Perspektif

Hari Pendidikan Nasional dan Tanggungjawab Kaum Intelektual

3 Mins read

Pendidikan Tanggungjawab Kaum Intelektual

Penetapan 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional diambil dari hari kelahiran tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara (1889 – 1959). Sosok aktivis dan tokoh pergerakan kemerdekaan asal Yogyakarta itu meninggalkan banyak legacy bagi dunia pendidikan nasional, di antaranya lembaga pendidikan Taman Siswa di Jogja.  Salah satu semboyan  yang berasal dari Ki Hadjar Dewantara ialah: “Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani”, artinya “Di depan harus memberi contoh yang baik, di tengah-tengah harus menciptakan ide dan prakarsa, di belakang harus bisa memberi dorongan dan arahan. Semboyan tersebut, misalnya tut wuri handayani menjadi motto dan logo Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Bangsa Indonesia perlu melestarikan jiwa dan semangat Hari Pendidikan Nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan berkaitan dengan penanaman watak, karakter dan penghayatan sistem nilai, bukan sekadar transmisi pengetahuan dan keterampilan semata. Dunia pendidikan harus dikelola dengan baik, bukan sekadar untuk melayani kebutuhan pasar, melainkan untuk masa depan bangsa, negara dan kemanusiaan dalam pengertian luas.  

Hari Pendidikan Nasional dan Kemajuan Bangsa

Dr. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Pembangunan III (1978 – 1983) dalam tulisannya yang dimuat di Harian Kompas, Rabu 22 Juni 2016 menyatakan, “Jangan main-main dengan pendidikan sebab ia yang paling menentukan masa depan Indonesia.”  

Pada himne nasional lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang dikumandangkan dalam setiap acara dan upacara resmi menyebut “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, Untuk Indonesia Raya.”

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 digariskan tujuan membentuk pemerintahan negara, salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, di samping memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dunia dan keadilan sosial. Misi memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah yang membedakan sistem pendidikan nasional dari sistem pendidikan kolonial di masa penjajahan. Melalui pendidikan yang benar dan terarah dengan pijakan ideologi yang jelas di alam kemerdekaan, maka setiap “penduduk” (residents) ditempa menjadi “warga negara” (citizents) melalui pendidikan.

Baca Juga  Strategi Menghadapi Perubahan ala Ki Hadjar Dewantara

Sejalan dengan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, negara melalui peran pemerintah punya tanggungjawab memfasilitasi dan mengelola kebijakan publik di bidang pendidikan. Dunia pendidikan memiliki ruh, filosofi dan nilai-nilai yang inheren dengan tujuan bernegara dn ideologi nasional. Pemerintah dan segenap unsur masyarakat harus membangun “pendidikan Indonesia” yang berbeda dari sekadar “pendidikan di Indonesia”    

Kemajuan bangsa tidak terlepas dari peran dunia pendidikan. Generasi terpelajar adalah produk dari pendidikan yang terbentang sejak dari rahim ibu, pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan di tengah masyarakat.

Tujuan Pendidikan dan Tujuan Hidup Manusia

“Pembinaan watak adalah tugas utama pendidikan” demikian pesan “Bapak Ilmu Psikologi Indonesia” Prof. R. Slamet Iman Santoso. Dalam perspektif Islam, tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan hidup manusia sebagai makhluk ciptaan Allah dan khalifah-Nya di bumi.

Untuk itu pendidikan manusia seutuhnya mensenyawakan dimensi jasmani, ruhani, akal dan akhlak dalam diri manusia. Dalam bahasa H.S. Dillon, “Dunia pendidikan tidak boleh melahirkan orang-orang yang memangsa bangsanya sendiri.”

Pendidikan dianggap gagal jika keluaran (ouput) yang dihasilkan ialah sumber daya manusia yang sekadar pintar dan menguasai teknologi, tetapi tuna moral, tidak memiliki rasa peduli dan tidak memiliki empati terhadap sesama. Dalam istilah yang sering diucapkan oleh Prof. Dr. B.J. Habibie, perlu keseimbangan antara penguasaan “Iptek dan Imtak”, ilmu pengetahuan-teknologi dan iman-takwa.  

Saya terkesan dengan motto pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor yang merefleksikan konsepsi pendidikan manusia seutuhnya seperti dikehendaki dalam Islam, yaitu: “Berbudi Tinggi, Berbadan Sehat, Berpengetahuan Luas, Berpikiran Bebas.”  Kata “berbudi tinggi” sengaja disebut di depan. Bahwa fisik yang sehat dan kuat, ilmu pengatahuan yang luas dan kebebasan berpikir, akan memberi manfaat jika berada di atas pangkuan budi pekerti yang tinggi atau akhlakul karimah.

Baca Juga  Pancasila: Hadiah Umat Islam untuk Indonesia

Tanggungjawab Kaum Intelektual

Sejarah mencatat betapa dunia pendidikan terus mengalami perkembangan, evolusi bahkan disrupsi seiring dengan perubahan masyarakat. Dunia pendidikan harus tanggap terhadap perubahan zaman, namun tidak boleh terjebak dalam pragmatisme pasar sehingga meninggalkan dasar-dasar fundamental pendidikan itu sendiri.  Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No 20 Tahun 2003) ditegaskan tujuan pendidikan Indonesia yaitu untuk memperkuat jati diri nasional.

Sistem pendidikan nasional dibangun di atas landasan ideologi Pancasila dan way of life sebagai bangsa religius. Dengan demikian,  misi pendidikan untuk melahirkan manusia dan warga negara merdeka dengan tanggungjawab kemanusiaan yang disandangnya harus terjaga selamanya. Bangsa ini harus memiliki budaya dan perilaku menghargai ilmu dan tanggungjawab intelektual. Sistem pendidikan nasional tidak boleh  mengabaikan Pendidikan Agama dalam peta jalan maupun standar kurikulumnya.  

Dalam kaitan ini, mari kita renungkan pesan bapak bangsa Dr. Mohammad Hatta pada Hari Alumni I Universitas Indonesia tanggal 11 Juni 1957 berjudul Tanggung Jawab Moril Kaum Inteligensia, sebagai berikut: “Pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Kurang kecerdasan dapat diisi, kurang karakter sukar memenuhinya, seperti ternyata dengan berbagai bukti di dalam sejarah. Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, akan tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh dengan begitu saja. Saya ingin melihat kaum inteligensia Indonesia menunjukkan tanggungjawab morilnya terhadap usaha-usaha pembangunan negara dan masyarakat kita, dengan berpedoman kepada cinta akan kebenaran, yang menjadi sifat bagi orang berilmu.” 

Seorang intelektual sejati tetap konsisten mengamalkan ilmunya dan bekerja demi bangsa, bukan sekadar mengatas-namakan bangsa. Seorang intelektual sejati yang mencintai bangsa dan bertakwa kepada Tuhan menurut ajaran agamanya takkan sudi mengkhianati ilmunya dan mengkhianati bangsanya.

Baca Juga  Muhammadiyah & Politik (1): Kolaborasi atau Oposisi?

***

Sejalan dengan itu, dalam ucapan selamat kepada keluarga, saudara, sahabat dan sejawat yang menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi selalu kita ucapkan doa, semoga ilmunya bermanfaat. Bermanfaat bagi siapa, ialah bermanfaat untuk sesama manusia. Ungkapan seorang sosialis Perancis, Charles Fourier, yang dikutip Bung Hatta sewaktu memperingati Hari Koperasi tahun 1953 menyatakan kami mau membangun satu dunia yang di dalamnya setiap orang hidup bahagia.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Editor: Nabhan

M Fuad Nasar
15 posts

About author
Akitivis zakat. Penulis buku Fiqh Zakat Indonesia yang diterbitkan BAZNAS tahun 2015. Anggota Tim Editor Buku Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra (2015/2016)
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds