Falsafah

Omid Safi: Tiga Agenda Muslim Progresif

3 Mins read

Bangkitnya populisme Islam sejak tahun 2016, berimplikasi pada makin menguatnya politik identitas di tengah masyarakat. Keberagamaan yang terlihat pun juga makin memperithatinkan. Islam ditampakkan menjadi lebih ekslusif, intoleran dan terkesan mau benarnya sendiri. Umat Islam sebagai mayoritas diterjemahkan ke dalam narasi superioritas Islam di tengah inferioritas umat non-Islam yang menjadi minoritas di Indonesia. Pikiran umat Islam menjadi sangat sempit dan kaku, sehingga kurang luwes dalam menghadapi perubahan zaman. Di tambah oknum-oknum yang menggunakan isu agama untuk kepentingan politik elektoral makin memperparah realitas keberagamaan yang sedang terjadi.

Untuk menangkal paham kebaragamaan yang makin dangkal itu, tampaknya sudah saatnya kita membaca pemikiran seorang tokoh intelektual Muslim asal Amerika Serikat, yaitu Omid Safi. Dia dan gagasannya tentang Muslim Progresif seolah menjadi oase dari bangkitnya populisme Islam di dunia. Muslim Progresif juga menjadi wacana yang menarik bagi umat Islam dalam membaca dirinya dan modernitas yang kini mengelilinginya.

Sekilas Tentang Omid Safi

Omid Safi adalah salah seorang professor di Duke University, Amerika Serikat yang sekarang ini tidak hanya aktif mengajar akan tetapi aktif sebagai penulis. Ia termasuk salah seorang penulis yang sangat produktif. Tulisan-tulisannya tersebar di sejumlah media masa, baik nasional maupun internasional. Bahkan sekarang ini ia menjadi kolumnis di media popular online yaitu On Being. Dua tahun yang lalu, pada 2014, Omid menjabat sebagai direktur baru di Duke Islamic Studies Center (DISC). Sekarang ini ia terkenal sebagai salah seorang intelektual terkemuka di dunia Islam.

Pendekatan Multiple Critique Sebagai Basis Pemikiran

Multiple critique secara harfiah adalah kritik ganda. Omid Safi menjelaskan bahwa multiple critique merupakan ide yang di dalamnya seseorang melakukan kritik terhadap Islam dan modernitas. Muslim progresif melakukan kritik tidak hanya kepada umat Islam sendiri tapi juga kepada Barat. Dilakukannya kritik ganda itu dimaksudkan untuk memperluas cakrawala pemikiran dan sekaligus menentukan posisi kita sebagai muslim di tengah situasi zaman yang berubah. Sehingga tidak terjadi fanatisme buta atas suatu pandangan atau gagasan. Melalui pandangan yang komprehensif atas situasi itulah kita mampu mendefinsikan Islam Progresif yang mampu menjadi solusi bagi persoalan kemanusiaan dewasa ini.

“Progresif,” dalam istilah ini, merujuk pada perjuangan tanpa henti terhadap gagasan universal tentang keadilan di mana tidak ada satu komunitas yang lebih berhak atas kemakmuran, kebenaran, dan martabat dengan mengorbankan komunitas sosial yang lainnya. Muslim progresif bertanggung jawab atas terciptanya keadilan dan pluralisme di mana pun dia berada. Muslim progresif secara terbuka menolak, menantang, dan menggulingkan struktur tirani dan ketidakadilan dalam masyarakat di manapun ia berada.

Baca Juga  Dehumanisasi, Kesadaran Palsu, dan Sebuah Upaya Menolak Ketidaktahuan

Inti dari interpretasi muslim progresif adalah ide radikal namun sederhana: setiap kehidupan manusia, perempuan, dan laki-laki, muslim dan non-Muslim, kaya atau miskin mereka memiliki nilai intrinsik yang sama. Nilai penting dari kehidupan manusia adalah pemberian Tuhan, dan tidak terhubung dengan budaya, geografi, atau hak istimewa. Semua manusia berasal dari ruh Tuhan, tanpa terkecuali, oleh karenanya setiap manusia secara asasi memiliki nilai kemuliaan dalam dirinya.

Hal yang Diperjuangkan Muslim Progresif

Jika seseorang bertanya apa yang diperjuangkan oleh seorang Muslim Progresif? Jawabannya sederhana, yaitu manusia dan kemanusiaannya. Agenda Muslim progresif berkaitan dengan konsekuensi dari premis bahwa setiap umat manusia memiliki nilai intrinsik yang sama, seperti yang dijelaskan Al-Qur’an setiap manusia memiliki nafas Allah yang ditiupkan ke dalam diri manusia.

Muslim progresif hendak berhenti berurusan dengan tema-tema persoalan seperti muslim atau non-muslim, mayoritas atau minoritas, muslim modernis atau tradisonalis, religius atau sekuler, dan sebagainya. Muslim progresif ingin memperjuangkan hal yang paling asasi di antara semua identitas itu, yaitu kemanusiaan. Isu-isu yang jadi perhatian oleh muslim progresif seperti keadilan sosial, kesetaraan gender, dan isu pluralism.

Keadilan Sosial

Keadilan terletak di jantung etika sosial Islam. Al-Qur’an telah menyampaikan tentang masyarakat yang terpinggirkan: orang miskin, anak yatim, kaum tertindas, musafir dan orang-orang yang lapar. Tradisi Sunni sering berbicara tentang kehidupan Nabi, seorang mukmin sejati adalah seseorang tidak akan membiarkan tetangganya pergi tidur dengan perut lapar. Pada ruang global saat ini, saatnya untuk memikirkan semua umat manusia sebagai tetangga kita. Waktunya telah tiba bagi kita untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan dan martabat semua umat manusia jika kita ingin dianggap sebagai orang-orang yang benar-benar beriman.

Baca Juga  Memperdebatkan Kebenaran “Sprachspiele” dalam Ruang Publik Beragama

Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender adalah tolok ukur keprihatinan lebih luas dari keadilan sosial dan pluralisme. Bahwa “gender” tidak hanya berbicara tentang perempuan. Terlalu sering muslim lupa bahwa ketidakadilan gender bukan hanya sesuatu yang menindas perempuan, juga merendahkan dan dehumanisasi laki-laki Muslim yang berpartisipasi dalam sistem tersebut. Kesetaraan gender sangat penting, sangat diperlukan, dan sangat penting. Dalam jangka panjang, interpretasi Muslim progresif akan dinilai oleh sejumlah perubahan dalam kesetaraan gender itu mampu menghasilkan pada komunitas kecil dan besar. Kesetaraan gender adalah tongkat pengukur dari keprihatinan yang lebih luas untuk keadilan sosial dan pluralism.

Pluralisme

Pluralisme adalah tantangan besar tidak hanya untuk umat Islam, tetapi juga semua umat manusia: Dapatkah kita menemukan cara untuk merayakan kemanusiaan kita agar tidak pudar karena perbedaan-perbedaan tetapi karena mereka, melalui mereka, dan di luar mereka? Bisakah kita menuju ke titik di mana pada akhirnya “kita” tidak merujuk kepada salah satu kelompok yang eksklusif, melainkan untuk apa yang disebut Al-Qur’an Bani Adam, totalitas kemanusiaan?

Menantang, merusak, dan menggulingkan adat suku pra-Islam dari identifikasi diri yang sempit dengan orang-orang yang melacak pendiri eponymous dari suku tersebut, di sini Al-Qur’an menggambarkan semua umat manusia sebagai anggota dari salah satu super-suku, suku manusia. Ini adalah tantangan besar, bukan menentukan pilihan, tetapi bangkit untuk menjawab tantangan tersebut.

Editor: RF Wuland

Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds