Tafsir

Mengenal Kitab Ma’alim al-Tanzil Karya Imam al-Baghawi

5 Mins read

Kitab Ma’alim al-Tanzil adalah salah satu kitab tafsir klasik al-Baghawi yang paling dikenal. Sampai-sampai, nama lain dari kitab tafsir ini adalah Tafsir al-Baghawi. Berikut adalah sistematika publikasi naskah kitab tafsir al-Baghawi, merujuk pada Study Naskah tentang Thalaq dalam Kitab Tafsir Ma’alim al-Tanzil Karya al-Baghawi karya Ermawati dan Metodologi Kitab Ma’alim al-Tanzil oleh M. Rusydi Khalid.

Sistematika Publikasi Naskah Kitab Tafsir al-Baghawi

  1. Selesai ditulis pada tahun 464 H (1071/1072 M)
  2. Diterbitkan oleh Penerbit Hijriyah di Bombay, India pada tahun 1295 H
  3. Dicetak untuk keduanya kalinya dengan digabungkan bersama kitab tafsir Ibn Katsir pada tahun 1296 H
  4. Dicetak oleh Percetakan Istiqamah di Mesir dalam bentuk hasyiyah dengan kitab tafsir al-Khazin pada tahun 1331 H
  5. Dicetak oleh percetakan Tijariyah al-Kubra pada tahun 1955 M
  6. Dicetak oleh percetakan Bab al-Halabi pada tahun 1957 M
  7. Dicetak oleh percetakan Dar al-Ma’rifah, Beirut, pada tahun 1970 M, ke dalam 4 jilid
  8. Dicetak oleh Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, pada tahun 1993 M, ke dalam 4 jilid
  9. Cetakan ke-4 diterbitkan oleh Dar Thibah li an-Nasyr wa at-Tawzi pada tahun 1997 M. Sebanyak 8 juz ditahqiq oleh Muhammad Abdullah al-Namr, Utsman Jum’ah Dhamiriyah, dan Sulaiman al-Harsy.

Kitab Ma’alim al-Tanzil

Kitab Ma’alim al-Tanzil ini membahas penafsiran Qur’an dari segi tafsir bil ma’tsur atau tafsir riwayah, dan tafsir tahliliy. Metodologi ini berarti menafsirkan ayat berdasarkan nash, yakni dengan sumber data riwayat tradisional seperti ayat Al-Qur’an sendiri, hadis Rasulullah ﷺ, sampai perkataan para sahabat dan tabi’in. Namun meskipun begitu, al-Baghawi tidak membatasi dirinya pada sebatas tafsir bil ma’tsur saja secara mutlak, dan terkadang juga menggunakan tafsir bil ra’yi.

Metodologi yang al-Baghawi gunakan dalam buku tersebut, sebagaimana yang ditulisnya dalam bagian pengantar buku, adalah dengan terlebih dulu menafsirkan ayat-ayat secara mandiri, sebelum kemudian mengikutinya dengan penafsiran para sahabat atau tabi’in terdahulu tentang hal yang sama, tanpa menyebutkan sanadnya. Sebagai contoh, al-Baghawi akan cukup menuliskan seperti, “Ibn Abbas berkata seperti ini; Mujahid berkata seperti ini; Atha berkata seperti ini; dan seterusnya.” (M. Rusydi Khalid, 2017, hlm. 116)

Dalam The Qur’an: an Encyclopedia, Oliver Leaman menyimpulkan bahwa terdapat tiga tahap komposisi dalam metode penafsiran kitab Ma’alim al-Tanzil ini.

Baca Juga  Benarkah Wanita yang Buruk untuk Lelaki yang Buruk?

Pertama, al-Baghawi menggunakan penafsiran al-Thalabi sebagai inti dari kitabnya sendiri. Kedua, seperti yang diutarakannya dalam bagian pengantar kitab, ia juga menambahkan materi suplementarial lain dari sumber-sumber lainnya. Ditambahkan olehnya bahwa tulisannya mengacu kepada narasi dalam mengilustrasikan doktrin dan penafsiran kitab suci Al-Qur’an. Ketiga, kitabnya melalui proses pengeditan dan pemeriksaan di tangan Taj al-Din Abu Nasri ‘Abd al-Wahhab ibn Muhammad al-Husayni (wafat 875 M/1471 H).

Gaya Penulisan Tafsir al-Baghawi

Penulisan al-Baghawi memang banyak terpengaruh oleh al-Thalabi, dari penggunaan materi tradisi sampai penggunaan narasi sebagai alat utama untuk ilustrasi doktrin dan interpretasi Al-Qur’an.

Pendapat ini juga didukung oleh perkataan Ibn Taimiyyah, tentang bahwasanya kitab Ma’alim al-Tanzil merupakan sebuah ringkasan dari kitab Tafsir al-Thalabi, merujuk pada persamaan kalimat yang digunakan al-Baghawi dalam menafsirkan al-Fatihah pada lafaz alhamdu yang serupa dengan penafsiran al-Tha’labi.

Meskipun begitu, beliau mengakui kecermatan al-Baghawi dalam mengarang kitab. Ketika ia ditanya tentang tafsir manakah yang paling mendekati Al-Qur’an dan sunnah di antara al-Zamakhsyari, al-Qurtubi, dan al-Baghawi, yang paling terhindar dari bid’ah, hadis-hadis dhaif dan maudhu’, adalah kitab tafsir al-Baghawi (Majmu’al Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah).

Peter G. Riddle sedikit banyak menyimpulkan secara komprehensif bagian tambahan tentang gaya penulisan al-Baghawi ini dalam Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses. Peter menyimpulkan, bahwasanya dalam menafsirkan suatu ayat, al-Baghawi sering menghadirkan narasi cerita yang panjang dan detail. Al-Baghawi jarang memasukkan sanad dalam tulisannya, karena ia lebih memilih untuk menuliskan tafsir dengan gaya prosa yang relatif cair dan cenderung cocok untuk pembacaan mendetail.

Daripada terlalu memberikan perhatian pada filologi, ia lebih banyak memberikan perhatian pada alur cerita. Gaya penulisannya lebih fokus terhadap penceritaan dan bergaya kisah untuk menggambarkan tujuan eksposisi teologisnya.

Contoh Penafsiran al-Baghawi

Peter menyertakan contoh ketika al-Baghawi hendak menafsirkan surat al-Kahfi ayat 77, ‘where he presents a range of related accounts of the meeting between Khidr and Moses, on the one hand, and the inhabitants of the town who refused to give them hospitality, on the other.’ (Peter G. Riddell, 2001: 44)

Baca Juga  Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an (2): Ayat Mutasyabihat itu Tetap Bisa Dipahami!

Abu b. Ka’b melaporkan sebagai berikut dari Nabi SAW: sampai pasangan itu bertemu dengan beberapa penduduk rendahan di suatu kota, mereka beredar di antara kelompok mereka dan meminta makanan kepada penduduk, tetapi mereka menolak untuk menunjukkan keramahan pada pasangan tersebut. Juga terkait bahwa mereka beredar di antara orang-orang dan meminta makanan kepada mereka, tetapi mereka tidak memberi makan pasangan itu atau mengundang mereka sebagai tamu ataupun menunjukkan keramahan kepada mereka.”

Alasan di balik jarangnya penggunaan rantai sanad oleh al-Baghawi, adalah penggunaannya dapat mengganggu aliran teks naratif yang ia gunakan, yakni gaya penulisan yang diikutinya dari al-Thalabi.

Terlebih, daftar sumber telah ia cantumkan secara komprehensif di bagian kata pengantar karyanya. Namun, terdapat pengecualian seperti pada penafsiran al-Baghawi tentang surat al-Kahfi ayat 76 berikut, yang dengannya al-Baghawi menyertakan sanad yang cukup panjang (Peter G. Riddle, 2001: 42-43).

Kami diberitahu oleh Isma’il ibn ‘Abd al-Qahir yang melaporkan dari’ Abd al-Ghafar ibn Muhammad yang melaporkan dari Muhammad ibn ‘Isa yang mengulang dari Ibrahim ibn Muhammad ibn Sufyan yang mengulang dari Muslim ibn al-Hajaj yang mengulang dari Muhammad ibn ‘Abd’ Ala al-Qaysi yang mengulang dari al-Mu’tamar ibn Sulaiman yang mengacu pada ayahnya yang mengacu pada Ruqbah yang mengacu pada Abu Ishad yang mengacu pada Sa’id ibn Jubayr yang mengacu pada Ibn ‘Abbas yang mengacu pada Abu ibn Ka’b yang berkata: Nabi SAW berkata…

Penafsir yang Bersifat Eklektik

Selain itu, al-Baghawi tidak hanya membahas tentang elaborasi penafsiran Al-Qur’an saja dalam Ma’alim al-Tanzil, melainkan juga menyampaikan isu-isu lainnya seperti perbedaan gramatikal tata bahasa para tabi’in, meski ini tidak terlalu sering.

Contohnya seperti komentar al-Baghawi tentang perbedaan tata bahasa beberapa tabi’in yang berbeda tentang penafsiran surah al-Kahfi ayat 77 (Peter G. Riddell, 2001: 43),

Ibn Kathir dan Abu ‘Amr dan Ya’qub membacanya sebagai latakhidhta dengan satu ta’ dan sebuah kasrah pada kha’, dan yang lainnya membacanya sebagai la-ttakhadhta dengan penggandaan ta’ dan fatha pada kha’ dan (perbedaan antara) kedua kata ini seperti atba’a dan tabi’a ‘alayhi

Baca Juga  Tafsir Istiadzah: Pengajaran Pertama Jibril

Peter menuliskan bahwa al-Baghawi sejatinya penafsir yang bersifat eklektik; yakni seorang yang memilih hanya yang terbaik dalam memilih sumber penafsiran yang ia gunakan. Sama halnya ketika ia memilih hadis yang ia jadikan rujukan dalam mengumpulkan narasi yang terkandung dalam tafsirannya.

Hal ini didukung oleh pendapat Taqiyuddin al-Subki tentang al-Baghawi. Katanya, “Sedikit sekali kami melihatnya memilih sesuatu kecuali, apabila ditelitinya maka ia akan menemukan yang lebih kuat dari yang lainnya, selain itu ia juga dapat mengungkapkannya dengan ringkas. Hal tersebut menunjukkan bahwa ia diberikan kecerdasan yang luar biasa. Dan ia berhati-hati dalam melakukan hal demikian.” (Achmad & Ajilni, 2019: 9)

Kritik terhadap Kitab Ma’alim al-Tanzil

Meskipun begitu, bukan berarti kitab Tafsir al-Baghawi tidak memiliki kekurangan. Gaya penafsiran naratif yang diikutinya dari al-Thalabi ini membuatnya mendapatkan kritik yang berasal dari penggunaan israiliyyat dalam kitabnya, yakni sumber dan riwayat yang awal periwayatannya berawal dari kaum Yahudi dan Nasrani.

Penggunaan israiliyyat tanpa adanya penjelasan ataupun kritik tentang penggunaannya dari al-Baghawi ini juga disayangkan oleh al-Dhahabi, meskipun beliau juga mengakui keunggulan kitab ini di antara kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur lainnya (al-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 236).

Contoh kisah yang diambilnya dari sumber non-Islam adalah kisah Daud dan Batsyeba di surat Shaad, yang asal riwayatnya berasal dari sumber Yahudi, dan kisah 7 Pemuda Ashabul Kahfi di surat al-Kahfi, yang diperoleh al-Baghawi dari sumber Nasrani. (Peter G. Riddell, 2001: 44)

Sebagaimana kitab Tafsir al-Baghawi ini merupakan sebuah ringkasan (mukhtashar) dari kitab Tafsir al-Thalabi, Ma’alim al-Tanzil ini kemudian juga diringkas oleh al-Khazin, yang mana kemudian terbit dengan nama Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, menjadikannya sebagai sebuah kitab ringkasan atas ringkasan (mukhtashar li mukhtashar).

Sekian adalah penjelasan mengenal historiografi kitab tafsir hasil penulisan al-Baghawi, yakni Ma’alim al-Tanzil. Wallahu a’lam bishawab. []


7 posts

About author
Pelajar.
Articles
Related posts
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds