Baru-baru ini beredar tulisan berjudul “PSEUDO-ILMIAH ATAU TAKLID BUTA?” oleh penulis yang mengatas-namakan dirinya dr. Taufiq Muhibbuddin Waly, Sp. Tulisan tersebut semacam surat terbuka yang ditujukan kepada Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si. Intinya, menyalah-nyalahkan Muhammadiyah yang dinilai taklid pada WHO.
Dari tulisan itu saya hanya ambil yang paling inti dari kesimpulannya:
“Kesimpulan dari apa yang saya tuliskan di atas, bahwa WHO yang diikuti oleh para dokter sedunia itu bukanlah sumber kebenaran yang harus diikuti oleh para dokter sedunia. Begitu pula pada masalah COVID-19. Hasil belajar saya menunjukkan bahwa COVID-19 hanyalah setingkat flu like syndrome. Dan tidak perlu vaksinasi untuk penyakit seperti itu. Bahkan vaksinasi COVID-19 dapat berbahaya bagi umat manusia. Tidak ada yang perlu di takuti dari mutasi virus SARS COV 2 Wuhan.”
Komentar saya sederhana: Jika WHO atau lembaga yang di dalamnya berisi banyak orang-orang berilmu dianggap bukan sumber kebenaran yang harus diikuti, lalu bagaimana harus mengikuti pendapat seseorang yang belum diuji kebenarannya secara ilmiah lewat institusi keilmuan yang kredibel? Apalagi dia hanya membenarkan dirinya sambil menyalahkan pihak lain.
Ada perbedaan pendapat di dunia ilmiah itu biasa. Tidak masalah ada yang berpendapat berbeda soal covid-19 dan vaksinasi dari siapapun. Hal itu wajar saja di dunia gagasan atau ilmu pengetahuan (sains).
Kritik saya pada mereka yang mempunyai pendapat berbeda soal covid-19 dan vaksinasi sederhana saja. Coba diuji saja dengan pendapat kebanyakan ahli epidemiologi dan kedokteran serta saintis lainnya di forum ilmiah yang kredibel, agar dia bisa mempertanggungg-jawabkan teorinya. Buktikan saja dengan para ahli lain: apakah betul covid-19 sama dengan flu biasa. Bukan lewat medsos, tapi diuji di laboratorium dan dibuktikan di forum para ahli, peneliti, dan saintis lain.
Bagi yang berteori konspirasi, daripada berdebat kusir, maka kumpulkan saja data akurat dan buktikan runtutannya secara ilmiah dan faktual!
Karena Covid ini sudah menelan 3,8 jt lebih nyawa manusia di dunia. Kalau betul ada yang bikin atau konspirasi, siapa orang dan lembaganya? Lebih jauh, maka ajukan saja ke pengadilan internasional sebagai perkara kejahatan kemanusiaan. Jadi secara teori dan proses bisa diverifikasi dan diuji secara terbuka melalui institusi resmi, daripada dikembangkan teori sepihak yang spekulatif melalui medsos.
Berbeda teori itu hal biasa di dunia sains. Satu orang beda dengan banyak orang juga biasa. Tapi belum apa-apa sudah merasa diri paling benar dan menyalahkan pendapat banyak orang, apalagi dengan argumen-argumen yang tidak kuat.
Di tengah pandemi yang meninggi, masih juga menari-nari dengan pendapat sendiri yang diproduksi untuk orang umum tanpa diverifikasi secara keilmuan. Hal itu hanya membuat sebagian orang -terutama orang awam- menjadi ragu, bimbang, dan akhirnya abai. Padahal pandemi ini mengenai siapa saja.
Tawaran saya sebenarnya moderat saja. Jangan jauh-jauh dengan WHO! Coba saja ajak seluruh ahli epidemiologi, dokter, peneliti dan ahli lain yang bergabung di lembaga-lembaga resmi di Indonesia. Sampaikan kalau pendapatnya paling benar dan yang lain salah. Sekali lagi, beda antara satu ahli dengan banyak ahli biasa saja.
Dalam beragama misalnya, kalau ada perbedaan pendapat tentang isu agama, saya mengikuti tuntunan keagamaan yang diproduksi Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih karena hasil “ijtihad jama’i”.
Jadi kalau ada banyak ahli kredibel berpendapat tentang covid-19, saya pasti mengikuti pendapat “jama’i” -institusi yang kredibel- dalam hal ini Muhammadiyah. Saya tidak mengikuti pendapat yang perorangan atau “ijtihad fardi” meskipun pakar. Simpel saja, jika ada yang berpendapat bahwa pandangan banyak orang belum tentu benar, apalagi atau sama halnya pendapat satu orang, juga belum tentu benar.
Kalau mau mengeluh dan protes, sebenarnya Muhammadiyah juga berhak dan bisa. Tapi tradisi Muhammadiyah tidak hanya bicara, tapi berbuat nyata bersama yang lain mengatasi pandemi ini dengan segala dampaknya.
Melalui MCCC dan semua kelembagaan Muhammadiyah, termasuk 117 Rumah Sakit Muhammadiyah berjibaku melayani pasien dan saudara-saudara sebangsa yang terpapar dan terdampak. Ratusan miliar dana organisasi sudah Muhammadiyah keluarkan. Tapi, untuk apa dalam situasi musibah malah ada yang bikin gaduh dan ribut tidak berkesudahan.
Kalau di bidang ilmu sosial dan humaniora atau keagamaan beda pendapat itu tidak banyak mengandung resiko, meski ada. Tapi kalau soal pandemi, pertaruhannya nyawa manusia. Orang-orang yang atas nama agama atau teori konspirasi bisa berbusa-busa mengumbar pendapatnya sendiri. Tapi bagaimana dengan nasib orang yang nyatanya banyak yang meninggal dan terpapar?
Orang selama ini yang terkena flu biasa, meski komorbid biasa saja, sehari, dua hari, sampai seminggu, istirahat atau berobat sembuh. Tapi covid ini, terutama bagi yang memiliki komorbid, maka sungguh mematikan. Karenanya, daripada mengikuti pendapat satu-dua orang yang spekulatif, lebih valid ikuti mazhab umum dari institusi kredibel dan lebih dari itu kenyataannya di kanan kiri kita banyak yang terkena covid.
Pandemi ini sudah berjalan setahun lebih. Korbannya sudah banyak. Mari lihat data. Lihat tetangga kanan-kiri, teman dan keluarga. Kalau perlu melihat keadaan rumah sakit saat ini.
Kalau hanya menulis di medsos, itu gampang. Apalagi kalau berbeda dari arus umum. Akan viral dan menyenangkan bagi si empunya, tapi untuk apa? Di mana rasa kemanusiaan kita saat menari-nari mengikuti hasrat pribadi di tengah penderitaan banyak orang yang semuanya adalah saudara kita?
*) Bantahan serupa juga ditulis dalam artikel Tanggapan Surat Terbuka untuk Teman Sejawat dan Soal Kredibilitas Tulisan Dokter Taufiq Muhibbuddin Waly Sp PD.
Editor : Yusuf