Perspektif

Bagaimana Memberi Makna pada Islam Hari ini?

7 Mins read

Pendahuluan

Ada lebih dari satu milyar manusia yang merupakan Muslim di seluruh dunia hari ini. Ada ratusan juta Muslim yang merupakan warga negara Indonesia. Negara ini juga agak unik; sebab ia menjadi negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Padahal, kita bukan negeri Arab, Timur Tengah, atau negeri yang punya sejarah panjang sebagai pusat peradaban Islam di zaman pertengahan.

Baru saja kita merayakan hari raya Idul Fitri; hari ketika umat Islam merayakan kemenangan spiritual setelah sebulan penuh berpuasa dan beribadah di bulan Ramadhan. Hari raya dan bulan suci masih kita anggap penting, tentu saja sebab ia merupakan perintah agama dan Tuhan – dan juga sebab ia telah menjadi tradisi bagi keluarga kita. Yang saya maksud keluarga adalah “keluarga” Muslim Indonesia. Bagaimana pun, ikatan “keluarga” ini adalah sebuah realitas sosial yang tak bisa ditolak.

Tapi, kita lalu bertanya: Apakah kita sudah memberi makna yang terbaik bagi Islam sebagai agama yang kita anut? Apakah meriahnya hari raya dan semangat menggebu-gebu membela agama muncul dari kesadaran mendalam tentang hakikat Islam? Apakah masih ada makna yang luput kita pahami dari Islam sebagai agama yang Allah turunkan? Dengan kata lain: Bagaimana kita harus memberi makna pada Islam hari ini?

Makna Islam Sebagai Agama

Pertama, mari kita bahas Islam sebagai agama. Oh iya, sebelumnya, penting juga untuk sama-sama kita ingat bahwa realitas yang kita hadapi – baik itu religius, sosial, politik, ekonomi, dan teknologi – sama sekali tidak jauh dari anggapan-anggapan yang kita bentuk sendiri dalam otak dan kesadaran kita.

Sadar atau pun tidak, kita ini dikelilingi oleh lapisan ilusi persepsi. Contoh sederhana: agama sebagai biang keladi kekerasan dan ekstremisme. Itu bukan realitas obyektif. Ada ilusi persepsi yang membuat orang berkata seperti itu.

Contoh lain: manusia sebagai makhluk yang kejam, suka berperang, dan pembunuh sesama. Itu juga bukan realitas obyektif. Bukan berarti saya menafikan semua peristiwa perang dan kekejaman manusia sepanjang sejarah. Tapi, saya menolak untuk menerima definisi, “Manusia sebagai makhluk yang kejam”, hanya karena manusia bisa menjadi kejam. Hanya karena ada pemeluk Islam yang ekstremis, tidak berarti Islam adalah agama kekerasan. Itu maksudnya. Sesimpel itu.

Oke, kita kembali ke topik. Para ilmuwan sosial dan psikologi sudah banyak menulis dan mengatakan bahwa manusia punya kebutuhan rohani atau spiritual. Asumsi itu dinyatakan untuk menjelaskan fenomena sosial empiris di mana banyak manusia mencari ketenangan batin, ikatan kelompok, dan jawaban pasti tentang hidup, dari berbagai macam tradisi agama. Jika Anda punya teman yang sekarang “berhijrah” dan menjadi lebih agamis, itu semua karena ia punya kebutuhan spiritual yang tadi disebut.

Meskipun Islam sebagai agama tampak sudah sangat jelas bagi Anda, saya bisa menjamin bahwa masih ada makna yang luput dari Islam yang belum cukup kita mengerti saat ini. Sekalipun teman Anda tadi sangat taat beragama dan rajin menghadiri pengajian ustadz favoritnya, itu tak berarti ia sudah sampai di tempat yang tepat dalam memahami Islam. Islam sebagai agama tak sesederhana yang manusia secara umum kira. Meriahnya ibadah, hari raya, busana agamis, dan sebagainya, hanya puncak dari gunung es yang lebih besar.

Baca Juga  Sakdiyah Ma'ruf, Perempuan Arab Melawan Konservatisme dengan Komedi

Makna Islam sebagai Panggilan

Tulisan singkat ini tak hendak mengklaim akan memberi Anda sebuah pengetahuan baru dan lebih baik. Ini tulisan yang biasa saja. Adalah hal yang biasa jika seorang manusia berkomunikasi dengan manusia lainnya. Saya berkomunikasi dengan Anda lewat tulisan.

Mari kita lanjutkan bahasan di atas. Di antara dasar dari gunung es bernama “Islam” adalah perannya sebagai pemanggil, atau panggilan bagi kita, umat manusia. Islam adalah wahyu, dan dalam bahasa Arab, wahyu juga mengandung arti al-nida, panggilan. Para nabi itu sendiri sering dikenal sebagai al-munadi, pemanggil (ke jalan yang lurus).

Nabi Muhammad adalah seorang yang gemar merenung, berkontemplasi, dan melakukan refleksi. Dia hidup dengan penuh rasa sadar akan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia sadar karena ia mengamati semuanya. Ia mengamati bagaimana penduduk Makkah berdagang, berjudi, dan berperang.

Ia juga mengamati bagaimana mereka menjunjung tinggi tradisi nenek moyangnya dalam menyembah berhala. Dan, Muhammad juga mengamati bagaimana siang dan malam berganti, matahari menjadi sumber energi, dan bintang serta bulan mengitari bumi.

***

Jika Anda orang yang jarang mengamati fenomena sosial dan alam, saya khawatir Anda tidak akan mengerti apa yang saya katakan. Ada rasa bahagia tatkala kita mencapai pemahaman tertentu dari setiap fenomena yang kita amati.

Ada rasa puas, seperti puasnya seorang gembala yang seharian menggiring ternaknya, tanpa air, namun tiba-tiba menemukan sungai di depannya. Ada rasa puas tatkala pikiran ini sampai pada sebuah kebenaran. Itulah yang dilakukan Muhammad. Itulah sunnahnya. Sungguh.

Dan, itulah salah satu sifat yang menjadi ciri khas Muhammad, yang akhirnya menjadi ciri khas wahyu yang keluar dari relung hatinya dalam bentuk kata demi kata yang indah. Islam memanggil manusia untuk mengamati dan merenungkan dirinya, alam, dan masyarakat, untuk akhirnya sampai pada kebenaran tertentu.

Dan kebenaran utama (ultimate) yang ingin ia antarkan ke hadapan kita adalah rasa rendah diri di hadapan kebesaran Tuhan – pemilik dan pengatur segala fenomena (rabb al-‘alamin, al-rahman al-rahim, malik yaum al-din).

Oleh karena itulah, maka jawaban dari pertanyaan “bagaimana memberi makna pada Islam hari ini?” adalah dengan mendudukkan Islam (Al-Quran dan Nabi Muhammad) sebagai pemanggil bagi kita – agama yang memanggil Anda untuk merenungkan dunia tempat Anda hidup ini, dan akhirnya menumbuhkan rasa rendah diri, tunduk, dan pasrah pada maha besarnya Tuhan sebagai pencipta kita semua. Islam memanggil Anda untuk menengok hati terdalam Anda. Tak ada panggilan untuk menyerang manusia lain, melakukan terror, dan memecah belah perdamaian sosial.

Makna Islam Sebagai Pembuka Kesadaran

Ada sebuah surat dalam Al-Quran yang berjudul “Lebah”. Bagian kitab suci ini diwahyukan tatkala Muhammad masih berada di Makkah. Ciri utama wahyu Nabi di Makkah adalah panggilannya pada manusia supaya membuka kesadaran. Sadar bahwa kita hidup dikelilingi oleh keajaiban alam. Dan semua itu adalah tanda (ayat) bagi mereka yang mau menggunakan akal dan pikiran.

Baca Juga  Bagaimana Hukum Memakai Baju yang Ada Tulisannya Saat Salat?

Surat Lebah dimulai dengan sebuah proklamasi bahwa: Keputusan Allah sudah datang, maka tak perlu manusia menagih-nagih kapan kiamat dan mukjizat akan muncul. Cacian apa pun yang manusia lancarkan pada wahyu, tetap tak akan merusak maha tingginya Allah dari segala yang kita syirik-kan dengan-Nya. Penduduk Makkah waktu itu adalah contoh dari masyarakat yang disinggung ini. Tapi, sikap serupa selalu muncul di zaman dan tempat yang berbeda-beda.

Oh iya, bagian ini akan membicarakan soal surat Lebah ini. Untuk memahaminya, saya dibantu oleh Mushaf Utsmani, The Translation of The Holy Quran karya A.J. Arberry, dan Tafsir al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari. Silakan Anda membuka sumber yang sama, atau sumber literer lain yang juga menyediakan penjelasan bagi Al-Quran. Surat Lebah mengantar kita pada renungan akan fenomena alam – ia adalah bukti bahwa Islam memanggil kita untuk merenungi itu semua, dan akhirnya merasakan kerendahan di hadapan Tuhan.

Ayat kedua: Tak ada yang sulit bagi Tuhan untuk menurunkan malaikat membawa wahyu kepada Muhammad, hamba-Nya. Saripati wahyu itu adalah suruhan supaya manusia kembali kepada Tuhan, satu-satunya Tuhan, dan tunduk pada-Nya. Ayat ketiga: Jika Anda tanya, mengapa harus kembali dan tunduk, maka jawabnya adalah sebab Dia yang menciptakan lelangit dan bumi tempat Anda hidup itu. Sungguh maha tinggi Tuhan, tak sebanding dengan apa pun yang Anda “sembah” selain Tuhan. Hari ini, selain Tuhan, banyak dari kita yang juga menyembah uang, ketenaran, status sosial, dan hiburan.

