Gerakan feminisme telah banyak membuktikan, minimal menyumbangkan inspirasi pemikiran, bahkan pemahaman terhadap terciptanya dunia yang lebih baik dan lebih adil. Gerakan feminisme tidak hanya mempengaruhi pandangan berbagai agama, paling tidak memaksa kaum agamawan untuk melihat dan mengevaluasi kembali tafsiran terhadap posisi perempuan yang selama ini ada untuk mengkritisi ketimpangan gender.
Gerakan ini pula yang mendorong munculnya gugatan atas berbagai kultur yang mempengaruhi kondisi dan posisi perempuan di banyak tempat. Artikel ini mencoba melakukan rekontruksi secara kritis tentang gerakan feminisme dikaitkan dengan perspektif agama, khususnya islam, tentang perubahan sosial (Dr. Mansyur Fakih, 2013).
Dewi Kunthi dalam Budaya Wayang Jawa
Jika kita melihat dari sudut pandang tentang kedudukan wanita dalam kebudayaan jawa dan beberapa tokoh pewayangan, kita akan teringat pada tokoh Dewi Kunthi. Ia adalah putri Prabu Kuthiboja atau Basukunthi di Mandura, sehingga dalam pewayangan sebagai simbol seorang ibu yang baik dan bijaksana. Meski demikian, bukan pengalaman yang baik-baik saja yang pernah Dewi Kunthi alami dalam keseharian. Pengalaman buruk pun pernah dirasakan.
Ketika ia masih perawan, ia sudah mendapatkan ujian yang sangat besar, entah karena sebagai hukuman ataukah peringatan dari Tuhan kepadanya. Dalam kesendiriannya, ia sudah ‘harus’ memiliki seorang putra; namanya Suryatmaja (Putra Bathara Surya atau Basukarna). Dewi Kunthi melahirkan putranya tadi karena ‘kecelakaan’; yakni karena merapalkan Aji Pameling pemberian Resi Druwarsa.
Padahal konteks ‘ilmu’ tadi hanyalah ketika ia ingin memiliki putra dalam keadaan darurat, sehingga bisa memanggil dewa yang dinginkan. Untunglah, Bathara Surya yang ‘menitipkan’ seorang anak tadi membantu mengurangi beban derita Kunthi dengan cara melahirkan dari telinga Kunthi yang sebelah kiri. Dengan demikian, Dewi Kunthi masih tetap perawan.
Sujamto dalam buku Wayang & Budaya Jawa (1993) mengatakan bahwa persepsi tentang Dewi Kunthi dan dalam penghayatan lakon wayang, ada satu hal yang tak boleh kita lupakan. Ia adalah pandangan pokok etika jawa yang berlaku dalam wayang maupun dalam masyarakat nyata. Pandangan ini berupa keyakinan tentang kemutlakan hukum Tuhan yang dikenal dengan ungkapan ngunduhwonging penggawe (memetik perbuatan sendiri).
Dalam proses pendidikan dan pembelajaran, figur teladan atau pemberi contoh sangatlah berpengaruh besar. Meski kadang-kadang ada orang yang ilmunya selangit, tetapi tanpa teladan yang baik, toh hasilnya sia-sia belaka. Betapa banyaknya kasus seperti itu yang terjadi di masyarakat (Wawan Susetya, 2016).Â
Dalam budaya pewayangan jawa sudah digambarkan secara sekelumit tentang kedudukan dan betapa spesialnya wanita bagi masyarakat itu sendiri. Ia diwujudkan dengan kepemilikan rahim yang akan melahirkan insan-insan mulia, dan karenanya wanita memiliki sisi kemuliaannya sendiri yang begitu luhur. Begitupun dalam konteks agama Islam bahwa wanita memiliki kedudukan dan posisi yang begitu murni-spesial.
Banyak sejarawan mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra-Islam atau yang dikenal zaman jahiliyah, kedudukan perempuan dalam masyarakat sangatlah rendah posisinya dan amat buruk kondisinya. Perempuan pada masa itu kerap dianggap tidak lebih berharga dari suatu komoditas.
Dari berbagai uraian tentang penggambaran kedudukan kaum perempuan, yang menonjol di antaranya ialah bahwa jika seorang suami meninggal dunia, saudara laki-laki atau saudara laki-laki lainnya mendapat waris untuk memiliki jandanya. Bahkan kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik merendahkan kaum perempuan yang membentang luas di dunia arab pada zaman pra-Islam.
Dalam dua contoh tersebut telah tergambarkan bagaimana penindasan dan peninggian kedudukan wanita dalam karena rahim yang dimilikinya. Dalam hal lain ia bisa berupa bencana, dalam hal lain ia juga berupa rahmat.
Ketimpangan Gender dalam Tafsir Agama
Dewasa ini agama mendapat ujian baru, karena agama sering dianggap masalah, bahkan dijadikan kambing hitam atas terjadinya pelanggengan ketimpangan gender. Hal yang sangat menggangu misalnya tentang penggambaran bahwa tuhan seolah-seolah adalah laki-laki, penggambaran semacam ini terjadi dalam hampir semua agama.
Sejauh manakah pandangan tersebut dipengaruhi oleh atau mempengaruhi kultur yang dikenal sebagai patriarki? Lebih lanjut, apakah pelanggengan ketimpangan gender seluruh secara luas dalam agama bersumber dari watak agama itu sendiri, ataukah justru berasal dari pemahaman, penafsiran dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki, ideologi kapitalisme maupun pandangan-pandangan lainnya?
Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari satu nafs (living entity), di mana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan Al-Qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga bisa ditafsirkan kedudukan dan statusnya lebih rendah oleh sebagian pihak.
Atas dasar itu, prinsip Al-Qur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, di mana hak istri diakui sederajat dengan hak suami. Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempauan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki, apalagi jika dikaitkan dengan konteks masyarakat pra-Islam yang ditranformasikannya (Dr. Mansyur Fakih, 2013).
Untuk itu, sudah saatnya lembaga keagamaan dan pendidikan serta lembaga kajian keagamaan memiliki bagian ‘pengkajian perempuan’ sebagai wadah yang memberi ruang untuk mengkaji persoalan kedudukan perempuan dalam agama. Dalam masyarakat Islam misalnya, perlunya kajian perempuan di pesantren maupun lembaga pendidikan tinggi Islam sudah semakin mendesak. Melalui lembaga kajian seperti ini kemungkinan lahirnya tafsir maupun fiqih perempuan yang berperspektif keadilan gender terbuka lebar.
Editor: Shidqi Mukhtasor