Fikih

28 Mei 2021, Momentum Pembetulan Arah Kiblat

3 Mins read

Fikih Menghadap Arah Kiblat

Dalil naqli tentang menghadap arah kiblat dapat kita temukan dalam dalam banyak ayat al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut adalah Q.S. Al-Baqarah (2) ayat ke-150, Q.S. al-An’am (6) ayat ke-97, dan Q.S. al-Nahl (16) ayat ke-16 (Butar-butar, 2018).

Ulama dalam empat madzhab (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) menyepakati bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat  (Izzan dan Saifullah, 2013). Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang detail menghadap kiblat sebagaimana diperintahkan dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat ke-150 (Butar-butar, 2018).

Sebagian ulama berpandangan bahwa menghadap kiblat ialah menghadap Ka’bah secara fisik, sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa menghadap kiblat adalah menghadap Ka’bah secara arah. Jumhur ulama menyepakati bahwa manakala seseorang berada di kompleks Masjid al-Haram maka saat shalat ia wajib menghadap bangunan Ka’bah.

Namun, jika seseorang berada di luar kompleks masjid al-Haram maka terjadi perbedaan pendapat. Ulama madzhab Syafi’iyah tetap mewajibkan menghadap ke bangunan Ka’bah, sedangkan ulama tiga madzhab lainnya hanya mewajibkan menghadap arah Ka’bah (Butar-butar, 2018).

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang detail menghadap kiblat di atas, penentuan arah kiblat merupakan hal penting. Bagi orang yang berada di area Masjid al-Haram dan dapat melihat Ka’bah secara langsung, penentuan arah kiblat tidak menjadi masalah. Begitu pula, bagi orang-orang yang berada di luar Masjid  al-Haram tetapi masih di kota Mekah, penentuan arah kiblat tidak menjadi masalah, mereka cukup menghadap ke Masjid al-Haram.

Akan tetapi, bagi mereka yang berada di luar kota Mekah atau bahkan di luar negara Arab Saudi, mungkin menjadi masalah. Alhamdulilah, seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah penentuan arah kiblat bagi mereka yang di luar kota Mekah dapat teratasi.

Baca Juga  Tahlilan itu Bagian dari Tradisi, bukan Syariat Islam

Cara Penentuan Arah Kiblat di Indonesia

Di Indonesia, cara penentuan arah kiblat di berkembang dari waktu ke waktu. Hal itu dapat kita lihat dari perkembangan sains dan teknologi yang digunakan. Beberapa teknologi yang digunakan dalam penentuan arah kiblat meliputi miqyas, tongkat istiwa’, rubu’ mujayyab, kompas, dan teodolit (Azhari, 2011).

Kini, cara yang sering digunakan oleh Umat Islam Indonesia dalam penentuan arah kiblat adalah pendekatan matematis dan eksperimen. Secara matematis, arah kiblat bisa ditentukan dengan ilmu ukur segitiga bola atau lebih masyhur dengan istilah ilmu trigonometri bola.

Selain menggunakan ilmu trigonometri bola, penentuan arah kiblat secara matematis bisa ditentukan dengan ilmu geodesi. Jika dibandingkan dengan ilmu trigonometri bola, penentuan arah kiblat dengan ilmu geodesi mempunyai akurasi yang lebih baik. Kok bisa lebih akurat?

Peningkatan akurasi tersebut dikarenakan dalam teori geodesi ditambahkan satu variabel yakni ketinggian tempat. Namun demikian, penentuan arah kiblat dengan teori geodesi belum banyak dipraktekkan. Hal tersebut dimungkinkan karena persamaan matematika yang digunakan lebih rumit, sehingga belum banyak orang yang menguasainya.

Pendekatan kedua yang sering digunakan dalam penentuannya adalah eksperimen. Pendekatan eksperimen dalam penentuan arah kiblat dilakukan dengan memanfaatkan bayang-bayang kiblat.

Cara ini ditempuh dengan 4 langkah, yakni menghitung arah kiblat suatu tempat, menghitung kapan saat matahari membuat bayang-bayang setiap benda (tegak) mengarah persis ke Ka’bah, mengamati bayang-bayang benda saat matahari persis di atas Ka’bah, dan mengabadikan bayang-bayang tersebut sebagai arah kiblat (Azhari, 2011).

