Tahukah Engkau (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria dan enggan (menolong dengan) barang berguna (QS. Al-Mâ’ûn: 1-7).
Suatu ketika, KH Ahmad Dahlan yang setiap hari memberikan pengajian tafsir kepada santri-santrinya menyuruh mereka untuk mengulang-ulang bacaan surat di atas. Setiap para santrinya selesai membaca, KH Ahmad Dahlan meminta untuk diulangi lagi, hingga berkali-kali.
Akhirnya, ada salah satu santri yang bertanya, Kenapa Kiai memerintahkan kami untuk terus mengulang-ulang surat ini, padahal kami telah selesai membacanya, bahkan hafal di luar kepala?
Mendengar pertanyaan dan penyataan dari santrinya tersebut, KH Ahmad Dahlan mengatakan bahwa membaca Al-Quran tidak cukup hanya diulang-ulang pembacaannya, tapi juga penting untuk dipikirkan artinya, diresapi maknanya, dan yang lebih penting lagi dijalankan dalam kehidupan nyata.
Dalam surat Al-Mâ’ûn di atas, yang hingga sekarang banyak menjadi spirit dan nafas perjuangan Muhammadiyah, ditegaskan bahwa orang-orang bisa dikategorikan mendustakan agama, apabila ia menyia-nyiakan anak yatim dan kaum fakir miskin.
Selain itu, juga secara jelas dikatakan oleh Allah SWT, bahwa shalat atau ibadah wajib bisa menjadi sia-sia apabila kita hanya peduli atau mementingkan nasib kita saja, tanpa sedikit pun mau memberi pertolongan bagi orang yang sengsara.
Dengan berpedoman pada surat Al-Mâ’ûn itulah, KH Ahmad Dahlan bersama para santri dan sahabatnya menggerakkan Islam yang berkemajuan, yaitu Islam yang peduli pada modernitas, menjunjung tinggi kemajuan, memikirkan pendidikan, menekankan kerja keras dan amal nyata, serta melakukan pembaruan pemikiran keagamaan dengan disertai sebuah amal nyata.
Dengan Islam yang berkemajuan itu, ketika KH Ahmad Dahlan meluruskan arah kiblat Masjid Kraton Yogyakarta, meskipun banyak dikritik orang dan dikafirkan, beliau tetap istiqamah pada perjuangannya dan teguh pendirian. Sebab, beliau yakin bahwa setiap usaha pembaruan atau kritik terhadap kondisi kemapanan, pasti akan mendatang-kan protes dan ketidaksukaan pada sebagian orang.
Penafsiran Progresif KH Ahmad Dahlan
Oleh karena itu, KH Ahmad Dahlan ingin agar ketika membaca Al-Quran atau menafsirkan kitab suci Al-Quran, hendaknya tidak hanya berhenti pada upaya pemahaman saja, tapi sejatinya dilanjutkan dengan langkah pemberdayaan dan pembebasan sosial terhadap masyarakat di sekelilingnya.
Maka, lewat penafsiran yang progresif dan transformatif terhadap surat Al-Mâ’ûn itu, KH Ahmad Dahlan bersama-sama dengan pimpinan dan anggota Muhammadiyah lainnya memelopori pendirian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemom) yang menjadi cikal bakal rumah-rumah sakit yang hingga sekarang berkembang pesat di Muhammadiyah itu. PKO ditujukan untuk menolong para kaum mustadz’afîn yang papa dan terpinggirkanoleh kekuasaan dan tidak mampu pergi ke pengobatan yang mahal dan membutuhkan banyak dana.
Selain mendirikan PKO, beliau bersama-sama pimpinan dan warga Muhamamdiyah lainnya, dalam rangka menolong kaum fakir miskin, mustadz’afîn, anak terlantar, anak jalanan, dan sebagainya, juga mendirikan sekolah modern yang diadaptasi dari model pendidikan orang Barat. Pada masa penjajahan, semua yang berbau kulit putih, baik bahasa, model pakaian, sistem pendidikan, dan metode belajarnya, dianggap milik non-muslim (Barat) dan umat Islam dilarang mendekati dan menirunya.
Namun, dengan ijtihad yang diyakininya serta terdorong oleh kesadaran akan pentingnya menolong dan menafsirkan ayat Al-Quran dalam kehidupan nyata, maka KH Ahmad Dahlan mengadopsi sistem itu dan menyesuaikannya dengan budaya dan nilai Islam. Menurutnya, kita tidak apa-apa belajar ilmu-ilmu yang dipelajari orang kulit putih itu, agar kita juga menjadi pintar dan cerdas serta tidak dibodohi oleh mereka.
KH Ahmad Dahlan Memimpin dengan Egaliter
Dalam riwayat kehidupan beliau yang didokumentasikan oleh santrinya yang bernama KH. Syuja’, diceritakan bahwa KH Ahmad Dahlan dalam memimpin Muhammadiyah sangat egaliter. Beliau mengorbankan waktu dan segala yang dimilikinya untuk perjuangan Persyarikatan ini. KH Ahmad Dahlan yang seorang Penghulu Kraton Yogyakarta dan pedagang, mengajarkan para santrinya agar bersikap mandiri dalam berdakwah.
Selain menjalani hidup sebagai seorang pedagang, meskipun menjadi pimpinan dari Muhammadiyah yang sangat besar pengaruhnya dan menarik minat para penduduk Indonesia, serta berkedudukan tinggi sebagai aktivis Boedi Oetama dan menjadi Penghulu Kraton, KH Ahmad Dahlan yang nama kecilnya adalah Muhammad Darwis, ternyata tetap berperilaku sederhana.
Menurut Abdul Munir Mulkhan yang banyak menggeluti dan meneliti pemikiran dan kehidupan KH Ahmad Dahlan, beliau adalah sosok yang sederhana. Beliau ke mana-mana naik kereta api bersama para pedagang lainnya dan menolak tawaran untuk menginap di penginapan yang mewah.
Beliau lebih suka menginap di rumah para sahabatnya sesama aktivis Islam di berbagai daerah untuk lebih leluasa berdiskusi dan berdakwah dengan para sahabatnya itu.
Di samping hidup dalam kesederhanaan, KH Ahmad Dahlan juga terkenal sebagai figur yang terbuka, toleran, dan tidak fanatik. Oleh karenanya, beliau meski aktif di Muhammadiyah, tidak pernah mengkafirkan orang-orang Boedi Oetama yang kebanyakan abangan.
Begitu juga dengan para aktivis Syarikat Islam pun tidak beliau kecam atau direndahkan. Karena semua itu adalah mitra untuk bersama-sama mencerdaskan bangsa dan memerdekakan negara Indonesia tercinta ini.
Terhadap kelompok lain yang dianggap menyimpang dan tidak beragama pun, beliau tetap toleran dan mengajak dialog serta bertukar pikiran. Berkaitan dengan ini, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah bercerita bahwa ketika Muhammadiyah berdiri, KH Hasyim Asy’ari minta para santrinya untuk mencari tahu siapa pendiri dan penggerak organisasi ini?
Kemudian, setelah tahu bahwa yang mendirikan adalah KH Ahmad Dahlan, beliau mengatakan tidak apa-apa dan tidak bahaya. Karena mereka berdua adalah sahabat lama dan pernah sama-sama menimba ilmu di Mekah.
***
Akhirnya, sebagai seorang manusia beliau tentu tidak lepas dari kekurangan. Ada beberapa kritik terhadap beliau, misalnya kurang mewariskan pemikiran dan hanya banyak meninggalkan ajaran kesalehan sosial yang menjadikan umat kurang giat berpikir.
Namun, di atas itu semua, keteladanan dan sikap hidup dari beliau patut kita bumikan dan jalani sebagai sebuah pelajaran penting dari seorang tokoh bangsa dan tokoh umat. Apalagi, di tengah zaman ketika kepedulian terhadap kaum miskin, anak jalanan, dan kaum mustadz’afîn melemah karena kerasnya persaingan ekonomi dan tuntutan untuk bersaing sesama rakyat. Wallâhu a’lam bisshawâb.
Editor: Yahya FR