Beberapa waktu lalu secara serentak dalam satu hari banyak orang mengunggah status WhatsApp (WA) yang sama, ucapan belasungkawa meninggalnya ulama Syekh Ali Jaber. Tak sering saya temui unggahan duka semassal itu, setidaknya di lingkaran perkawanan saya di sosial media. Banyak orang merasa kehilangan dengan tokoh agama kelahiran Madinah tersebut.
Meski Syekh Ali Jaber telah lama malang melintang di dunia dakwah Islam di Indonesia, saya tak banyak tahu tentangnya, atau saya bukan pengikut setia setiap kajiannya. Saya hanya tahu beliau sering muncul di televisi dan sering menjadi juri kompetisi hafiz. Dan Syekh Ali Jaber kerap hadir bersama dengan pedakwah yang lebih dini saya ikuti yaitu Ustadz Yusuf Mansyur.
Peristiwa penusukan terhadap Syekh di Bandar Lampung tahun lalu membuat banyak mata menyoroti beliau, khususnya orang Islam, termasuk saya. Saya pun mengikuti akun Instagram pribadi dan yayasan, serta melihat beberapa ceramah beliau di Youtube. Terakhir, saya menyaksikan Syekh Ali Jaber di acara podcast Deddy Corbuzier.
Tak dapat dipungkiri momen itu makin membawa Syekh ke permukaan dan dilihat berbagai orang yang memang tak pernah tahu sosoknya. Sisi Syekh yang jarang terekspos pun terlihat di sini, yakni kecintaannya pada bangsa Indonesia.
“Beliau datang ke podcast ini pada saat itu punya satu misi, misinya adalah untuk menenangkan rakyat Indonesia supaya tidak terjadi kerusuhan, supaya tidak jadi keramaian, supaya tidak terjadi keributan yang mendukung atau membela beliau dengan tameng apapun yang akhirnya membuat kita resah,” demikian jelas Dedy Corbuzier setelah berita Syekh meninggal.
Penjelasan tersebut mengingatkan saya pada berbagai peristiwa belakangan. Kita sering melihat keributan yang terjadi akibat tokoh—baik agama maupun politik—yang diserang. Anehnya, serangan-serangan terhadap figure tersebut sering dalam bentuk verbal bahkan hanya berupa cuitan media sosial. Akibatnya, keributan pun terjadi di jagad maya, dan ia bisa menjalar ke kerusuhan nyata atau bahkan berujung bui.
Tapi, perlu digarisbawahi bahwa serangan kepada tokoh agama memang paling berpotensi menciptakan sebuah reaksi massa yang sulit dibendung. Tak heran sejak dulu, jika terjadi serangan (verbal maupun fisik) bahkan pembunuhan terhadap kiyai, berbagai pihak harus mendinginkan hati para santri atau pengikutnya agar tidak terjadi main hakim sendiri atau bentrok yang lebih besar.
Demikian pula di agama lain, kawan saya yang beragam Kristen pun ada yang mengatakan, “ Kalau agama saya diejek ya sabar saja, tapi kalau pendeta saya dicolek, gebuk!” Bagi masyarakat religius seperti kita, tokoh agama seperti ulama, kiyai, biksu atau pendeta memang memiliki pengaruh kultural yang sangat kuat.
Penusukan Syekh Ali Jaber saat itu bukanlah peristiwa biasa. Itu bisa diangkat dan digoreng dengan bermacam isu yang bisa menambah daftar riwayat keributan kita. Tapi, Syekh memutuskan supaya bola panas tak keburu bergulir. Ia menginginkan kasus itu menjadi urusannya dengan si penusuk dan cukup berakhir di pihak kepolisian, tak perlu kemana-mana.
Jika saya diposisi Syekh, mungkin saya perlu menginterogasi si penusuk dan saya perlu mengawal jalannya penyelidikan untuk mengetahui kebenaran dari kasus ini. Tapi Syekh Ali Jaber tidak, dia tak peduli.
Bagi Syekh yang penting adalah keadilan, bukan hanya keadilan proses hukum. Tapi juga keadilan supaya masyarakat mendapatkan haknya; hak hidup damai tanpa keributan, hak nyaman untuk bekerja dan mencari rejeki tanpa distraksi, dan hak untuk tentram di dunia maya. Sebuah sikap yang tak kita lihat pada para pemimpin dan tokoh saat ini. Alih-alih menentramkan situasi mereka sering makin memanasi dengan komentar-komentarnya.
Saya pun mencoba memahami lagi pemikiran Syekh atas perbuatan yang menurut saya sangat heroik itu. Dan, saya menemukannya pada salah satu foto yang beredar di internet saat beliau memegang passport Warga Negara Indonesia (WNI). Di sana, Syekh mengatakan bahwa menjadi WNI adalah sebuah kebanggaan. Tapi di sisi lain, Ia menegaskan bahwa bersamaan dengan diakuinya sebagai WNI ada beban yang mengikuti.
“Beban” di sini menjadi kata kunci. Segala sesuatu yang diyakini mengandung beban harus diikuti dengan konsekuensi dan tanggung jawab. Ibarat sebuah rumah — selain makan, tidur, dan berlindung di dalamnya — kita pun terbebani tanggung jawab membuatnya aman dan nyaman: mulai dari rajin mengunci pintu dan jendela, menata dan membersihkan, hingga saling menjaga perasaan penghuninya supaya rukun dan harmonis.
Tapi, nampaknya kita masih jauh dari sikap seperti yang dicontohkan Syekh Ali Jaber itu yang notabene newbie sebagai WNI. Kita masih hidup seenaknya dan semaunya di rumah bernama Indonesia ini. Mungkin karena rumah ini tak kita dapatkan dengan susah payah dan gratis.
Editor: Dhima Wahyu Sejati