Hubungan antara Politik dan Agama
Sejarah hubungan antara agama dengan politik pada awal Islam menunjukkan suatu keterikatan yang jelas tetapi juga kompleks.
Hal ini bisa diketahui dari model Negara-Kota (city-state) Madinah, di mana Nabi Muhammad sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan. Konsep yang dibangun yaitu berdasar Islam, dengan ketundukan kepada Tuhan, dan keterikatan perjajian damai dalam Piagam Madinah. Dari sini semangat yang coba dibentuk berupa persaudaraan setanah air.
Pada abad ke-19, dunia Barat mengenalkan konsep nation state (negara bangsa) yang mempengaruhi hubungan antara politik dan agama. Hal baru ini belum ada dalam sejarah Islam, yaitu sebuah negara yang menjadikan bangsa, bahasa, teritori sebagai unsur pemersatu dan mengabaikan perbedaan religi (tidak ada agama resmi negara).
Negara di sini hadir sebagai sisi netral yang memayungi berbagai perbedaan. Dengan begitu, respon cendekiawan muslim dalam konsep politik Islam menjadi terbelah gerakannya menjadi tiga yaitu; fundamentalisme, sekulerisme, dan fungsionalisme.
Fundamentalisme
Corak pemikiran fundamentalisme berarti kembali ke dasar. Salah satu tokoh dengan pemikiran ini yaitu Abul A’la al-Maududi. Ia merumuskan politik Islam sebagai teo-demokratik.
Hal ini berarti sebuah negara yang berdasarkan ketuhanan dan demokratis karena adanya unsur syura di dalamnya. Keyakinan dasar yang melandasi pemikiran Maududi yaitu, pertama, Islam adalah agama yang lengkap dan paripurna mengatur aspek kehidupan termasuk politik.
Kedua, kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah, sehingga baik negara maupun manusia harus tunduk Al-Qur’an dan Sunnah. Ketiga, sistem politik Islam adalah universal tidak mengenal batasan geografis, bahasa dan kebangsaan.
Teo-demokrasi al-Maududi memberikan ruang kedaulatan rakyat berupa majelis syura yang terbatasi oleh ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah. Model pemerintahan ini dijalankan dalam konsep trias politika; legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Selain itu, konsep negara ini memiliki dua kategori kewarganegaraan, warga negara muslim dan non-muslim (zimmi). Dalam hal keagamaan mereka dibina pemimpin agama-masing-masing, sementara bidang kehidupan yang lain harus tunduk pada Islam agama mayoritas.
Dengan kata lain, dalam pemerintahan agama ini hanya orang Islam lah yang berhak menjadi kepala negara.
Sekularisme
Corak pemikiran sekularisme politik berarti memisahkan otoritas negara dari agama. Ali Abd Raziq dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm memperkenalkan teori yang mengkritik keabsahan kekhalifahan.
Pokok-pokok pemikirannya yaitu; Pertama, Nabi tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spiritual. Kedua, Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang jelas. Ketiga, bahwa tipe-tipe pemerintahan pasca Nabi wafat tidak memiliki doktrin Islam, sehingga sistem yang diadopsi orang Arab dinaikkan derajatnya dengan istilah Khilafah untuk mendapatkan legitimasi religious.
Keempat, sistem khilafah ini telah menjadi alat untuk melegitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam. Bagi Abd Raziq, mendirikan kekhalifahan adalah tidak wajib bagi umat Islam, karena hanya berdasarkan pada ijma.
Bagi politikus sekularis, pemisahan antara Negara dan Agama merupakan hal yang tak terelakkan.
Agama sebagai institusi negara haruslah bersikap netral dihadapan warga negaranya yang plural.
Sedangkan agama merupakan nilai yang kebenarannya diakui masing-masing pemeluknya, tidak bisa ditarik ke ranah publik sebagai kebijakan umum. Maka agama dan negara memiliki ranahnya masing-masing yang berbeda.
Fungsionalisme
Corak pemikiran fungsionalisme, meletakkan agama dan negara sebagai suatu kesatuan fungsional. Pendapat ini didasari pada konsep bahwa Islam tidak mengatur segala aspek secara detail seperti politik, tetapi juga tidak sependapat bila ada pemisahan antara agama dan negara.
Karena di dalam Islam terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai moral bagi kesejahteraan hidup manusia termasuk bernegara, dan untuk pelaksanaannya bebas memilih sistem apapun.
Dari corak pemikiran ini ada tokoh seperti Muhammad Husein Haikal. Menurutnya di dalam Islam tidak ada sistem pemerintahan yang baku. Umat Islam bebas menganut sistem pemerintahan apapun asal sistem tersebut dapat menjamin persamaan antar warga negara, dengan berpegang pada tata nilai moral dan etika yang diajarkan Islam bagi peradaban manusia.
Konsep negara Islam menurut Haikal memiliki keseimbangan nilai-nilai tauhid dan humanis. Seseorang yang memegang tauhid, maka dalam bernegara tentu tidak akan melanggar syariat.
Selanjutnya nilai humanis terdiri dari tiga prinsip yaitu: persaudaraan sesama manusia, persamaan sesama manusia, dan kebebasan manusia. Secara implisit, Haikal sendiri memilih bentuk negara republik konstitusional demokrasi karena pemimpin bertindak sebagai wakil rakyat, dan kekuasaannya dibatasi hukum. Di mana pelaksanaan itu lebih merepresentasikan masa khulafaurasyidin.
Kesimpulan
Politik Islam telah melewati berbagai macam tantangan dari waktu ke waktu. Dimulai dari masa Rasulullah sebagai prototype city-state Madinah, para cendekiawan muslim merumuskan ulang bentuk pemerintahan ideal di era nation state.
Tantangan dari kemajemukan warga negara membuat rumusan konsep relasi Islam dan negara menjadi terbagi tiga secara umum. Fundamentalis, Sekularis, dan Fungsionalis.
Ketiga bentuk pemerintahan itu, kesemuanya adalah sebuah sistem atau alat. Di balik itu semua ada yang lebih penting yaitu kesiapan yang matang terhadap para pelaku pemerintahannya.
Pribadi pemimpin yang adil, matang secara ilmu agama, dan ilmu pemerintahan yang professional akan mempengaruhi tingkat kemajuan suatu negara. Tentu kemajuan di sini bukan hanya pada sisi materiil, tetapi juga manusianya yang beradab.
Pada akhirnya, tingkat keberhasilan suatu sistem negara akan dipengaruhi kondisi dan kesiapan mental warga negara itu sendiri. Maka wacana fundamentalis, sekularis, dan fungsionalis perlu ditelaah lebih jauh untuk mencari kemaslahatan yang lebih besar dari sudut pandang tujuan Islam. Wallahu alam bisshowab.
Editor: Yahya FR