(Salah satu siyasah dakwah Rasulullah yang sangat patut diteladani adalah kepedulian beliau kepada orang-orang miskin. Salah satunya adalah cara Rasulullah memelihara para Ahlush-Shafah. Rasulullah sering mengundang mereka untuk makan bersama di rumah beliau, meski dengan hidangan seadanya)
Siapakah Ahlus Shuffah?
Ahlus Shuffah ini menurut ulama adalah para tamu-tamu dalam Islam. Mereka adalah orang yang sebatang kara, tak berkeluarga dan juga tak berharta. Meski begitu mereka hidup dengan baik di serambi Masjid Nabawi. Adapun kebutuhannya seperti makan juga minum ditanggung para sahabat dan mereka yang hidup berkecukupan. Kadang juga kebutuhan mereka dicukupi dari harta yang disisihkan dari baitul mal. Mereka tinggal di serambi Masjid Nabawi adalah atas perintah Rasulullah SAW.
Al-Shuffah berartibantalan pengempuk untuk duduk di punggung kuda. Ahlush shuffat ialah pemilik pelana, para sahabat nabi dari kalangan orang-orang miskin yang untuk tidur mereka hanya berbantalkan pelana itu. Mereka tinggal di Masjid Nabawi. Mereka semula adalah para sahabat setia Rasulullah yang mengikuti hijrah ke Madinah. Tetapi, mereka secara duniawi tidak beruntung dan hidup miskin.
Hidup mereka, mereka serahkan kepada Allah. Kegiatan mereka adalah mengaji, belajar, membaca Al-Qur’an, shalat, ber-i’tikaf, dan berpuasa. Rizki dunia mereka berasal dari pembagian ghanimah. Mereka menyiapkan diri untuk berhijad di jalan Allah. Mereka hidup miskin tetapi pantang meminta-minta.
Allah berfirman
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (273)
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (Qs. Al-Baqarah: 273)
Asbabun Nuzul
Ayat di atas turun berkenaan dengan kaum muhajirin yang tinggal di shuffah (tempat berteduh) masjid, yang jumlah mereka sekitar 400 orang. Mereka biasa mengajarkan Al Qur’an dan ikut keluar bersama sariyyah (pasukan kecil). Mereka tidak mampu berusaha di muka bumi karena kesibukan ber-jihad.
Mereka adalah orang yang lebih berhak mendapatkan infak, karena keadaan mereka sebagai orang-orang fakir dan terikat pula oleh jihad atau ketaatan lainnya, di samping mereka tidak mampu mengadakan safar untuk mencari rezeki. Mereka orang-orang miskin tidak memiliki modal untuk berdagang. Mereka pun tidak memiliki lahan untuk pertanian dan tidak memiliki keahlian dalam bidang tani.
Pada zaman Khalifah Umar bin Khatab para Ahlus Shuffah dikirim keseluruh penjuru dunia membantu menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Pendidikan Ahlus Shuffah ini lah yang bisa mencetak manusia yang beriman dan bertakwa serta berbudi pekerti baik sebagai mubalig, pendidik, maupun pengajar. Mereka juga diberi nasihat oleh khalifah ketiga itu agar mereka mencari penghidupan (rizqi) sendiri. Sehingga menjadi rahmat bagi sekalian alam. (Tafsir Hidayatul Insan)
Penampilan Ahlus Shuffah
Mengenai penampilan mereka, Abu Hurairah bercerita:
لَقَدْ رَأَيْتُ سَبْعِينَ مِنْ أَصحَابِ الصّفَّةِ مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ عَلَيْهِ رِدَاءٌ إِمَّا إزَارٌ وَإِمَا كِسَاءٌ قَدْ رَبَطُوا فِي أَعْنَا قِهِمْ فَمِنْهَا مَا يَبْلُغُ نِصْفَ السَّا قِيْنِ وَمِنْهَا مَا يَبْلُغُ الْكَعبَيْنِ فَيَجْمَعُهُ بِيَدِهِ كَرَاهِيَةَ أنْ تُرَى عَوْ رَتُهُ
“Saya melihat 70 orang dari ahlu shuffah, tidak seorang pun di antara mereka yang memakai rida‘ (sejenis kain penutup bagian atas tubuh). Mereka hanya mengenakan sarung atau kisa’ (potongan kain). Mereka mengikatkan potongan kain tersebut pada leher mereka. Ada yang menjulur sampai separuh betis dan ada yang sampai kedua mata kaki. Kemudian dia mengumpulkannya dengan tangan karena khawatir terlihat auratnya.”
Dari hadis di atas, dapat dipahami bahwa penampilan fisik mereka sangat sederhana.
- Tidak mengenakan pakaian atas, hanya menggunakan kisa’ (kain sarung, atau potongan kain)
- Mereka mengikatkan potongan kain tersebut pada leher
- Kainnya menjulur sampai separuh betis atau sampai ke mata kaki
- Menggumpulkan kain itu dengan tangannya karena khawatir terlihat auratnya
Ahlus Shuffah tinggal di emperan masjid Nabawi cukup lama. Mulai zaman Rasulullah hingga masa pemerintahan Abu Bakar. Menurut keterangan dari Al-Qurthubi, jumlah mereka mencapai 400 orang. Sementara Abu Nu’aim al-Ashfihani dalam kitabnya Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’ menyebutkan 70 orang.
Pada zaman pemerintahan Umar bin Khatthab, Ahlus Shuffah dibubarkan. Mereka dikirim ke berbagai negara untuk membantu menyebarkan Islam, baik sebagai mubaligh, pendidik, maupun pengajar. Mereka juga diberi nasihat oleh khalifah ketiga itu agar mereka mencari penghidupan (rizqi) sendiri.
Salah satu tokoh besar yang merupakan bagian dari kelompok ini adalah Abu Hurairah, sehabat yang terkenal sebagai sahabat yang meriwayatkan hadis terbanyak di antara sahabat lain. Di antara mereka adalah Abu Hurairah itu sendiri, Shafwan bin Baidha’, Khuraim bin Fatik al-Asadi, Khubaib bin Yasaf, Salim bin Umair, Jurhud bin Khuwailid, Abu Suraihah Al Ghifari (syahid dalam Hudaibiyah), dan lain-lain.
Kelebihan Ahlus Shuffah
- Mencurahkan perhatian untuk menutut ilmu. Dr Akram Dhiya Al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah, mengisahkan, para ahli Shuffah mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu. “Mereka ber-i’tikaf di Masjid Nabawi untuk beribadah dan membiasakan diri hidup dalam keadaan serba-kekurangan. “Jika sedang sendirian, yang mereka lakukan adalah shalat, membaca, dan mempelajari Al-Qur’an, serta berzikir”.
- Penampilan sederhana. Menurut Ibu Sa’ad dalam Ath-Thabaqatul Kubra jilid I, para ahli Shuffah tak memiliki pakaian yang dapat melindungi diri dari hawa dingin. Mereka juga tak memiliki selimut tebal.
- Tamu Allah. Mereka adalah para tamu Allah. Kurma adalah makanan sehari-hari Ahlus Shuffah. Rasulullah selalu menyediakan setangkup kurma untuk dua orang setiap hari. Demikian pula para sahabat Anshar, men-support mereka, bahkan mendapat santunan dari baitul mal.
- Orang yang sangat sabar. Mereka adalah orang sangat sabar dalam kemiskinannya. beliau selalu menasihati agar para Ahlus Shuffah bersabar, dan beliau tak pernah lupa menghibur mereka. Rasulullah pun sering mengundang mereka untuk makan bersama di rumah beliau, meski dengan hidangan seadanya,
- Mereka rajin ber-i’tikaf di Masjid Nabawi untuk beribadah dan membiasakan diri hidup dalam keadaan serba-kekurangan.
- Mereka adalah orang mukhlis, hidup semata-mata karena Allah. Ketika hidup di Makkah sebelum hijrah mereka adalah pedagang sukses dan kaya. Karena imannya yang mukhlis, mereka berhijrah ke Madinah mengikuti Rasulullah. Meraka ikhlas kehilangan kenikmatan dunia itu mempertahankan imannya.
- Mereka adalah para pendakwah, mubaligh, dan mujahid yang tangguh. Pada zaman pemerintahan Umar bin Khatthab, Ahlus Shuffah dikirim ke berbagai negara untuk membantu menyebarkan Islam, baik sebagai muballigh, pendidik maupun pengajar
- Mereka pantang meminta-minta. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menuliskan, “Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (Al-Baqarah: 273). Maksudnya, dalam meminta mereka tidak pernah mendesak dan tidak pernah membebankan kepada orang lain apa yang tidak mereka perlukan. Karena sesungguhnya orang yang meminta kepada orang lain, sedangkan ia mempunyai kecukupan yang dapat menjaminnya untuk tidak meminta, berarti ia melakukan permintaan dengan cara mendesak
***
Rasululah mewasiatkan (hadis dinukil oleh Imam Ahmad) bahwa balasan di akhirat orang suka meminta-minta adalah ada luka-luka goresan pada wajahnya Batas maksimal orang miskin adalah punya harta seharga lima puluh dirham.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ سَأَلَ وَلَهُ مَا يُغْنِيهِ، جَاءَتْ مَسْأَلَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ خُدُوشًا -أَوْ كُدُوحًا -فِي وَجْهِهِ”. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا غِنَاهُ؟ قَالَ: “خَمْسُونَ دِرْهَمًا، أَوْ حِسَابُهَا مِنَ الذَّهَبِ”
“Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hakim ibnu Jubair, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Yazid, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: Barang siapa yang meminta-minta, sedangkan dia mempunyai sesuatu yang mencukupinya, maka kelak perbuatan minta-mintanya itu datang di hari kiamat dalam bentuk gurat-gurat atau luka-luka goresan pada wajahnya. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, berapakah jumlah yang mencukupi itu?” Nabi Saw menjawab, “Lima puluh dirham atau yang seharga dengannya dalam bentuk emas.” (Tafsir Ibnu Katsir)