Manakah yang Lebih Akurat Antara Pendekatan Matematis dan Eksperimen?

Dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, hakim tertinggi adalah eksperimen. Oleh karenanya, walaupun arah kiblat suatu tempat telah ditentukan secara matematis, namun tetap disarankan untuk melakukan kalibrasi arah kiblat dengan metode eksperimen.

Baca Juga  Jihad, Melawan Kebodohan dan Kefakiran

Kulminasi Matahari di atas Ka’bah

Peristiwa matahari di atas Ka’bah merupakan fenomena alam. Kejadian tersebut terjadi 2 kali dalam setahun, yakni tanggal 27 atau 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 atau 16 Juli sekitar pukul 16.27 WIB (Azhari, 2011). Kulminasi matahari di atas Ka’bah tersebut terjadi saat deklinasi matahari sama dengan lintang tempat/geografis Ka’bah (Izzan dan Saifullah, 2013).

Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa nilai deklinasi matahari berubah sepanjang tahun, dari +23°26’30” sampai dengan -23°26’30” (Azhari, 2007).Nilai deklinasi matahari tertinggi di sebelah utara equator terjadi pada tanggal 21 Juni, sedangkan di selatan equator terjadi pada tanggal 22 Desember (Azhari, 2007).

Apa itu Lintang Tempat/Geografis?

Secara etimologi, lintang tempat/geografis dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan term latitude, sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan term urd al-balad. Dalam dunia Astronomi, simbol yang digunakan untuk menyatakannya adalah phi.

Secara terminologi, lintang tempat/geografis adalah jarak sepanjang meridian bumi diukur dari khatulistiwa sampai dengan tempat tertentu (Azhari, 2007). Lintang tempat/geografis minimal 0° dan maksimal 90°. Berdasarkan kesepakatan, tempat-tempat di belahan bumi utara diberi tanda positif (+), sedangkan tempat-tempat di belahan bumi selatan diberi tanda negatif (-).

Ka’bah menempati belahan bumi utara, tepatnya di kota Mekah. Lintang tempat/geografis kota Mekah adalah 21°25′ (Izzan dan Saifullah, 2013).

Kapan Deklinasi Matahari Bernilai 21°25′ Sama Dengan Lintang Tempat/Geografis Kota Mekah Sebesar 21°25′?

Deklinasi matahari bernilai 21°25′ terjadi pada tanggal 27 atau 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 atau 16 Juli sekitar pukul 16.27 WIB (Azhari, 2011). Pada tahun normal, deklinasi matahari bernilai 21°25′ terjadi pada tanggal 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 16 Juli sekitar pukul 16.28 WIB.

Baca Juga  Rashdul Kiblat Global, Momentum Meluruskan Arah Kiblat

Sementara itu, pada tahun kabisat, deklinasi matahari bernilai 21°25′ terjadi pada tanggal 27 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 15 Juli sekitar pukul 16.27 WIB.

Tahun 2021 adalah tahun normal, bukan termasuk tahun kabisat. Oleh karenanya, pada tanggal 28 Mei 2021 sekitar pukul 16.18 WIB dan tanggal 16 Juli 2021 sekitar pukul 16.27 WIB, Ummat Islam di Indonesia dapat melakukan kalibrasi arah kiblat (Anugraha, 2012).

Pukul 16.18 WIB tanggal 28 Mei 2021 dan pukul 16.27 WIB tanggal 16 Juli 2021 bukanlah waktu mutlak. Bagi yang pada menit dan detik tersebut mengalami kendala, maka ia dapat melakukan kalibrasi arah kiblat pada 3 menit sebelum atau sesudahnya (Anugraha, 2020).

Tanggal 28 Mei 2021 dan 16 Juli 2021 juga bukanlah tanggal mutlak yang tidak mempunyai toleransi. Bagi yang pada tanggal tersebut ada kegiatan lain yang sudah terjadwal dan tidak bisa diubah, maka ia dapat melakukan kalibrasi arah kiblat pada 2 hari sebelum atau sesudahnya (Anugraha, 2012).

Wa Allah a’lamu bi al-shawab

Semoga bermanfaat.

Editor: Yahya FR

Avatar
33 posts

About author
Staf Pengajar UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Sains dan Teknologi. Santri Pondok Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki Tahun 1991-1997.
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *