Prof. Dr. M. Amin Abdullah dikenal sebagai seorang filsuf yang sangat tekun dalam mengampanyekan gagasan tentang Integrasi-interkoneksi keilmuan, dalam rangka mengakhiri linearitas ilmu yang bersifat monodisiplin. Konsep Integrasi-interkoneksi yang dikembangkan oleh Amin Abdullah ini adalah usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan di jalani manusia, di setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama (Islam maupun agama-agama lain, termasuk spiritualitas), keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman. Keilmuan-keilmuan itu tidak dapat berdiri sendiri tanpa kerja sama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi, dan saling berhubungan dalam disiplin antarkeilmuan.
Pendekatan integratif-interkonektif adalah pendekatan yang berusaha saling menghargai. Integrasi-interkoneksi keilmuan umum dan agama, sadar akan keterbatasan masing-masing dalam memecahkan persoalan manusia, akan melahirkan sebuah kerjasama, setidaknya saling memahami pendekatan (approach) dan metode berpikir (procces and procedure) antara dua keilmuan tersebut.
Integrasi menghendaki adanya hubungan, penyatuan atau sinkronisasi atau saling menyapa atau kesejajaran antar tiap bidang keilmuan yang ada. Setiap bidang keilmuan tidak dapat berdiri sendiri, tanpa saling menyapa dengan bidang keilmuan yang lain. Keadaan saling menyapa ini, menurut Amin Abdullah dapat terjadi/muncul secara induktif, integral (menyatu dalam bahasan), dapat juga dalam bahasan yang komprehensif (kelengkapan aspek tinjauannya), interdisipliner dalam artian dari berbagai tinjauan, holistik (tinjauan menyeluruh) dan tematik (pembahasan sesuai dengan tema).
***
Jika kita melihat sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam, sebenarnya tidak kalah dengan dunia Barat. Dunia Islam juga memiliki ilmuan Muslim yang yang berkontribusi dalam perkembangan sains. Sebagai contoh, dalam bidang ilmu kedokteran kita mengenal Ibnu Sina sebagai ahli di bidang ini. Ibnu Sina (980-1037 M) secara eksperimental mengkaji obat-obatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit sebagai mana diuraikan dalam bukunya al-Qanun fi al-Thibb. Sedangkan yang menerapkan metode dan teori dalam ilmu-ilmu sosial adalah Ibnu Khaldun (1332-1404 M).
Ibn Khaldun adalah peletak dasar-dasar ilmu sosial modern. Ia telah mengkaji berbagai masalah politik, ekonomi, budaya dan pendidikan umat Islam secara ilmiah sebagaimana diuraikan dalam bukunya Muqaddimah. Kita juga mengenal Ibnu Rusyd (1126-1198 M) yang melakukan kajian fiqh komparatif dalam Bidayah al-Mujtahid, dan juga falsafah secara komprehensif dalam Tahafut al-Falasifah. Ide-idenya sangat berpengaruh dalam membuka jalan bagi bangkitnya renaisans di Eropa dan Barat pada abad-abad berikutnya.
Mereka yang disebut di atas, merupakan cendikiawan Muslim yang sekaligus mumpuni dalam kajian Islam. Terlihat bahwa sesungguhnya sejak dahulu Ilmuan Muslim telah mencoba mengintegrasikan keilmuan dari berbagai bidang disiplin ilmu. Upaya integrasi ilmu pengetahuan dalam Islam terus dilakukan oleh para Ilmuan Muslim seperti Fazlur Rahman, Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, Ismail Raji’ al-Faruqi dan Syekh Muhammad Naquib al-Attas.
Di Indonesia, Amin Abdullah mulai mengembangkan integrasi keilmuan ini di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia mendeskripsikan pola hubungan disiplin keilmuan keagamaan dan keilmuan non-keagamaan secara metaforis dengan jaring laba-laba. Artinya, berbagai disiplin yang berbeda, saling berhubungan dan berinteraksi secara aktif-dinamis. Hubungan antarberbagai disiplin dan metode keilmuan tersebut bercorak integratif-interkonektif. Sehingga masing-masing disiplin ilmu tetap dapat menjaga identitas dan eksistensinya sendiri-sendiri, tetapi selalu terbuka ruang untuk berdialog, berkomunikasi dan berdiskusi dengan disiplin ilmu lain. Integrasi antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya menjadi urgen dibutuhkan di era sekarang.
Buku Karya Amin Abdullah Terbaru
Buku karya Amin Abdullah ini, Multidisiplin, Interdisiplin dan Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari paradigma “Integrasi-Interkoneksi” keilmuan tersebut. Bisa juga dikatakan, buku ini adalah kajian yang lebih matang dari paradigma Integrasi-interkoneksi yang mempertautkan ilmu-ilmu agama, pemikiran Islam, dan studi Islam, untuk menjawab tantangan kehidupan demi menuju pada Islam yang berkemajuan.
Buku ini memiliki gagasan yang sama dengan buku-buku sebelumnya, yakni upaya untuk mempertautkan antara ‘Ulum al-Din (Ilmu ilmu Agama Islam), al-Fikr al-Islamy (Pemikiran Islam) dan Dirasat Islamiyyah (Studi Islam Kritis). Amin Abdullah selalu berusaha menyatu-padukan tiga dimensi pengembangan keilmuan, yaitu hadharah al-nash (agama), hadharah al-falsafah (filsafat) dan hadharah al-‘ilm (sains).
***
Amin Abdullah adalah seorang sarjana Muslim Indonesia yang dikenal cukup banyak menulis tentang Islam. Ia memilih tema-tema yang amat beragam, mulai dari Filsafat, Ilmu Kalam, Ushul Fiqh, Metode Tafsir Alquran, Pluralisme, sampai masalah Pendidikan. Amin Abdullah tidak bermaksud untuk menjelajahi semua bidang ilmu, tetapi ia ingin menjalinnya ke dalam satu rangkaian epistemologis yang dipetakannya (dalam istilahnya dulu) menjadi semacam “jaring laba-laba”.
Teori jaring laba-laba (spider web) yang digagas oleh Amin Abdullah berkaitan dengan horison keilmuan Islam, bukan saja bertujuan untuk mengembangkan kerangka ilmu-ilmu dasar keislaman yang bersifat normatif, tetapi juga ingin mengintegrasikan-nya dengan ilmu sekular yang bersifat empiris-rasional.
Pada aspek inilah ada daya tarik dalam pemikiran Amin Abdullah. Ia mampu merumuskan epistemologi keilmuan yang dapat meramu bermacam-macam ilmu sehingga jelas apa esensi masing-masing disiplin ilmu, dan bagaimana cara dan strategi untuk mengembangkannya
Prof. Amin mendalami kajian Islam sejak dari Gontor, IAIN, Ankara, Turki, hingga menjadi guru besar. Ia adalah pelaku sejarah perubahan dari IAIN menuju UIN dengan menggagas konsep integrasi-interkoneksi. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa buku ini bisa disebut sebagai manifesto Amin Abdullah tentang arah baru pengembangan studi Islam.
Berisi refleksi-refleksi, pemikiran, kegelisahan akademik, keinginan, harapan, ekspektasi, mimpi, dan cita-citanya. Amin mengharapkan agar masa depan studi Islam di Indonesia dapat menyumbang perkembangan peradaban dunia. Sehingga peradaban ini dapat dinikmati bersama dalam suasana damai, toleran, inklusif dan humanis.
***
Buku ini, membahas mengapa studi agama dan studi Islam mengalami stagnasi metodologi, padahal perkembangan zaman dan teknologi berkembang pesat? Amin Abdulklah menegaskan, kini kecenderungan pengetahuan dunia itu interdisiplin, multidisiplin, transdisiplin, di mana industri membiayai universitas. Sedangkan kita tidak punya industri yang kuat membiayai riset. Realitas di Indonesia, industri memiliki universitas sendiri. Sementara perguruan tinggi kadang mengalami keraguan dalam melangkah maupun merespon kondisi sosial masyarakat yang membutuhkan penanganan serius, karena program-program pengembangan akademik di perguran tinggi terkendala birokrasi yang ribet, yang berakibat perkembangan perguruan tinggi tidak dapat maju secara progresif.
Di sisi lain, kritik Amin Abdullah terhadap ilmu-ilmu sekuler dan ilmu-ilmu agama dan spiritual, disebutnya sedang terjangkit krisis relevansi. Sekarang ini menjadi keniscayaan untuk melakukan gerakan re-approachment atau pendekatan ulang untuk membangun kesediaan untuk saling menerima keberadaan dengan yang lain dengan lapang dada, misalnya antara dua kubu keilmuan. Gerakan re-approachment atau gerakan integrasi epistemologi keilmuan adalah sesuatu yang mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga dewasa ini.
Lebih jauh, Amin menyatakan, bahwa dalam diskursus keagamaan kontemporer, agama mempunyai banyak wajah (multifaces), bukan lagi berwajah tunggal. Agama tidak lagi dipahami sebagai hal yang semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, kredo, pandangan hidup, dan ultimate concern. Selain sifat konvensionalnya, tenyata agama juga terkait-erat dengan dengan persoalan-persoalan historis-kultural.
Oleh karenanya, Amin melihat pascasarjana di universitas, sebagai laboratorium. Menurutnya, semua backbound ilmu pengetahuan ada di pascasarjana. Di Program Pascasarjana lah pertemuan-pertemuan dalam ilmu lebih terkondisi. Pertemuan keilmuan terjadi dalam tiga hal, bagaimana saling menembus, imajinasi kreatif, konsekuensi metodologis. Bagaimana sains bertemu sosial humaniora, sains bertemu ilmu agama. Dengan berakhirnyamonodisiplin, berkembang pula keilmuan yang progresif dan revolusioner.
***
Amin secara tegas pula, menjelaskan dalam buku ini bagaimana mengatasi ketegangan-ketegangan karena stagnasi metolodogi studi agama, bagaimana hubungan enam rumpun ilmu (ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam, rumpun ilmu formal, dan rumpun ilmu terapan) di era modern dan post modern. Dengan pendekatan yang disebutnya “Multidisiplin,” ”Interdisiplin” dan “Transdisiplin” diharapkan mampu melahirkan pemikiran dan budaya baru, baik dalam bidang sains maupun agama yang mendorong berkembangnya peradaban baru.
Pendekatan multidisiplin adalah penelitian yang menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda, namun masing-masing disiplin tidak ingin campur tangan terlalu jauh. Filsafat, sosial humaniora, ilmu alam, dan lain-lain dimanfaatkan untuk melihat fenomena tertentu, dengan sekat-sekat yang masih ada. Sedangkan makna yang lebih mendalam dari pendekatan multidisipliner adalah penggabungan beberapa disiplin untuk bersama-sama mengatasi masalah tertentu. Kajian multidisiplin adalah kajian interkoneksi antara satu ilmu dengan ilmu lain, namun masing-masing bekerja berdasarkan disiplin dan metode masing-masing.
Yang lebih maju dari multidisiplin itu adalah interdisiplin. Interdisiplin berupaya menyatukan atau memadukan dua atau lebih disiplin keilmuan. Bisa metodenya, datanya, tekniknya, teorinya, atau perspektifnya sehingga berpadu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Antardisiplin ilmu sudah menyatu menjadi satu kekuatan agar bisa menjawab persoalan zaman.
Kajian interdisipliner berprinsip bahwa ilmu pengetahuan berkembang menjadi sintesis dari dua bidang ilmu pengetahuan yang berbeda, dan berkembang menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Secara lebih khusus, interdisipliner diartikan sebagai interaksi intensif antar satu atau lebih disiplin, baik yang langsung berhubungan maupun yang tidak, melalui program-program pengajaran dan penelitian, dengan tujuan melakukan integrasi konsep, metode dan analisis.
Sementara transdisiplin adalah langkah lebih jauh untuk melebur hal-hal yang ada antar berbagai disiplin dalam satu tarikan nafas. Muara metode transdisiplin ada pada pengembangan ilmu yang lebih baru. Pendekatan transdisiplin berupaya mengembangkan sebuah teori atau aksioma baru dengan membangun kaitan dan keterhubungan antar berbagai disiplin.
***
Jika kita cermati, ada sepuluh dalil utama dalam buku ini. Pertama, para pemikir muslim kontemporer dituntut untuk memiliki kemampuan mendialogkan antara ilmu-ilmu agama dengan pemikiran keislaman, dan studi keislaman kontemporer dengan baik.
Kedua, pemikiran keislaman yang ditopang oleh filsafat kritis tidak melahirkan pemikiran yang kaku, rigid, dan stagnan. Ketiga,kunci dialog studi Islam adalah meleburnya unsur-unsur subjektif, kemudian masuk ke unsur intersubjektif. Keempat, unsur-unsur yang membuat corak keagamaan menjadi sempit harus dibuang jauh-jauh. Kelima, tantangan terbesar di era global adalah menghadirkan nilai tauhid yang mampu menumbuhkan empati sosial dalam konteks keragaman dan kemajemukan.
Keenam, umat beragama harus memperbanyak ruang ruang perjumpaan antara masyarakat, kelompok organisasi, sekolah, universitas, komunitas yang berbeda agama, suku, ras, dan etnis sehingga bisa mengurangi sikap curiga satu sama lain. Ketujuh, dirasah islamiyyah (ilmu keislaman) yang bercorak kritis perlu diperkenalkan kepada anak didik agar menghasilkan nilai-nilai keberagamaan yang autentik untuk mencapai kehidupan di masa depan yang lebih baik.
Kedelapan, salah satu cara menuju Word Class University adalah digunakannya pendekatan pembelajaran dan pengabdian kepada masyarakat yang bercorak multidisipliner, interdisipliner, dan transdisipliner. Kesembilan, hubungan disiplin ilmu keagamaan dan ilmu sosial budaya dan kealaman bersifat semi-permiable, saling memberikan kesaksian dan sebagai sumber imajinasi. Terakhir, kesepuluh,pandemi covid-19 telah melahirkan pemikiran dan budaya baru baik dalam bidang sains maupun agama yang mendorong berkembangnya peradaban baru.
***
Dan, secara umum dapat disimpulkan bahwa sumbangan terbesar buku ini dapat memberikan world view keagamaan dan spiritual yang baru, sebagai bekal menghadapi era perubahan sosial yang cepat. Sebuah budaya berpikir baru yang secara mandiri mampu mendialogkan sisi subyektif (agama), obyektif (sains) dan inter-subyektif (hati nurani) dari keilmuan dan keberagamaan, menjadi niscaya dalam kehidupan multireligi, multikultural dan terlebih di era multikrisis yang melibatkan sains, kesehatan, sosial, budaya, agama, politik, ekonomi, dan keuangan, sebagai akibat penyebaran Covid 19 di dunia sekarang ini.
Editor: Yahya FR