Ibnu Taimiyah adalah pengikut mazab Imam Ahmad bin Hambal. Lahir pada 10 Rabi’ul Awal tahun 661 Hijriyah di Harran, Mesopotania Utara. Sebuah kota yang letaknya berada di antara sungai Dajalah dengan Efrat di wilayah Jazirah Arab. Ia meninggal pada 728 Hijriyah di bulan Dzulhijjah. Ayahnya merupakan seorang ulama besar yang telah mendidiknya sebagai cendekiawan yang sangat terkenal (Satori, 2016). Pembahasan tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat menjadi salah satu legasi Ibnu Taimiyah yang menarik untuk diulas.
Ibnu Taimiyah dan Mazhab Hambali
Pada masa mudanya, Ibnu Taimiyah mempelajari berbagai macam bidang ilmu, ia ahli dalam bidang ilmu agama. Ia berguru kepada ayahnya sendiri dan beberapa tokoh ulama terkemuka yang berada di kota Damaskus dan sekitarnya.
Karena tumbuh dalam keluarga terpelajar, pada usia yang masih terbilang kecil, ia telah hafal al-Qur’an secara penuh dan mampu menamatkan beberapa mata pelajaran seperti tafsir, hadis, fikih, dan filsafat, mendahului teman-teman seusianya.
Sejak kecil dirinya dikenal sebagai sosok yang memiliki pendirian teguh terhadap segala ucapannya dan kuat dalam pendirian. Pada tahun 682 Hijriyah, ayahnya wafat. Pada saat itu, Ibnu Taimiyah harus mengemban tanggung jawab yang cukup besar dengan menggantikan posisi sang ayah menjadi pimpinan di Madrasah dan sekaligus menjadi guru besar di beberapa lembaga yang ada di Dasmaskus.
Sejak saat itulah ia mulai berfatwa dengan berupaya mengentaskan kondisi umat Islam yang pada saat itu masih terbelenggu dengan paham keagamaan yang tidak mau berubah dengan adanya berbagai bidah (Satori Akhmad, 2016). Karena lahir di lingkungan mazhab Hambali, maka pemikirannya juga terpengaruh oleh corak pemikiran Ahmad bin Hambali. Setiap kali berpikir, maka pemikirannya akan selalu dirumuskan pada semua sumber kebenaran utama yaitu Al-Qur’an da Hadits.
Pandangan Tentang Tauhid
Ibnu Taimiyah banyak mengkritik perilaku keagamaan yang dirasa telah menyimpang dari ajaran al-Qur’an maupun Hadits. Seperti kegiatan keagamaan telah bercampur dengan bidah dan adat istiadat yang dianggap sebagai ajaran Islam tetapi sesungguhnya bukan dari ajaran Islam, karena dalam setiap praktiknya tidak ada dalil yang mendukung semua itu (at-Tunisi, 2017).
Salah satu pemikirannya yang menimbulkan salah paham sekaligus pertentangan di kalangan para ulama adalah pandangannya tentang tauhid. Ia membagi tauhid menjadi tiga, yaitu rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat. Pandangannya ini kemudian digunakan sebagai justifikasi kepada kelompok yang tidak sependapat dengannya.
Dalam pandangan tiga tauhid ini, Ibnu Taimiyah menganggap bahwa selama ini para muslim hanya bertauhid kepada rububiyah saja dan tidak disertai dengan kepercayaan pada tauhid uluhiyah, dalam artian hanya mempercayai bahwa Allah adalah sang pencipta segala sesuatu yang dikehendakinya. Padahal bukan hanya orang muslim saja yang bertauhid rububiyah, orang kafir pun juga bertauhid rububiyah (Khalilurrohman, 2019). Orang yang mengingkari pembagian tauhid, oleh Ibnu Taimiyah disebut sebagai seseorang yang belum memahami makna dari masing-masing tauhid tersebut.
Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma wa Sifat
Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang tiga tauhid tersebut, pertama adalah tauhid rububiyah, yaitu hanya percaya Allah dalam semua hal penciptaan, penaklukan dan pengaturan. Allah yang menciptakan segala sesuatu yang dikehendakinya, menguasai semua yang ada di semesta, dan mengurus semua hal yang berada di dunia ini. Dari tauhid rububiyah ini, Allah sang tunggal dan tidak akan pernah ada yang menyerupainya.
Kemudian, Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang tauhid Uluhiyah, yaitu keyakinan yang selalu mengesakan Allah setiap kali hendak melakukan ibadah. Meyakini dalam hati bahwa hanya Allah yang berhak disembah.
Sedangkan pada tauhip yang ketiga, asma wa sifat, Ibnu Taumiyah menetapkan nama beserta sifat Allah yang sudah tertera dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits tanpa melakukan penyimpangan, dan penggambaran hakikat bentuk dari sifat Allah tersebut serta menyerupakan-Nya dengan makhluk.
Penjelasan Tiga Tauhid Ibnu Taimiyah
Sebelum membagi tauhid menjadi tiga di atas, Ibnu Taimiyah melakukan pemeriksaan terlebih dahulu secara menyeluruh terhadap dalil-dalil yang menjelaskan tentang wujud Allah. Menurut pendukungnya, tiga konsep tauhid Ibnu Taimiyah tidak akan menyimpang dari kebenaran. Salah satu sumber yang digunakan Ibn Taimiyah adalah QS. Maryam ayat 65. Di sana terkandung seluruh penjelaskan makna dari tiga tauhid dari pandangan Ibn Taimiyah (Zahri, 2019).
Pertama, “رَّبُّ السَّمَوَتِ وَالأَرْضِ وَمَابَىْنَهُمَا” mengesakan Allah dalam setiap perbuatan sebagai satu-satunya Tuhan seluruh makhluk adalah tauhid rububiyah.
Kedua, “فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَدَتِهِ” bahwa kita dituntut untuk mengesakan Allah dengan cara beribadah kepadanya.
Ketiga, “هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا” yang menunjukan bahwa Allah adalah sang empu atas nama beserta sifat yang mulia, dan tidak akan bisa disamakan sedikitpun dengan makhluk-Nya.
Dapat dikatakan bahwa tiga tauhid Ibnu Taimiyah tersebut menjadi hakikat dari sebuah syariat yang disimpulkan dari seluruh dalil, yang salah satunya adalah dalam QS. Maryam ayat 65. Dari konsep tauhid Ibnu Taimiyah ini, manusia akan menjadi lebih paham jika dalam beragama juga membutuhkan sebuah argumen yang jelas sebagai dukungan dalam memperkuat ketauhidan seseorang.
Meskipun Ibn Taimiyah saat ini dikenal sebagai ulama yang kontroversial, namun legasinya tetap menjadi khazanah yang telah membuktikan bahwa Islam sangat menjungjung tinggi ilmu pengetahuan. Wallahu A’lam.
Editor: Nabhan