Tafsir

Fitrah Manusia itu Adalah Citra Ilahi!

8 Mins read

Kekhalifahan Manusia dan Hasrat Primrodial Tuhan

Ketika puncak karir sudah mentereng, ia masuk pada fase redup dengan purnabakti. Saat hasrat materialisme terpuaskan dengan pernak-pernik kemewahan dan kemegahan, ia melesit pada fase kebosanan. Bila hajad hedonisme sudah memuncak, frekuensinya turun pada fase kehampaan. Kala kedigdayaan ambisi, materi, kursi, sensasi, dan ‘topeng’ terurai pada antiklimaks, maka semuanya hilang dalam kalbu yang rindu “berpulang” pada Tuhannya.

Eksistensi manusia “bertopeng” dengan dekorasi “gincu” menyebabkan manusia lupa asal-usul dan kemana arah menuju akhir hidup. Akrobatik hidup dilakoni dengan segala adegan dan sandiwara dalam tawa dan air mata.

Dalam memperturutkan “libido” ambisi, materi, kursi, dan sensasi, manusia diliputi rasa merindukan sebelum mendapatkannya dan terasa bosan bila sudah lama memilikinya. Lelah dalam kompetensi dan letih dalam hawa glamorisme.

Fungsi kekhalifahan tidak berjalan sempurna. Hidup dalam “penjara-penjara kehidupan” yang berkekalan; setapak, sedepa, sejengkal, bahkan sesenti sekalipun hegemoni “dajjal” menjadikan manusia terjeramab pada lobang gelap yang menyesakkan dada terus dilakoni, agar status terangkat, supaya derajat sama, dan mampu menyilaukan mata khalayak pemirsa.

Semua ada batasnya, dan semuanya pun akan berlalu. Apabila semuanya sudah masuk pada kesadaran yang trasendental, barulah manusia memahami makna spiritualitas dirinya di hadirat Tuhan. Di sanalah manusia mulai berpikir dengan kalbu rohaninya, bahwa esensi kekhalifahan adalah memandu kalbu ke jalan Ilahi.

Kalbu yang terpandu akan mengetahui hakikat dirinya sebagai “mandataris” Tuhan di bumi. Karena manusia merupakan lokul Ilahiah yang dijadikan Tuhan untuk memenuhi “hasrat” primodial Tuhan untuk dikenal, maka, manusia sesungguhnya adalah “Citra Ilahi”.

Identitas Manusia dalam Al-Qur’an

Sebelum mengkaji lebih lanjut, maka ada baiknya diketahui apa sesungguhnya identitas manusia. Untuk lebih melekatkan diri pada kerohanian, maka inilah beberapa identitas manusia yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:

Pertama, manusia disebut Basyar. Identitas sebagai basyar menunjukkan, bahwa identitas manusia secara lahiriah serta totalitas bersamanya dengan semua yang ada pada diri manusia.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak,(QS. Ar-Rum {30}: 20).

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku’: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa’. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Kedua, manusia disebut Bani Adam dan Zuriyah Adam. Identitas sebagai Bani Adam dan Zuriyah Adam adalah, bahwa manusia merupakan silsilah dari keturunan Nabi Adam As.

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’ {17}: 70)

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” QS. At-Tin: 4)

Ketiga, manusia disebut Insan (uns artinya jinak, harmonis, dan tampak). Menurut Quraish Shihab dalam Al-Qur’an, kata insan sering dihadapkan dengan kata jin atau jan, yaitu yang tidak nampak. Kata insan digunakan untuk menunjukkan manusia sebagai totalitas (jiwa dan raga).

Derajat Kemanunggalan Manusia sebagai Citra Ilahi

Pertama, derajat pengabdi pada Ilahi (kehambaan sejati).

Pada derajat pengabdi pada Ilahi, manusia mendayaupayakan segenap potensi dirinya untuk mempersembahkan lahir dan batin dari segala totalitas hidupnya untuk mengabdi/beribadah kepada Allah semata. Baik ibadah mahdah maupun ibadah ghairu mahdah. Seperti firman Allah menjelaskan:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.” (QS. Az-Dzariyat {51}: 56)

Baca Juga  Bacalah dengan Nama Tuhanmu: Refleksi dan Manifestasi

Ibnu Qayyim menjelaskan, bahwa pengertian mengabdi memiliki ada dua unsur utama, yakni: kecintaan dan kerendahan diri serta ketundukan.

Pada derajat inilah, manusia akan merasakan kemanunggalan kalbu dengan Ilahi. Buhul “tali” ikatan secara rohaniah senantiasa tersambung apabila sang hamba menempatkan dirinya sebagai hamba di hadirat Tuhannya.

Naluri kecintaan pada-Nya, sikap kerendahan diri di hadapan-Nya, dan ketundukan lahir-batin, fisik-psikis, jasmani-rohani, akan mengantarkan secara psikologis kehadiran Tuhan dalam setiap detak dan detik hidup yang diarungi setiap saat.

Kedua, derajat mandataris Tuhan di bumi (kekhalifahan di bumi).

Pada derajat mandataris Tuhan di bumi, kehadiran manusia di bumi bukanlah sia-sia, atau hanya sebagai pelengkap alam ciptaan Tuhan saja. Akan tetapi, makna “mandataris” Tuhan di bumi menunjukkan, bahwa manusia sebagai khalifah memiliki kedudukan sebagai “pengganti” yang sebelumnya; “pelanjut” yang terdahulu; dan ‘penerus’ (penguasa) untuk menjalankan amanat-Nya di muka bumi.

Estapet sebagai “mandataris” Tuhan di bumi dijelaskan dalam firmanNya:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami (malaikat) senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui,” (QS. Al-Baqarah {2}: 30).

***

Sebagaimana kata M. Quraish Shihab (1994), bahwa kata khalifah seringkali diartikan sebagai “pengganti”, sedangkan Abdurrahman Saleh Abdullah, bahwa kata khalifah  berarti “mengganti dan melanjutkan” (pengganti atau pelanjut), seperti firman Allah:

“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (QS. Yunus {10}: 14)

Dan makna “mandataris” Tuhan juga berarti “penerus” (penguasa) yang menjalankan amanah Allah di bumi. Sebagaimana sinyal langit iIlahiah menjelaskan:

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,(QS. Al-An’am {6}: 165).

Apabila pada derajat ini bisa dimaknai visi dan misi kekhalifahan, yakni: sebagai khalifah yang memiliki kedudukan sebagai “pengganti” yang sebelumnya; “pelanjut” yang terdahulu; dan “penerus” (penguasa) untuk menjalankan amanat-Nya di muka bumi.

Maka, kemanunggalan sikap dan pandangan hidup sang hamba senantiasa dalam koridor yang amanah. Sebab, mandat sebagai pembawa amanah melalui mandat Tuhan adalah sangat berat, karena sang hamba memiliki tanggung jawab ketuhanan dan kemanusiaan universal, yang dipertanggungjawabkan pada kehidupan dunia dan di alam keabadian kelak.

Ketiga, derajat “desain” Allah (kefitrahan/autentisitas)

Derajat “desain” Allah (kefitrahan/autentik) ini bermakna, bahwa Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakannya bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatannya. Di mana, ciptaan yang dimaksud adalah bahwa sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama dan As-Sunnah. Inilah yang disebut dengan potensi dasar semua manusia yang dititipkan Allah.

Secara jelas, sinyal langit Ilahiah menjelaskan tentang fitrah tersebut, seperti firman-Nya yang berbunyi:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. Ar-Rum {30}: 30).

***

Menurut Al-Raghib al-Asfahani dalam kitab Ma’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, bahwa kalimat, “fathara Allah…al-khalq” maksudnya adalah, bahwa Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakannya bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatannya. Inilah juga yang dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad Saw yang menyebutkan:

Baca Juga  Kisah Perempuan yang Diabadikan dalam Al-Qur’an

“Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani, atau Majusi, (HR. Muslim).

Sedangkan, Lois Ma’louf menyebutkan, bahwa fitrah itu berarti ciptaan, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama dan As-Sunnah.

Apabila derajat ini mampu dikembangkan dengan baik, di mana sang hamba meyakini, bahwa Allah mewujudkan sesuatu dan menciptakannya bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatannya, di mana ciptaan yang dimaksud adalah, bahwa sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), agama dan As-Sunnah. Tentu sebenarnya Allah-lah yang telah mendesain supaya manusia dalam-Nya dan Bersama-Nya, itulah kemanunggalan secara maknawiyah.

Keempat, derajat manusia-tauhid (kemanunggalan syahadah/perjanjian primodialisme).

Derajat manusia-tauhid (kemanunggalan syahadah/perjanjian primodialisme), tidak dapat dinafikkan oleh siapapun yang pernah hidup di bumi-Nya. Pada saat proses kejadian manusia secara nonfisik/immateri, di mana Allah meniupkan ruh-Nya pada “diri” manusia, di saat itulah manusia telah menjadi citra Ilahi. Maka, suka tidak suka, mau tidak mau, dan setuju tidak setuju, semua manusia sudah terikat dalam kemanunggalan syahadah/perjanjian primodialisme di alam rahim. Sebagaimana firman Allah menjelaskan:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:’Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-A’raf: 172)

***

Menurut Hasan Langgulung (1995), bahwa ketika Allah menghembuskan/meniupkan roh pada diri manusia (pada proses kejadian manusia secara nonfisik/immateri), maka pada saat itu pula,  manusia (bertemu bentuknya yang sempurna) mempunyai sebagian sifat-sifat ketuhanan sebagaimana tertuang dalam al-Asma’ al-Husna.

Dengan derajat manusia-tauhid (kemanunggalan syahadah/perjanjian primodialisme), semua manusia pada saat itu (bertemu bentuknya yang sempurna) mempunyai sebagian sifat-sifat ketuhanan sebagaimana tertuang dalam al-Asma’ al-Husna.

Di saat terlahir dan hidup di alam syahadah (dunia) inilah manusia mengembangkan sebagian sifat-sifat ketuhanan sebagaimana tertuang dalam al-Asma’ al-Husna. Di sinilah kemanunggalan sang hamba dengan Tuhannya dalam bentuk sifat-sifat ketuhanan dalam al-Asma’ al-Husna.

Kelima, derajat manusia paripurna (insan kamil).

Derajat manusia paripurna (insan kamil) merupakan puncak pencapaian yang sangat spiritualis dan transedental. Ketika derajat sebagai manusia paripurna telah tercapai, maka manusia telah memiliki predikat sebagai “Manusia Unggul”, baik jasmaniah maupun rohaniah.

Menurut Ibnu Arabi dalam kitab Fushush al-Hikam, hanya ada satu wujud yang benar-benar ada. Wujud Tunggal itu ialah Allah. Alam semesta adalah lokus tajalli dari nama-nama (asma) dan sifat-sifat Allah dalam wujud yang terbatas. Ia adalah ‘ayn (entitas) sesuatu, maka terbatas dengan batasan semua yang terbatas.

***

Sedangkan Al-Qasyani dalam kitab Syarh Fushush al-Hikam, menjelaskan, alam empiris yang serba ganda dan terpecah-pecah ini hanya menampung bagian-bagian tertentu dari asma dan sifat-sifat Ilahi sesuai dengan kesiapan (isti’dad) masing-masing dari bagian-bagian alam itu, namun mereka tidak dapat menampung citra-Nya secara utuh. Hanya insan kamil yang dapat menampung citra Ilahi itu secara paripurna. Inilah yang terkandung dalam firman Allah yang menjelaskan:

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr {15}: 29)

Apabila derajat manusia paripurna (insan kamil) bisa diraih, berarti sang hamba telah mampu menunaikan visi dan misi ketuhanan dan kemanusiaan universal, yang sesuai dengan “hasrat” primodial Tuhan pada hambanya, yang sekaligus merupakan citra-Nya sendiri. Inilah kemanunggalan paripurna sebagai insan kamil yang diinginkan Allah pada hambaNya.

Baca Juga  Bintu al-Syathi’: Tafsir Al-Qur’an untuk Semua Agama

Meraih Status sebagai Citra Ilahi dalam Karakter Insan Kamil

Ada beberapa level untuk meraih status sebagai citra Ilahi dalam karakter insan kamil bagi manusia modern saat ini, yakni:

Pertama, manusia diberikan potensi Ilahiah.

Alam ini diibaratkan oleh Ibnu Arabi laksana jasad ranpa roh, atau laksana cermin buram yang belum memantulkan gambar Tuhan secara paripurna. Tuhan baru dapat melihat citra-Nya secara utuh pada Adam (manusia sebagai cermin yang bening, atau sebagai roh dalam jasad.

Menurut Yunasril Ali (2002), bahwa terpantulnya citra Ilahi secara paripurna pada manusia karena manusia memiliki potensi ilahiah, di mana rohnya—sebagai disebutkan Al-Qur’an—adalah bagian dari “Roh Tuhan”, seperti firman Allah:

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, (QS. Al-Hijr {15}: 29).

Potensi demikian memberikan peluang yang cukup bagi manusia untuk dapat menampung segenap asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh.

Dalam hadis pun, Nabi Muhammad Saw menjelaskan:

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya, (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, potensi kalbu rohani sebagai penangkap “sinyal” Ilahiah (suara Tuhan).

Menurut Ibnu Arabi, insan kamil adalah al-mukhtashar al-alam (miniatur alam semesta) dan sekaligus sebagai citra (shirah) ketuhanan dalam tajalli-Nya pada jagad raya sehingga ia disebut mikrokosmos (al-‘alam al-shagir). Karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas alam (al-kawn al-jami’) dan citra ketuhanan: “Jiwanya sebagai gambaran jiwa universal (al-nafs al-kulliyyah), tubuhnya mencerminkan ’arasy, pengetahuannya mencerminkan pengetahuan Tuhan.”

Karena perpaduan (jam’iyyah) semua asma dan sifat-sifat Ilahi serta sifat-sifat kemakhlukan pada Insan Kamil, maka ia disebut pulah Ibnu Arabi sebagai perantara (al-barzakh) antara Tuhan dan alam.

Ia disebut juga makrokosmos (al-‘alam al-kabir), karena kalbu atau rohaninya bersifat transeden, tidak hanya dapat menampung fenomena alam semesta, tetapi juga “meliputi” Tuhan. seperti dalam hadis dijelaskan:“Bumi dan langit-Ku tidak dapat meliputi-Ku, dan yang dapat meliputi-Ku adalah kalbu hamba-Ku yang beriman.”

***

Ketiga, potensi lokus qalbussalim (Chip Tuhan pada Insan Kamil).

Alam semesta yang dihadirkan Allah merupakan cara Tuhan hendak melihat eksistensi diriNya di jagad raya (makrokosmos) yang termanivestasi tajalli-nya dalam perbendaharaan kalbu orang mukmin (mikrokosmos).

Sebagaimana dalam hadits dinyatakan: “Aku adalah perbendaharaan terpendam yang belum dikenal. Aku ingin dikenal, lalu Kuciptakan makhluk, maka Aku pun memperkenalkan diri-Ku kepada mereka, sehingga mereka mengenalkan diri-Ku.”

Jadi, menurut Yunasri Ali (2002), latar belakang penciptaan alam adalah agar Tuhan dapat dikenal. Namun, maksud tersebut tidak dapat terwujud secara sempurna, karena segenap alam tidak dapat mengenal-Nya. Hanya insan kamil yang dapat mengenal-Nya dengan baik.

Sebab itu, insan kamil lah yang menjadi sebab wujudnya alam. Karena, dialah yang dapat memenuhi “hasrat” primodial Tuhan. Dengan demikian, ia disebut Ibnu Arabi sebagai al-ghayah al-qushwa (tujuan terakhir) penciptaan alam, karena melalui dialah terealisasinya tujuan Tuhan.

Apabila ketiga potensi spiritrualitas yang berbentuk esensi kerohanian manusia yang sangat transedental. Maka manusia bisa memiliki karakter insan kamil. Karakter insan kamil merupakan sosok manusia yang sangat paripurna yang bisa melaksanakan fungsi al-khalifah al-zhahiriyyah (memimpin kekuasaan wilayah) dan al-khalifah al-ma’nawiyyah yang memantulkan asma dan sifat-sifat Tuhan pada alam.

Selain itu, insan kamil adalah quthub (poros), di mana manusia mendapat pengetahuan esoterik langsung dari Tuhan. Di sinilah dibutuhkan daya dan upaya manusia dalam setiap desah napas, denyut nadi, dan detak jantung “bernyanyikan” laguNya.

Editor: Yahya FR

Avatar
62 posts

About author
Alumnus Program Pascasarjana (PPs) IAIN Kerinci Program Studi Pendidikan Agama Islam dengan Kosentrasi Studi Pendidikan Karakter. Pendiri Lembaga Pengkajian Islam dan Kebudayaan (LAPIK Center). Aktif sebagai penulis, aktivis kemanusiaan, dan kerukunan antar umat beragama di akar rumput di bawah kaki Gunung Kerinci-Jambi. Pernah mengikuti pelatihan di Lembaga Pendidikan Wartawan Islam “Ummul Quro” Semarang.
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds