Perspektif

Islam itu Damai, Bukan Cerai!

4 Mins read

Islam merupakan agama yang diturunkan Allah Swt. melalui perantara malaikat Jibril kepada Nabi terakhir, Muhammad saw. sebagai perantaranya.

Dengan segala norma-norma, aturan-aturan, dan hukum yang berlaku dalam Islam, tentu memiliki tujuan yang tak lain untuk menata pola kehidupan manusia di muka bumi. Baik itu hubungan manusia dengan Allah Swt. (habl min Allah), maupun hubungan dengan sesama manusia (habl min al-naas)/sosial.

Sudah barang tentu Islam diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Maidah ayat tiga yang artinya “pada hari itu telah menyempurnakan untukmu”.

Dalam buku Abd. Rozak dan Ja’far yang berjudul Studi Islam: di Tengah Masyarakat Majemuk Islam Rahmatan Lil’alamin, sebagai pemegang kebenaran absolut dan kuasa tertinggi. Maka, perintah Allah Swt. merupakan suatu kewajiban bagi seluruh umat manusia untuk tunduk dan melaksanakannya.

Segala perintah baik itu yang sifatnya ibadah maupun akhlak yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. memiliki pengaruh yang begitu basar dalam kehidupan, yakni menjadi seseorang yang berbudi pekerti luhur dan berakhlakul karimah.

Bahkan, Islam sendiri merupakan agama yang diturunkan Allah Swt. yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebagaimana yang termaktub dalam QS. Ar-Rum: 30, yaitu:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah: (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada firtrah Allah: (Itulah) agama yang lurus: tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Ayat-ayat Perdamaian

Islam yang merupakan agama damai (peace religion), agama cinta, dan agama penuh kasih sayang, adalah ruh Islam sendiri. Perihal sikap damai dan saling mengasihi antarsesama juga tidak lepas dari perintah Allah Swt. yang termaktub dalam Al-Qur’an al-Karim dan hadis yang begitu penting untuk kita terapkan dalam praktik kehidupan.

Baca Juga  Said Nursi Baiduzaman: Ulama Sufi yang Memiliki Visi Ekologi

Di antara dalil-dalil tentang anjuran perdamaian dalam Islam sebagai berikut:

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Anfal ayat 61)

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa ayat 114)

Adapun hadis tentang perdamaian sebagai berikut:

“Abdullah bin al-Imam Ahmad berkata, Muhammad bin Abu Bakr al-Muqqaddami menyampaikan, Fudhail bin Sulaiman, yaitu An-Numary, menyampaikan, dari Iyyas bin Amr al-Aslami, dari Ali bin Abi Thalib ra, yang berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya, jika mungkin terjadi perdamaian setelah adanya ikhtilaf, atau sebuah perkara, maka lakukanlah”.

Islam Damai, Bukan Cerai

Definisi damai digambarkan sebagai suatu keadaan yang tentram, aman, nyaman, tidak ada konflik, rukun. Dalam tulisan Firdaus Wadji yang bertajuk Ayat-Ayat Damai dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa kata lain yang termasuk dalam hal ini ialah memperdamaikan, mendamaikan, perdamaian, berdamai, pendamai, terdamaikan serta kedamaian.

Definisi di atas merupakan salah satu bentuk terciptanya suasana beragama maupun bersosial yang jauh dari kata cerai.

Kata “cerai” yang dimaksud di sini berarti hancur/kehancuran, konflik, pisah, penuh perselisihan, dan bermusuhan. Hal inilah yang perlu kita hindari dari praktik kehidupan beragama di tengah masyarakat yang multikultural.

Beragamnya kepercayaan/agama di Indonesia justru menjadi warna atau corak tersendiri. Oleh karenanya, Islam sebagai mayoritas sepatutnya menjaga satu sama lain dan memegang teguh konsep saling mengasihi, mencintai, dan berdamai, baik itu sesama muslim maupun non-muslim.

Baca Juga  Adi Hidayat: Perbedaan dalam Agama adalah Hal Biasa

Namun dalam praktiknya, terdapat beberapa kelompok-kelompok puritanis Islam. Mereka mengatasnamakan agama sebagai pijakan untuk melakukan tindak kekerasan, radikal, ekstrem, supremasi (merasa paling unggul dan benar), dan cenderung takfiri terhadap siapa saja yang tidak sependapat dengannya. Tidak memandang itu sesama muslim maupun di luar Islam.

Dalam buku yang disusun oleh Tim Aswaja NU Center yang berjudul Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah: Dari Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliah NU, beberapa kelompok Islam yang cenderung melakukan tindakan tersebut yaitu Wahabi-Salafi, HTI, FPI Mu’tazilah, dan kelompok sejenisnya yang cenderung eksklusif.

Kesalahan Penggunaan Ayat Al-Qur’an

Biasanya kelompok tersebut menggunakan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dalam melakukan segala tindakan yang mengarah kepada kekerasan. Tanpa melihat konteks turunnya ayat tersebut. Dari sini, muncul salah pemahaman/penafsiran terkait ayat yang digunakan untuk melakukan tindak kekerasan dengan mengatasnamakan Islam ataupun Tuhan. Seperti ayat berikut yang dijadikan justifikasi tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama:

“Jika habis bulan-bulan Haram, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan untuk mereka.” (QS. at-Taubah: 5)

Sudah barang tentu hal ini bukan merupakan ruh Islam yang diturunkan Allah dengan segala keistimewaannya sebagai agama penyempurna dan menata akhlak manusia melalui Nabi Muhammad saw.

Bahkan, hal yang perlu diperhatikan yakni selain ibadah yang sifatnya transenden (kepada Tuhan), ibadah yang sifatnya sosial/immanent (menjaga hubungan baik dengan sesama manusia) sangat perlu untuk diterapkan sebaik-baiknya. Hal ini merupakan kunci dasar untuk menciptakan kehidupan sosial yang damai, tentram, aman, nyaman, dan jauh dari konflik.

Baca Juga  5 Pesantren Unik di Indonesia, dari Pesantren di Gua hingga Pesantren Waria

Seperti yang termaktub dalam QS.  Al-Anbiya’ ayat 107: wa mā arsalnāka illā rahmatan lil ‘ālamīn, (tidaklah saya (Allah) mengutusmu melainkan sebagai rahmatan lil ‘ālamīn). Prinsip rahmatan lil ‘ālamīn di sini begitu penting untuk dipegang teguh oleh muslim. Khususnya di Indonesia yang begitu beragam suku bangsa dan agama.

Berbuat rahmah/penuh cinta kasih kepada seluruh alam, merupakan fondasi utama Islam yang damai tanpa adanya sikap yang ekstrem atau cerai (penuh konflik dan perpecahan).

Oleh karenanya, bukan saatnya sebagai seorang muslim menjustifikasi siapa paling benar dan salah. Kini saatnya sebagai seorang muslim, berani terbuka dengan wawasan yang luas, bersikap inklusif, toleran, menjunjung tinggi perdamaian, pluralis, humanis, dan menegakkan prinsip rahmatan lil ‘ālamīn. Bukan marahtan lil ‘ālamīn, serta Islam yang damai, bukan Islam yang cerai.

Sebagai penutup, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun pernah berkata, “Agama dilahirkan untuk kedamaian, bukan untuk kekerasan”.

Editor: Lely N

Ali Mursyid Azisi
12 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds