Perspektif

Atta Halilintar, Suara Suami Bukan dari Tuhan!

5 Mins read

Atta: Suara Suami adalah dari Tuhan

Pagi semi-siang kemarin saya terkejut membaca berita kutipan ucapan Atta Halilintar yang belakangan baru saja menikah dihadiri oleh Pak Jokowi. Kutipan itu datang dari video Youtube di kanal The Hermansyah yang mengundang Atta Halilintar, di mana ia berucap bahwa suara suami adalah dari Tuhan.

“Izin suami, suara suami adalah dari Tuhan. Jadi, kalau aku nggak izinin ini ini ini, kamu harus nurut, nggak kayak sebelumnya.” sebagaimana ucap Atta Halilintar dari video berdurasi 36 menit tersebut.

Perasaan saya tercampur aduk antara ingin tertawa dan juga miris sedih. Saya ingin tertawa karena betapa konyol dan mudahnya mengklaim kekuasaan atas nama Tuhan, oleh seorang Atta. Pada saat yang sama, saya sedih bahwa ucapan dengan tone yang memperkuat makna hegemonik ucapannya pada perempuan tersebut diucapkan oleh inpluenser besar di tanah air.

Sependek pengajian dan bacaan saya dalam isu-isu perempuan, saya secara intuitif menolak pernyataan tersebut. Dan secara pasti, dan setelah saya telusuri juga, saya tidak menemukan hadis yang membenarkan majas ‘suara suami dari Tuhan’ Atta Halilintar.

Lantas, otoritas apa yang digunakan Atta? Pembenaran apa yang terpatri dalam pikirannya saat mengucapkan pernyataan tersebut?

Saya menduga bahwa ia bisa jadi berkaitan dengan konsepsi Atta akan hubungan antara suami dan istri dalam pernikahan. Maka surat kecil ini akan berupaya membahas konsepsi suami-istri dalam Islam, dan sedikit berkeluh-kesah akan pernyataan bahwa suara suami dari Tuhan.

Saling Melengkapi dan Memenuhi Hak

Saya tidak akan panjang lebar untuk membahas dalil penisbatan kepemimpinan pada suami dalam rumah tangga dan ketaatan istri pada suaminya kecuali untuk meletakkannya pada konteks yang semestinya. Terlalu banyak dalil Al-Qur’an dan takwil para ulama yang saling melengkapi dan telah membenarkannya.

Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kita hendaknya mengucapkan kedua konsep tersebut? Apa saja dimensi lain yang perlu dibaca dalam pelaksanaan kedua konsep tersebut agar sesuai dengan tuntunan syariat—dari Tuhan?

Hal yang perlu kita tekankan pertama untuk memahami hubungan suami dan istri dalam perhubungan keluarga adalah bahwa mereka secara mendasar memiliki hubungan hak dan kewajiban yang saling melengkapi. Sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah ayat 228.

Baca Juga  Hidup yang Tidak Diperjuangkan, Tidak Bisa Dimenangkan

“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf…” (QS. 2: 228).

Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Taḥrīrul Mar’ah fii ʻAṣr ar-Risālah menjelaskan ayat ini bahwa wanita mempunyai hak pada laki-laki sebagaimana mereka mempunyai kewajiban yang dituntut padanya untuk laki-laki. “Ini berarti bahwa setiap hak wanita diimbangi dengan hak laki-laki.” sebagaimana dikutip dari beliau.

Abu Syuqqah mengutip perkataan Ibnu Abbas untuk menjelaskan ayat ini,

“Aku suka berhias untuk istriku, sebagaimana aku suka dia berhias untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman, ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.’”

At-Thabari menjelaskan dalam tafsirnya, “Dan ayat itu juga bisa berarti bahwa apa yang menjadi kewajiban bagi yang satu terhadap yang lain, maka ia juga menjadi kewajiban bagi yang lain ini kepadanya.”

Abu Syuqqah juga mengutip Muhammad Abduh dari tafsirnya yang menjelaskan lebih lanjut mengenai ayat ini,

“Maka kalimat ini memberikan timbangan kepada laki-laki untuk dipergunakan menimbang pergaulan dan sikapnya terhadap istrinya, maka hendaklah ia ingat akan kewajibannya terhadap istrinya dalam semua urusan dan keadaan. Apabila ia hendak menuntut sesuatu kepada istrinya, maka hendaklah ia ingat akan kewajiban istrinya. … Maka tidak ada suatu pekerjaan yang dilakukan oleh wanita untuk suaminya melainkan si suami juga harus melakukan suatu perbuatan yang seimbang untuknya.”

Tafsīr Al-Manār, juz 2, 297-298.

Penjelasan dari para mufassir mengenai ayat ini memberikan konteks yang jelas dalam membaca hubungan hak-kewajiban suami dan istri. Maka ungkapan populer akan ketaatan istri terhadap suaminya tidak bisa dibaca sebagai bentuk subordinasi, melainkan bahwa istri pun mampu menuntut hal-hal yang serupa kepada suaminya.

Ayat ini memberikan gambaran akan hubungan suami-istri yang saling melengkapi dan memenuhi, bukan penuntutan sebagaimana bos terhadap suruhannya. Dan sikap saling mengasihi ini tentu saja berbeda dengan semangat yang memantik Atta untuk berucap ‘suara suami dari Tuhan’, seakan sosok suami adalah mutlak kekuasaannya hingga ia tidak bisa diganggu gugat dan dibantah.

Baca Juga  Kemal Ataturk Tak Sebanding dengan Bung Karno

Tentu ‘suara suami dari Tuhan’ tidak sesuai dengan semangat saling memenuhi sebagaimana penjelasan para mufassir di atas. Maka seorang suami harus senantiasa considerate atas apa-apa yang dipintanya pada istrinya, sebagaimana dia expecting untuk dipinta hal yang serupa oleh istrinya padanya.

Konsepsi Taat dalam Berkeluarga

Sebelum sebagian pembaca bereaksi terlalu cepat akan tulisan ini, memang ayat di atas bukan ayat yang penuh dan ada konteks yang tidak bisa dilepaskan padanya. Ayat tersebut berlanjut seperti berikut,

“…akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 2: 228).

Para mufassir yang sama menjelaskan dengan tone yang serupa. Abu Syuqqah mengutip kembali dari At-Thabari, Al-Qurthuby, dan Muhammad Abduh, bahwa mereka bersepakat akan satu tingkatan kelebihan yang dimaksud adalah kepemimpinan laki-laki.

At-Thabari menjelaskan bahwa pendapat yang paling kuat dalam menjelaskan bagian ini adalah bahwa seorang laki-laki dapat memaafkan sebagian kewajiban istri terhadapnya. Ia mengutip dari Ibnu Abbas, “Aku tidak suka mengambil semua hakku atasnya, karena Allah berfirman, ‘Dan para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripadanya.’”

Menurut At-Thabari dari riwayat Ibnu Abbas tersebut, kelebihan tersebut adalah pemaafan suami terhadap sebagian kewajibannya, tidak menuntutnya, namun ia tetap memenuhi kewajibannya pada istrinya.

Mahmud Muhammad Syakir mengomentari tafsir At-Thabari ini, bahwa tafsir At-Thabari akan ayat tersebut bukan nasihat pribadinya akan isu ini. At-Thabari memang menulisnya sebagai upaya menerangkan ayat tersebut guna menetapkan hukum darinya. Maka apabila ia (suami) berbuat demikian (memaafkan istrinya), ia telah mencapai makārimul akhlāq, sebagaimana ucapnya.

Beberapa pendapat menafsirkan bagian tersebut terkait dengan kepemimpinan karena adanya ayat berikut yang kerap populer dan juga kerap disalahartikan oleh berbagai pihak,

Baca Juga  Jangan Pacaran, Apalagi Zina

“Kaum laki-laki adalah pemimpin (qawwāmu) bagi kaum wanita…” (QS. 4: 34).

Muhammad Abduh menggunakan ayat ini untuk menafsirkan kelebihan satu derajat laki-laki terhadap perempuan sebagaimana ayat sebelumnya, yang terkonteks dalam hubungan suami-istri. Muhammad Abduh menekankan akan pentingnya laki-laki sebagai pemimpin keluarga untuk menjawab perselisihan di antara mereka.

Karenanya juga, suami dituntut untuk memenuhi nafkah dan melindungi wanita, dan wanita dituntut untuk menaati suami dalam hal yang makruf, sebagaimana dikutip dari tafsirnya.

“Tidak boleh melakukan ketaatan (kepada seorang pun) untuk bermaksiat kepada Allah; sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang makruf (baik).” (HR. Muslim).

Abu Syuqqah menjelaskan konsep ketaatan istri kepada suami bahwa ia hendaknya ada keikutsertaan hati, dengan ridha dan senang, sebagai bentuk ketaatan yang makruf. Mereka juga hendaknya memutuskan permasalahan dengan musyawarah sebagaimana di Asy-Syūra ayat 38,

“Dan urusan mereka (diputuskan dengan musyawarah antara mereka.” (QS. 42: 38).

Maka pertanyaannya, apakah tuntutan suami akan taatnya istri dengan mengklaim suara suami berasal dari Tuhan itu berangkat untuk menanam kasih sayang, atau memaksakan kekuasaan? Kepatuhan tidak diminta, tapi diberikan. Maka seorang suami harus bisa menjadi sosok yang mengasihi hingga istri bersepakat untuk koordinatif dengan suami saat ada perselisihan.

Bukan dengan memaksakan kekuasaan.

Suara Suami Bukan dari Tuhan!

Maka dari penjelasan ringkas di atas, jelaslah bahwa hubungan suami-istri bukanlah hubungan struktur yang mendominasi satu pada yang lain, melainkan adanya pemenuhan sesama dengan semangat yang penuh kasih sayang.

Semangat ini kerap lepas (atau dilepaskan) dalam menjelaskan bagaimana konsep kepemimpinan suami dan ketaatan istri. Padahal, teks tidak bisa dibaca sendiri tanpa diiringi dengan semangat teks tersebut.

Barakallah kepada pasangan Atta-Aurel yang telah melengkapi separuh agamanya. Semoga Atta dan Aurel dapat menjadi keluarga yang sakinah-mawaddah-warahmah dan senantiasa mengutamakan kasih sayang dalam apa pun.

Dan semoga kita yang masih membujang dapat segera mampu untuk menyusulnya, hehe.

Tapi satu hal yang pasti, suara suami bukan dari Tuhan!

Shidqi Mukhtasor
8 posts

About author
Redaktur IBTimes.ID. PIH PCI IMM Malaysia. Mahasiswa S1 Usuluddin di Internasional Islamic University of Malaysia.
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds