Perspektif

Nalar Kritis dan Keislaman, Adakah Hubungannya?

3 Mins read

Manusia lahir ke dunia, dikaruniai oleh Allah swt sebuah akal yang menjadi ‘alat’ untuk menganalisis sesuatu yang kapasitas kemampuannya tergantung dari ilmu dan pengalaman. Nalar dan akal juga berfungsi membedakan mana yang baik dan buruk, namun selain bekal akal, manusia juga dibekali hati sebagai penimbang rasa. Dalam surat Al Baqarah ayat 165, Allah berfirman yang artinya,

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera-bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan (suburkan) bumi sesudah mati (kering)-Nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; (pada semua itu) sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal.“.

Akal pikiran setiap orang pasti memiliki kapasitas berbeda-beda, cara berpikirnya pun juga beda. Adanya pemikiran didasari dari pengalaman indera, yang sering disebut dengan nalar. Nalar kritis sesungguhnya selaras dengan ajaran Islam, pemikiran kritis biasanya melahirkan kritik atas sesuatu yang tidak sesuai. Namun kritik yang berasal dari nalar kritis tadi haruslah dengan menggunakan data dan ilmu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademik dan juga moral. Maka, dengan berpikir kritis akan menghasilkan suatu perubahan serta inovasi, dan akan dapat merubah sesuatu ke arah yang lebih baik.

Menurut René Descartes, filsuf yang sering disebut sebagai bapak filsafat modern, bukan kelebihan atau keterbatasan kemampuan akal yang dibutuhkan, tetapi penggunaan akal yang sesuai dengan kebutuhan. Jadi, akal yang diberikan Allah kepada kita, dapat kita gunakan sesuai kebutuhan, sehingga jika dapat mengembangkan nalar maka harus didukung dengan ilmu dan pengalaman.

Baca Juga  Islam dan Status Quo (3): Mendesak Pembaharuan Pemikiran di Pesantren

Islam dan Nalar Kritis

Orang kritis belum tentu cerdas, terbukti di zaman sekarang kita tidak asing dengan orang-orang kritis tapi tanpa dasar (ilmu dan data). Sehingga kritik yang di sampaikan jauh dari substansi masalah, dan ini bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah bersabda,

Orang yang cerdas ialah orang yang mampu mengintrospeksi dirinya dan suka beramal untuk kehidupannya setelah mati. Sedangkan orang yang lemah ialah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berharap kepada Allah Swt. dengan harapan kosong”. (HR. At-Tirmidzi)

Posisi akal dan nalar penting sekali dalam Islam, apalagi salah satu tujuan syari’ah adalah untuk melindungi akal (hifdzul ‘aql), caranya dengan pendidikan misalnya. Nalar kritis haruslah menghasilkan sesuatu yang konstruktif, bukan destruktif. Dengan nalar kritis yang menghasilkan kritik, maka kritik yang disertai nalar adalah untuk melihat bagian yang luput dari pemikiran (unthinkable). Maka nalar kritis adalah untuk membuat hidup menjadi lebih baik, sehingga dapat mengintropeksi diri atas kritik yang diberikan, termasuk kepada diri sendiri. Islam merupakan agama yang kritis, yang peka terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar.

Kita pasti teringat dengan beberapa tokoh bangsa dan juga ulama terdahulu, mereka selalu berpikiran kritis terhadap kedzaliman yang ada. Tentunya dengan ilmu yang mumpuni serta pengalaman yang luas, dan nalar kritis tersebut membuat sebuah perubahan yang besar, salah satunya kemerdekaan Indonesia.

Nalar dan pikiran kritis bisa didapatkan dengan literasi, salah satunya melalui pendidikan. Dan nalar sejalan dengan agama, ad-din ‘aqlun, la dina liman la ‘aqla lahu (agama adalah akal, tidak bisa beragama bagi orang yang tidak berakal). Maka ketika adanya kritik, yang kita hadirkan harusnya refleksi bukan hanya reaksi. Sehingga kita tidak menjadi orang yang anti kritik, namun kritik juga harus dengan argumen (data dan ilmu) bukan hanya dengan sentimen, kata Rocky Gerung.

Baca Juga  Mencoba Memahami Iman Menggunakan Nalar

Berpikir Kritis adalah Perintah Islam

Dalam Al Qur’an Allah berfirman,

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah Swt.) bagi orangorang yang berakal, yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah Swt. dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari siksa api neraka”. (QS. Ali ‘Imran :190-191)

Iman harus dibarengi dengan nalar dan akal pikiran yang sehat, dalam surat Yunus ayat 100 Allah berfirman yang artinya, “Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.“, maka selain iman yang kuat, akal juga penting. Lahirnya ilmu pengetahuan, akibat adanya pikiran kritis dari para ilmuan, semua ilmu (sains) ada penjelasannya dalam Al Qur’an. Ketika kita tidak mempergunakan akal, tidak memiliki nalar kritis, maka kita tidak akan mencari tau kebenaran akan sesuatu.

Maka Islam sangat menganjurkan bahkan beberapa ayat Al Qur’an memerintahkan kita untuk berpikir, tetapi dalam berpikir harus dilandasi dengan keimanan. Oleh sebab itu, dengan kita memperdalam ilmu pengetahuan yang disertai pengalaman, maka kita akan menjadi manusia yang lebih berguna. “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224). Sehingga dengan ilmu yang ada, nalar dan akal pikiran kita akan kritis yang menghasikan kritikan atau pemikiran yang konstruktif. Sehingga dengan nalar kritis tersebut akan meningkatkan keimanan kita, serta dapat menghasilkan jalan keluar bagi setiap permasalahan yang ada.

Baca Juga  Islam itu Rasional (1): Keimanan itu Perlu Akal!

Editor: RF Wuland

Hendra Hari Wahyudi
97 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur periode 2022-2027
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds