Fikih

Mencari Pendapat Mu’tamad: dari Mazhab Menuju Ijtihad Jama’i

10 Mins read

Istilah Mu’tamad

Istilah mu’tamad itu artinya yang dijadikan sandaran atau landasan dalam bermazhab hukum Islam. Itulah pengertian yang umum terbetik saat orang berbicara mengenai pendapat yang mu’tamad. Tidak jelas secara pasti kapan istilah pendapat mu’tamad itu muncul. Pada abad ke-13 Masehi tampaknya istilah pendapat mu’tamad mendapatkan bentuknya.

Tetapi sejarah panjang perkembangan hukum Islam selalu dalam proses mencari konsensus dan kemapanan di tengah perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang menjadi ciri khas bawaan fikih Islam.

Proses untuk mendapatkan pendapat mu’tamad dalam sejarah bukan proses mudah. Tidak ada lembaga keulamaan tradisional yang menjadi media pencapaian kesepakatan yang praktis. Proses pencarian kesepakatan yang tidak mudah itu berakar dari perkembangan mazhab hukum yang berjalan secara alami dan kultural.

Akar Perkembangan Mazhab

Sebenarnya, tidak ada ulama yang sengaja atau ingin mendirikan mazhab hukum. Imam Abu Hanifah, karena berguru kepada ulama Kufah, ia dianggap mewakili pendapat Kufah. Demikian pula Imam Malik yang belajar pada guru-guru di Madinah, sehingga ia mendapatkan kepercayaan sebagai suara ulama Madinah. Hal yang sama berlaku pada al-Auzai di Syiria.

Berbeda dengan mazhab Syafii dan Hanbali. Mereka sejak awal tidak dipandang mewakili ulama wilayahnya. Tetapi kepakaran mereka menarik minat banyak orang pandai untuk mengikuti pendapat mereka.

Mereka mengajar pada murid-muridnya. Murid-murid mereka sebagian para ahli yang mumpuni. Abu Yusuf dan al-Syaibani sangat diakui keilmuannya di kalangan umum dan sebagai konsultan pemerintah. Pendapat mazhab Hanafi yang disepakati di ketiga ulama inilah yang dipandang sebagai pendapat terkuat di Mazhab Hanafi.

Itu karena orang belajar pada guru untuk level tinggi bukanlah orang baru, tetapi sudah berilmu dari ulama-ulama lain pula. Karena tertarik metode dan pendapat-pendapat Sang Imam Abu Hanifah,  mereka menjadi pendukung pendapatnya secara sukarela, tetapi tidak dalam semua hal karena mereka bukan botol kosong.

Demikan pula halnya dengan proses-proses orang bermazhab generasi awal. Berdirinya mazhab itu bukan hanya karena pendirinya, tetapi karena murid-muridnya yang unggul. Mereka tidak jarang merangkum pendapat gurunya atau kadang memakai metodenya saja yang dianggap sama dengan pendapat gurunya, meski gurunya tidak ada pendapat demikian. Ada pula yang karena kepandaiannya, ia dipandang pakar di mazhab tetapi sering pendapatnya berbeda pendapat dengan gurunya.

Al-Muzani di mazhab Syafii, misalnya. Ia diakui sebagai murid Syafii yang pakar fikih. Sempat dianggap bukan sepenuhnya pengikut Syafii karena pendapat bedanya. Tetapi kemudian dipandang sebagai tokoh ashab (ulama mujtahid mazhab) pertama dan karyanya Mukhtashar, sangat diakui kalangan Syafiiyyah di kemudian hari.

Jadi, mazhab terbentuk di tangan para murid yang terinspirasi, mencatat, menyebarkan, dan mengembangkan pendapat gurunya. Gurunya, yang dianggap pendiri mazhab, awalnya hanya mengajar dan berpendapat sebagaimana para pengajar sekarang berpendapat sesuai metode dan gagasannya.

***

Guru yang pengikut atau muridnya tidak berkembang, lambat laun mazhabnya akan punah. al-Auzai, al-Thabari, dan al-Laits adalah ulama sekelas al-Syafii atau Abu Hanifah. Mereka diakui keilmuan dan otoritasnya pada masanya. Tetapi sepeninggal mereka, tidak ada pelanjut yang mumpuni.

Pengajaran zaman dahulu terjadi secara lisan. Murid-muridnya mencatat. Catatan tentu tergantung ketekunan muridnya. Al-Umm, karya al-Syafii adalah hasil catatan al-Buwaithi, yang kemudian diberikan pada Rabi. Karena ketekunan mereka, pendapat al-Syafii itu tercatat. Tetapi pencatat tidak hanya satu dan memperbanyak catatan itu, rawan masuk perbaikan atau salah tulis.

Di kemudian hari, hal ini melahirkan masalah hikayat tentang pendapat mazhab. Imam Syafii punya qaul qadim dan qaul jadid. Qaul jadid yang dianggap mewakili mazhab. Tetapi dengan berkembangnya wilayah sebaran pengikut Syafiyyah, muncul lah thariqah. Atau perbedaan versi riwayat di sentra Syafiiyyah: Bagdad dan Khurasan. Orang Bagdad boleh jadi meriwayatkan bahwa dalam masalah X, hanya ada satu pendapat dari Syafii. Sebaliknya, orang Khurasan menemui ada dua atau tiga riwayat berbeda dari pendapat al-Syafii.

Hal itu terjadi juga karena proses takhrij, atau proses ijtihad yang dilakukan oleh murid dengan metode gurunya yang kemudian diakui sama sebagai pendapat gurunya. Tidak jarang muncul dua pendapat berbeda yang dinisbatkan pada guru, yang salah satu diduga sebagai pendapat hasil takhrij (qaul mukharaj).

Kondisi itu kemudian melahirkan upaya untuk mengecek tingkat argumen riwayat-riwayat itu. Jika dari dua atau tiga pendapat dalam satu masalah yang dianggap semua diriwayatkan oleh Imam Syafii, tetapi ada satu yang dipandang sangat menonjol maka disebut al-adhhar. Tetapi jika riwayat-riwayat itu argumennya hampir sama-sama kuat maka yang dipandang kuat disebut al-masyhur. Pendapat terkuat itu pula yang disebut al-mazhab atau pendapat yang mewakili mazhab.

Baca Juga  Perkembangan Mazhab Fikih dalam Lintas Sejarah
***

Problem lain yang muncul adalah siapa yang mewakili pendapat Syafiiyyah dalam kasus-kasus baru. Kasus-kasus baru ini melahirkan ratusan ulama yang disebut ashabul wujuh. Dalam rentang 200-300 tahun, jumlah ashabul wujuh itu sangat banyak. Mereka berijtihad dengan metode mazhab sesuai dengan keahliannya.

Para ashabul wujuh ini ada yang berasal dari thariqah dua tadi, dan ada pula yang di luar wilayah itu. Pendapat mereka disebut wajh (jamak: wujuh) dan dinisbatkan sebagai pendapat mazhab karena mereka memakai metode mazhab. Namun, hasil ijtihadnya tidak jarang berbeda-beda, meski ada jejaring pendidikan dan keilmuan yang membuat ada pendapat-pendapat yang dilacak pada guru atau hakim yang dipandang berpengaruh.

Memang ada upaya tashih, yaitu penelitian beragam pendapat yang lahir dari ashabul wujuh. Jika ada ada dua atau tiga pendapat dan ada salah satu yang sangat kuat dasarnya, maka disebut al-ashah. Tetapi, perbedaan dalil dan argumentasi hampir sama, maka yang terkuat disebut al-shahih.

Pertanyaannya adalah, siapa otoritas yang diakui untuk melakukan tashih atau pemeriksaan jika derajat mereka sama sebagai ashabul wujuh dan keulamaan itu pengakuan umum, bukan jenjang organisasi? Apalagi masih ada dua thariqah besar: Bagdad dan Khurasan.

Semua kembali pada pengakuan informal atas keilmuan ahli tertentu, namun sosok tertentu sangat dibutuhkan sebagai sandaran. Tokoh itu tidak lahir secara terencana tetapi lahir secara alami pula.

Para Murajjih

Muncullah kemudian ulama-ulama yang diakui sebagai pentarjih di mazhab (ulama murajjih). Kepakaran mereka melahirkan penghormatan sehingga pilihan mereka dari beberapa pendapat Syafiiyyah yang beragam diikuti. Misalkan dalam kasus X ada tiga atau empat pendapat berbeda dari ulama Syafiiyyah, maka pendapat yang didukung ulama ini yang dijadikan referensi.

Meskipun secara logis otoritas sebenarnya unik juga. Ulama pentarjih itu levelnya di bawah mujtahid pendiri mazhab, di bawah murid pendiri mazhab, bahkan di bawah ashabul wujuh. Bagaimana pendapat dia menjadi pemutus dari pendapat-pendapat berbeda dari para ulama yang lebih tinggi otoritasnya? Ibaratnya antar-Profesor, secara status, berbeda pendapat, nah mana pendapat yang kuat ditentukan oleh yang belum bergelar profesor.

Status ulama pentarjih sendiri masih diperselisihkan apa dia masuk level mujtahid atau bukan dalam struktur mazhab.

***

Ulama pentarjih ini sangat dipercaya. Ia bisa menganulir pendapat Imam Syafii dalam qaul jadid sebagai dasar mazhab dan memilih qaul qadim yang tidak diakui sebagai pendapat mazhab.

Pengakuan terhadap mereka lahir dari kapasitas keilmuan. Ada dua tokoh di mazhab Syafii yang dianggap ulama pentarjih, yaitu Muhyi al-Din al-Nawawi dan Abdul Karim a-Rafii. Secara senioritas, al-Rafii lebih senior dan pakar dalam kaidah mazhab. Al-Nawawi lebih junior, tetapi lebih ahli hadis dan ilmu bahasa. Rupa-rupanya, dua keahlian dasar dalam hukum Islam itu menempatkan grade al-Nawawi lebih tinggi dibandingkan al-Rafii.

Selain itu, al-Nawawi meneliti kitab dari dua jalur thariqah, Bagdad dan Khurasan. Ia mengkaji dua karya tokoh madrasah Bagdad, yaiu Abu Ishaq al-Syirazi: Al-Tanbih dan Al-Muhadzdzab dan membuat penjelasannya. Ia juga mengkaji karya ulama berpengaruh Khurasan, al-Ghazali dalam Al-Wasith dan Al-Wajiz. Juga uraian al-Rafii mengenai karya al-Ghazali. Al-Nawawi juga memahami karya al-Muzani, Mukhtashar. Kelebihan itu yang tidak dimiliki oleh al-Rafii, yang lebih fokus pada karya-karya al-Ghazali. Meskipun karya al-Ghazali sudah merangkum berbagai pendapat Syafiiyyah yang ia turunkan dari gurunya, Abu Ma’ali al-Juwaini, dan al-Rafii mampu mengurai pendapat beragam itu.

Akhirnya, muncullah pikiran di kalangan Syafiiyyah bahwa pendapat Mu’tamad itu pendapat yang disepakati al-Nawawi dan al-Rafii. Arti disepakati bukan berarti mereka berdiskusi dan membuat kesepakatan, tetapi saat mengulas karya al-Rafii banyak pendapat al-Rafii yang dikuatkan al-Nawawi. Atau, al-Nawawi membuat karya ringkas yang didasarkan pula karya al-Rafii.

Meski tidak jarang, keduanya berbeda atau ada kasus yang hanya dibahas al-Nawawi atau al-Raii saja. Perbedaan pendapat di antara al-Nawawi dan al-Rafii ini menarik minat kajian ulama Syafiiyyah lainnya. Jika keduanya beda pendapat, maka ulama Syafiiyyah akan memilih pendapat al-Nawawi. Jika hanya ada pendapat salah satu, maka pendapat itu yang dipakai.

Namun ada kalanya, pendapat al-Nawawi dalam karyanya yang satu dengan karyanya yang lain kadang berbeda kesimpulannya. Hal itu menimbulkan upaya membuat prioritas karya-karya al-Nawawi jika pendapat-pendapatnya berbeda.

Baca Juga  Buya Syafii: Muazin Bangsa dari Makkah Darat

Pasca Ulama Tarjih

Namun, al-Nawawi tidak hidup selamanya. Masalah baru tetap akan muncul. Siapa lagi yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur pendapatnya?

Jawabannya umumnya, ikut ulama alim dan wara, khususnya pendapat yang diikuti ulama terbanyak. Meskipun, ukuran alim dan wara itu tidak ada yang bisa diukur secara evaluatif, selain dari kecakapan dan pengakuan umum.

Misalnya, belakangan muncul dua ulama hebat di kalangan Syafiiyyah, yaiti Ibnu Hajar al-Haitami dan Syamsuddin al-Ramli, yang keduanya digelari al-Syaikhani dalam fikih Syafi’iyyah muta’akkhirin. Ulama Syafi’iyyah bersilang pendapat mengenai siapa paling mumpuni. Belum lagi jika dibandingkan Khatib al-Syarbini dan senior mereka Zakariya al-Anshari.

Setelah itu, karena fikih banyak bicara hal-hal yang sudah dibahas, maka dinamika mulai berkurang. Banyak karya kecil untuk mempermudah untuk mengajarkan pendapat yang sekira banyak disepakati. Kemudian dijelaskan detailnya dalam syarah, dilanjutkan hasyiyah. Atau karya-karya perluasan (tausyih), penjelasan tambahan (taudlih) atau sekali lagi pengecekan (tahrir).

Tentu saja, pendapat minor-minor muncul yang entah disebut mu’tamad atau tidak. Tapi dengan asumsi dan kepercayaan personal pada satu ulama, maka pendapat ulama itu umumnya diakui asal secara identitas dia dianggap ulama mazhab.

Lalu, untuk masalah-masalah baru lagi, siapa yang otoitatif dan apakah pendapatnya mu’tamad. Sejalan dengan menguatnya taklid, asal ulamanya diakui, maka pendapatnya dianggap mu’tamad, minimal di lingkungan murid-muridnya sendiri atau yang mengakui otoritasnya. Kasus-kasus baru belum punya otoritas tarjih selain yang penting ikut pendapat ulama yang dipercaya.

Hal ini mulai melahirkan alternatif fikih manhaji, fikih metodis di kemudian hari. Dalam doktrin klasik mazhab, yang boleh memakai cara metodis hanya mujtahid sampai level ashabul wujuh. Kalangan di bawahnya, seperti murajjih, muwazin apalagi hamalatul faqih (ahli kitab fikih) tidak punya kapasitas ijtihad metodis. Tetapi itulah kebutuhan.

Menimbang Proses Mu’tamad Ala Mazhab

Pencarian pendapat mu’tamad ala mazhab itu bagaikan dua sisi pisau. Di satu sisi, warisan mazhab itu mengayakan kesarjanaan hukum Islam dengan karya-karya yang masif. Fikih mazhab menyediakan sumber dari yang setebal 50 halaman sampai ribuan halaman (20 jilid) dengan berbagai pernak-pernik pembahasan aspek hukum.

Di sisi lain, warisan mazhab juga bisa menjebak dinamika hukum untuk mengakomodasi dan meromantisme sejarah kesulitan mazhab untuk mencari kesepakatan internal. Hukum Islam di kalangan muta’akhkhirin jauh dari spirit sumber-sumbernya.

Muncul pendapat muta’akhkhirin bahwa beristinbat dari Al-Qur’an dan sunah itu hanya tugas mujtahid dan berpendapat harus bertingkat. Generasi sekarang cukup cari kata-kata ulama yang cocok untuk menjawab sekarang atau melakukan analogi (ilhaq al-masail) terhadap hal-hal yang sudah dibahas ulama sebelumnya.

Ashabul wujuh, misalnya, hanya boleh berijtihad dalam kasus-kasus yang belum dibahas pendiri mazhab atau muridnya. Ulama setelah ashabul wujuh tidak boleh berijtihad. Bahkan pendapat ashabul wujuh pun tidak dianjurkan untuk diikuti karena bukan pendapat mu’tamad. Yang terbaik adalah dengan mengikuti pendapat yang sudah ditarjih dan turunannya. Ikut pendapat-pendapat demikian sudah dianggap mengikuti Al-Qur’an dan sunah.

Tidak boleh melompat untuk melakukan ijtihad. Kata ijtihad sudah hilang relevansinya karena menjadi domain para mujtahid, yang dianggap sudah mulai menghilang pada sekitar abad ke-14 Masehi. Karena fikih sudah selesai dibahas maka tinggal kaji dan ikuti.

Tentu saja ini menjadikan spirit agama itu jadi berkurang. Hukum Islam itu adalah upaya agar perbuatan lahiriyah manusia sejalan tuntunan agama. Tuntutan agama itu dasarnya Al-Qur’an dan sunah dengan pembuktian dan kongklusi sesuai akal sehat yang metodologis.

Namun mazhab, demi birokrasi yang susah payah dibangun tentu sulit lepas dari pencapaiannya. Sebenarnya tidak dalil syar’i yang menuntut untuk bermazhab hukum. Meskipun dalam tertib hukum, orang butuh keteraturan dan kepastian. Namun, bagaimana sistem kepastian (pendapat mu’tamad) itu dicapai lebih merupakan karena faktor historis dan sosiologis belaka. Hal itu tidak menutup pintu bagi model baru dalam pencarian pendapat baru.

Pendapat Mu’tamad Melalui Ijtihad Jama’i

Gerakan pembaharuan Islam adalah respon atas ketertinggalan umat Islam. Ada pemikiran bahwa kita tertinggal karena meninggalkan spirit Al-Qur’an. Maka untuk mengejar ketertinggalan, kembali kepada spirit Al-Qur’an dan sunah. Jamah kembali warisan agama yang paling agung itu!

Istilah ijtihad bukanlah hal yang aneh. Proses istinbath atau penyimpulan hukum dari nash atau dalil lain itu ijtihad. Tidak perlu diganti dengan istilah taqrir atau lainnya.

Seraya menyambut dunia yang berubah dan kompetisi dunia yang optimis dengan kemajuan maka sistem otoritas baru dipakai: Organisasi. Sistem mazhab klasik tidak mengenal otoritas organisasi, hanya otoritas tokoh-tokoh ulama dengan pengakuan informal, posisi akademik, atau karena jabatan sebagai hakim.

Baca Juga  Menggagas Fikih Demonstrasi

Dengan datangnya alam otoritas baru ini, ada channel untuk mencari sistem otoritas, termasuk mentarjih pendapat sehingga bisa dijadikan sandaran bersama (mu’tamad). Sudah barang tentu organisasi itu hanya sistem, wujudnya adalah manusia-manusia. Tetapi mereka punya mekanisme jelas dan langsung untuk mencari kesepakatan di tengah pikiran yang lebih egaliter.

Nah, apakah para ulama organisasi itu lebih hebat dibandingkan ulama mazhab? Memang belum tentu, karena ulama mazhab itu harus bekerja keras membuktikan dirinya diakui baru didengar. Tetapi, dalamnya lautan siapa bisa menduga?

Setidaknya, dalam Islam, jamaah itu lebih kuat. Andai ada orang alim shalat sendiri lalu bacaan pokoknya salah, maka shalatnya batal. Dalam shalat berjamaah, meski imam dan makmumnya tidak terlalu alim, tetapi jika ada bacaan salah maka akan tertopang oleh bacaan lainnya.

Dalam ushul fikih pun populer hadis, yang meski bukan hadis kuat, tetapi menjadi landasan pendukung ijma: “La yajtami’u ummati ala al-dhalalah” (Umatku tidak akan bersepakat untuk kesesatan). Artinya kesepakatan umat itu kuat sekali.

***

Dalam ilmu hadis pun, kerja jamaah itu lebih diakui dengan kriteria checking individu lebih longgar. Jika satu hadis ahad, atau diriwayatkan hanya 1-3 maksimal dalam salah satu rantai sanadnya, maka masing-masing perawi harus dicek apakah mereka tsiqat (adil dan ingatannya kuat). Jika kriteria itu terpenuhi, maka hadis itu sahih atau minimal hasan.

Tetapi untuk hadis mutawatir — yaitu jika perawi dalam semua persambungan sanad itu jamaah yang tidak saling kenal atau tidak mungkin membuat kesepakatan untuk membuat berita palsu, maka orang-perorang rawi tidak perlu dicek kualitasnya. Berita mereka secara akumulatif diakui lebih kredibel dari hadis sahih.

Prinsip itulah yang melahirkan ijtihad kolektif sebagai mekanisme. Orang bisa secara berjamaah dalam mencari keputusan hukum terbaik.

Ulama dahulu tidak berijtihad secara bersama karena mereka ikut pendapat orang lain, berpendapat sendiri, berpolemik, dan pendapatnya diterima atau diikuti orang. Kesepakatan ulama zaman dulu terjadi secara alami karena penerimaan luas atau tidak ada pertentangan signifikan antar ulama.

Proses tarjih dengan ijtihad jama’i yang difasilitasi organisasi inilah berkah untuk mencari pendapat mu’tamad saat ini. Pendapat mu’tamad dalam sejarah tidak bisa disamakan dengan ijma karena asal pendapat mu’tamad di masa lalu juga dari pilihan satu pendapat di antara banyak pendapat berbeda dalam satu mazhab. Organisasi menyediakan mekanisme dan sistem otoritas untuk mencapai pendapat mu’tamad yang dijadikan landasan bersama.

Melalui ijtihad kolektif, orang bisa mencoba mencari aklamasi secara bersama dan sabar sehingga setidaknya satu pendapat yang disepakati bisa dipandang sebagai sandaran bersama. Meski toh, dalam proses diskusi, orang banyak tetap membuka ruang ada suara-suara tidak puas yang mungkin belum terucap. Tetapi hal itu tidak mengurangi kualitas konsensus karena sepanjang tidak mengemukakan pendapat atau keberatan, orang diasumsikan menerima.

Setidaknya, pencarian pendapat mu’tamad itu lebih singkat. Bayangkan, dalam mazhab Syafii, pendapat mu’tamad itu jelas rumusannya oleh al-Nawawi yang meninggal tahun 1277 M (lebih 400 tahun setelah meninggalnya Imam Syafii).

***

Mekanisme ijtihad jama’ai dengan fasilitasi mekanisme organisasi itulah yang dipakai dalam Majelis Tarjih. Itulah jalan masuk akal untuk memyederhanakan birokrasi keilmuan ala mazhab.

Pencapaian mazhab tidak dibuang, bahkan dipertimbangkan untuk pengayaan. Namun ukurannya penyelesaian masalah adalah: “Jika kalian berselisih pendapat, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Nisa ayat 59).”

Itulah mekanisme mencari pendapat mu’tamad untuk saat ini. Dengan melimpahnya sumber-sumber terdokumentasi dan teknologi, maka akses kepada referensi lebih baik untuk saat ini.

Namun, bukan berarti cara ini tidak punya ekses. Karena percaya pada hasil jamaah atau bersandar pada jamaah, maka secara individu tidak banyak yang bersungguh-sungguh mengkaji dan mendalami hukum Islam, bahkan hasil ijtihad jamai yang dicapai.

Padahal, kualitas hasil diskusi atau bahasan tetap ditentukan oleh kualitas pelaku-pelaku diskusi atau kajian. Sebagaimana halnya hasil diskusi para profesor tentu beda bobot dengan hasil diskusi para mahasiswa. Tantangan terbesar ijtihad jama’i saat ini adalah bagaimana tetap meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia agar kualitas ijtihad sekarang tidak jatuh dibandingkan kualitas ijtihad masa lalu.

Editor: Yahya FR

Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds