargai. Walau pilihan politik berbeda, kita harus saling menghormati,” kata Joko Widodo di Pangkalan Udara TNI-AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, menjelang keberangkatan ke agenda KTT G20 di Osaka, Jepang.

Akhir dari Cebong dan Kampret

Penggunaan dua istilah itu sejatinya sudah diminta untuk diakhiri oleh banyak pihak. Salah satunya datang dari Muhammadiyah ketika momen Idulfitri. “Jadi, sekarang ini, mohon maaf, tidak perlu lagi ada 01, tidak perlu lagi ada 02. Yang ada adalah kosong-kosong,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti sebagaimana diwartakan Detik dengan judul Seruan Kosong-Kosong hingga Berakhirnya Cebong-Kampret(Selasa, 18/6/2019).

Imbauan serupa hadir dari lembaga sekaliber Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). “Kalau kita tidak senang kepada pihak tertentu, ya sudah, tidak usah kita kasih predikat ‘kecebong’, ‘kampret’, dan lain sebagainya. Itu tidak terpuji,” kata Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI Muhyidin Junaidi sebagaimana dikutip Republika(Jangan Lagi Sebut Kecebong dan Kampret, 26/3/2019). Bahkan, calon wakil presiden sekarang menyampaikan imbauan senapas. “Jangan lagi bunyi lagi. Selesai sampai kemarin. Kita kubur, ada ‘cebong’, ada ‘kampret’, kubur saja,” ujar Ma’ruf Amin pada 18 April lalu, sehari setelah coblosan.

Baca Juga  Sekolah Muhammadiyah Dimasuki Ideologi Lain?

Barangkali memang tidak bisa benar-benar lenyap sepenuhnya cap-cap seperti itu. Terutama yang masih bergentayangan di media sosial. Selama lima tahun mendatang, dimulai Oktober saat Jokowi-Ma’ruf resmi dilantik, tentu masih ada liliput-liliput yang “belum waras” dan masih dibuai “delusi” sehingga belum bisamove on. Meski begitu, diyakini –dan diharapkan– terminologi itu sedikit demi sedikit mulai pudar hingga 2024 mendatang. Karena itu tadi, Jokowi sudah tidak boleh maju sebagai capres dan Prabowo sangat mungkin tidak mencalonkan lagi –sudah tiga kali Prabowo berkontestasi dan ketiga-tiganya gagal total.

Berakhirnya era cebong dan kampret bisa terkabulkan jika pada 2024 koalisi bergerak dinamis. Artinya, tidak mengerucut pada dua kubu lagi. Padahal, sistem pemilu di Indonesia adalah multipartai. Tidak seperti di Amerika Serikat, misalnya, yang hanya dihegemoni dua partai: Demokrat dan Republik.

Sedikitnya ada dua dalil mengapa istilah dan era cebong-kampret game over. Alasan pertama, dalam agama Islam, misalnya, tidak diperkenankan satu golongan mengolok-olok, merisak, golongan lain atas dasar apa pun. Dalilnya melimpah ruah. Di antaranya, sabda Rasulullah yang diriwayatkan HR Muslim: ”Cintailah orang yang kamu cintai sewajarnya karena boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau benci. Bencilah orang yang kau benci sewajarnya karena boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai.”

Bahkan, Allah SWT dalam Alquran surah Al Hujurat (11-12) secara tegas membabarkan larangan-larangan itu dengan term imperatif “jangan”. Pertama, jangan mengolok-olok suatu kaum karena bisa jadi derajat kaum yang diolok-olok itu lebih tinggi di sisi Allah. Kedua, jangan saling mencela. Ketiga, jangan saling memanggil dengan sebutan atau gelar buruk karena Allah menciptakan manusia dengan mulia. Keempat, jangan berburuk sangka. Kelima, jangan menggali-gali aib orang lain. Artinya, jangan mencari-cari kesalahan dan keburukan orang lain. Keenam, jangan melakukan ghibah. Orang yang melakukan ghibahhukumnya seperti memakan bangkai saudaranya yang sudah mati.

Baca Juga  Perang Melawan Virus Corona, Siapakah Pemenangnya?

Alasan kedua, para perundung itu seharusnya sadar bahwa tahun 2024 junjungan mereka, Jokowi-Prabowo, tidak akan mencalonkan lagi dalam palagan politik. Lantas, siapa yang dibela secara mati-matian dan membabi buta jika “demagog”-nya saja tidak akan maju gelanggang. Berbeda halnya pada 2014 lalu ketika terminologi ini masih “segar” dan keduanya berpotensi maju lagi pada 2019 –yang akhirnya terbukti.

Hajatan Pilpres 2024 mendatang diprediksi banyak pihak dihiasi oleh tokoh-tokoh baru dan muda. Beberapa lembaga survei maupun media pun memprediksi Pilpres 2024 adalah babak baru lainnya dengan munculnya wajah-wajah “baru”. Tagar News menempatkan 10 politikus yang berpotensi maju pada pesta demokrasi Pilpres 2024. Mulai AHY, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Khofifah Indar Parawansa, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Mahfud MD, Tuan Guru Bajang, hingga Gatot Nurmantyo (10 Nama Ini Digadang-gadang Masuk Bursa Capres 2024, 2/4/2019).

Lembaga survei Indo Barometer pun memfaalkan potensi serupa. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari malah mengerucutkan dua kandidat utama yang berpotensi paling besar, yakni Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Keduanya memang termasuk tokoh muda dan potensial dan sudah pernah terlibat langsung dengan perpolitikan. AHY dan Anies, bersama Ahok, sama-sama bertarung pada Pilgub Jakarta 2017. Minimal poros koalisi terbagi menjadi tiga: koalisi PDIP, koalisi Gerindra, dan koalisi Demokrat.

Istilah “cebong” dan “kampret” sejauh ini disematkan kepada pendukung Jokowi dan Prabowo. Kalau keduanya tidak akan berkontestasi lagi, lantas buat siapa julukan itu?

*Editor Jawa Pos, aktivis muda Muhammadiyah Jawa Timur

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds