Dalam dunia digital sekarang, tak heran jika lini masa sosial media kita dipenuhi diskusi pro-kontra hingga berujung pada perdebatan, dan saling olok-mengolok lalu diakhiri dengan saling memutus hubungan. Lalu bagaimana Psikologi dan Islam memberikan solusi agar manusia dapat saling memaafkan?
Konsep Al-Afwu dan At-Taqwa
Dalam Islam kita diajarkan selain menjaga hubungan vertikal pada Allah Swt, kita diwajibkan menjaga hubungan horizontal pada sesama manusia dengan menjaga tali silaturahim. Tetapi kita adalah manusia yang tak luput dari berbuat salah terhadap sesama manusia. Seperti ungkapan arab ‘al Insanu mahallul khata’ wa nisyaan‘ yang berarti manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Ketika kita berada pada titik salah ini, Islam datang menghadirkan konsep Al Afwu.
Kata al-’afwu (pengampunan) banyak terulang dalam Al-Quran. Adapun al-‘afwu secara istilah berarti pengampunan. Kata al-‘afwu secara terminologi dalam tafsir al-Mishbah karangan Prof. M. Quraish Syihab berkisar pada dua hal, yaitu meninggalkan sesuatu dan memintanya. Maka kata al-‘Afwu yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan).
Sedangkan at-taqwa menurut Prof. M Quraish Shihab dalam tafsirnya menyatakan bahwa taqwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi atau menjaga diri. Jadi orang yang bertaqwa adalah orang yang menghindari, menjauhi atau menjaga diri.
Konsep al-‘afwu sangat erat kaitannya dengan konsep takwa, karena ia hanya terbatas tidak sekedar hubungan horizontal sesama manusia tetapi juga hubungan dengan vertikal yang bersifat spiritual dan transenden, karena al-‘afwu (memaafkan) adalah salah satu implementasi konsep at-taqwa kepada Allah Swt sebagaimana al-Qur’an menjelaskannya dalam QS. Ali ’Imran: 134.
Ayat tersebut mendeskripsikan sikap seorang muslim yang bertaqwa dalam menghadapi seseorang yang melakukan kekeliruan terhadapnya dengan tiga cara, yaitu menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadap siapapun yang berbuat kesalahan kepadanya.
Penulis pernah melakukan penelitian tahun 2012 tentang hubungan tingkat keberagamaan dengan konsep forgiveness (memaafkan). Hasil penelitian yang saya dapatkan adalah ternyata semakin tinggi tingkat keberagamaan, maka semakin tinggi konsep forgiveness.
Perilaku Memaafkan dalam berbagai Dimensi
Ada banyak definisi pemaafan, tetapi definisi pemaafan yang dikembangkan oleh McCullough, Worthington & Rachal (1997) lebih banyak mendekati dengan konsep al-’afwu dalam Islam. Mereka mendefinisikan pemaafan (forgiveness) sebagai serangkaian perubahan motivasi seseorang untuk menurunkan motivasi untuk membalas dendam, motivasi untuk menjauhkan diri atau menghindari atau meredakan dorongan memelihara kebencian terhadap orang menyakiti serta meningkatnya motivasi untuk berbuat baik dan berdamai (konsiliasi) pada orang yang sudah melakukan tindakan yang menyakitkan.
Ada tiga dimensi yang menarik dalam definisi di atas dan jika dikaitkan secara teologis sangat dekat dengan konsep al-afwu sebagai nilai-nilai keberagamaan. Khususnya bagaimana Rasulullah saw mempraktikkan dakwah sekaligus keberagamaan melalui tiga dimensi ini. Kendati demikian, dalam kajian Islam konsep al-‘afwu memiliki dimensi yang lebih kompleks seperti melalui dimensi spiritual dan transenden.
Dimensi Pertama, menurunkan motivasi untuk balas dendam. Rasulullah saw pernah memiliki motivasi untuk balas dendam. Momen itu ada ketika Hindun bin Uthbah (istri Abu Sufyan bin Harb) membelah dada, memakan, dan menelan jantung Paman Rasulullah saw Hamzah karena kebencian saat perang Uhud.
Dalam riwayat, ketika Rasulullah saw berdiri di hadapan jenazah pamannya Hamzah, beliau berkata, “Aku akan bunuh 70 orang dari mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap dirimu.” (HR Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Kitab Ad-Dalail dan Al-Bazzar dari Abu Hurairah).
Sangatlah wajar Rasulullah saw sebagai manusia yang tersakiti untuk membalas, namun saat punya kesempatan dan kesanggupan Rasulullah saw bahkan tidak pernah melakukan balasan itu. Allah juga mengingatkan dengan firman-Nya dalam Qur’an Surah An-Nahl Ayat 126-128.
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Dimensi Kedua, menghindari atau meredakan dorongan memelihara kebencian terhadap orang menyakiti. Lihatlah bagaimana perangai Rasulullah saw yang akhirnya memaafkan dan berdamai dengan Hindun. Rasulullah saw juga pernah bersabda dalam sebuah riwayat.
“Dan tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan kemudahan untuk memaafkan kecuali Allah akan memberinya izzah (kemuliaan)”. (HR Muslim).
Dimensi Ketiga, motivasi untuk berbuat baik dan berdamai (konsiliasi) pada orang yang sudah melakukan tindakan yang menyakitkan. Mungkin pada level ini amat berat dilakukan, namun bukankah memaafkan tidak identik dengan kehinaan dan ketidakberdayaan?
Betapa kuatnya Rasulullah saw di masa Fathul Makkah, namun betapa Rasulullah saw menunjukkan kemuliannya pada mereka yang pernah menyakiti dengan berdamai dan melakukan rekonsiliasi. Ada cermin kebesaran jiwa dan kekuatan hati, serta lapang dada yang ditunjukkan Rasulullah saw. Allah Swt juga berfirman :
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A’raf 199).
Bisa kita lihat bagaimana Rasulullah saw mencontohkan dakwah dan keberagamaan yang moderat dalam konsep al-afwu. Oleh karena itu kita harus senantiasa menjadi individu yang mudah meminta maaf, memberi maaf, dan saling memaafkan sebagai bentuk implementasi keberagamaan yang moderat.
Editor: Shidqi Mukhtasor