***

Ayat keempat: Ia juga menciptakan manusia dari tetes sperma, tahu-tahu manusia itu membangkang pada penciptanya. Jika Anda mau tahu esensi kekafiran, ia adalah rasa tak tahu terima kasih atas wujud, nyawa, dan kehidupan yang sudah Tuhan berikan dengan penuh cinta kepada Anda. Ayat kelima: Apakah cuma itu ciptaan Allah? Tidak. Dia juga ciptakan binatang ternak – kuda, sapi, kambing, unta, ayam. Binatang itu Anda gunakan, mereka juga Anda makan.

Ayat keenam: Pada binatang kesayangan itu juga Anda suka melihatnya – ada keindahan padanya. Ayat ketujuh: Binatang itu juga membawa barang-barang Anda ke negeri yang jauh sekali, yang tak mampu Anda capai kecuali setelah mati-matian. Artinya, bahkan binatang itu sendiri adalah tanda bahwa Tuhan menyayangi Anda. Sungguh Dia itu maha lembut dan pemberi. Ayat kedelapan: Di antara binatang itu, ada kuda, bighal, dan keledai, binatang yang kalian tunggangi, dan kesenangan kalian. Tuhan juga menciptakan lebih dari itu – menciptakan banyak lagi hal yang Anda tidak tahu.

***

Ayat kesembilan: Allah selalu – tak pernah tidak – menunjukkan jalan yang lurus untuk kita. Tapi tetap saja, tak semuanya akan menerima ajakan-Nya. Kalau Dia mau, sudah dari dulu Dia jadikan semua manusia itu tunduk pada-Nya. Kalau Dia mau, sudah dari dulu semua orang itu lurus jalan hidupnya. Ayat kesepuluh: Tak cuma diri Anda dan binatang yang membantu hidup Anda, melainkan Anda juga perlu mengamati lelangit. Dia turunkan air dari langit, sehingga Anda pun bisa minum air yang tadinya asin, kini menjadi tawar. Air itu pula menumbuhkan pepohonan tempat Anda bernaung, memanen buah, dan menjadikannya bahan rumah.

Baca Juga  Jangan Shalat di Masjid, Ada Corona!

Di ayat-ayat selanjutnya ajakan mengamati itu terus berlanjut. Buah-buahan yang tumbuh, malam dan siang, serta bulan dan matahari yang membantu kehidupan Anda, begitupula bintang gemintang – jika Anda pakai akal, semua itu adalah tanda dan rambu yang menunjukkan kepada siapa harusnya Anda ini tunduk dan patuh. Dia bertanya pada Anda: Apakah sama antara yang menciptakan itu semua, dengan benda-benda yang lain yang Anda puja dan sembah? Andai Anda mencoba menghitung segala nikmatnya itu, mustahil Anda berhasil.

Penutup

Akhirul kalam, begitulah Allah mewahyukan kepada Muhammad – dan Muhammad sampaikan kepada kita semua – akan perlunya kita masuk ke relung hati terdalam untuk merenungkan dalam-dalam (tadabbur) dan memikirkan secara teliti (tafakkur) fenomena alam yang mengelilingi umat manusia.

Jika ada peradaban yang lahir dari Islam – dan memang pernah ada – maka itu adalah peradaban yang secara alami tumbuh dari hati yang sadar akan kebesaran Allah. Sama alaminya seperti pohon yang tumbuh akibat disirami air segar dari langit, dan membuat tanahnya subur dan gembur sebagai organisme yang hidup. Tak ada peradaban Islam jika tidak ada lagi Muslim yang memenuhi panggilan wahyu untuk menjadi seperti Muhammad – merenungkan secara lembut dan mendalam tanda-tanda kasih Tuhan di muka bumi dan atap langit.

Hanya Muslim yang tunduk pada maha besarnya Allah yang akan hidup dengan rasa rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Sombong adalah akar kekafiran, dan akar akhlak yang tercela. Sombong adalah racun dan kanker yang menggerogoti peradaban manusia. Al-Quran menegaskan: Hamba Tuhan yang maha pemurah adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan hati yang merendah, lembut, dan tak keras. Dan ketika ada orang bodoh yang mengata-ngatainya, sang hamba akan berkata; salam.

Demikianlah salah satu makna dari Islam sebagai agama bagi kita. Saya ulangi: Islam adalah panggilan supaya kita merasakan maha besarnya, maha kasihnya, dan maha lembutnya Tuhan atas hidup, nafas, dan nyawa yang Ia berikan secara cuma-cuma ini. Sayangnya, tak banyak dari kita, bahkan pemuka agama ini, yang mengingatkan kita akan hal tersebut. Semua ribut berebut pengikut, fans, dan berebut menjadi idola umat. Semoga Allah melindungi kita semua dari pemuka agama yang bukannya mendekatkan kita pada Allah, tapi justru sebaliknya.

Allahu a’lamu. Sampai ketemu di tulisan berikutnya.

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…
Perspektif

Mau Sampai Kapan IMM Tak Peduli dengan Komisariat?

2 Mins read
Barangkali unit terkecil IMM yang paling terengah-engah membopong organisasi adalah komisariat. Mereka tumbuh serupa pendaki yang memanjat gunung tanpa persiapan dan dukungan….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds