Falsafah

Kritik M. Amin Abdullah terhadap Etika Al-Ghazali

5 Mins read

Amin Abdullah – Al-Ghazali adalah ulama yang fenomenal dalam sejarah intelektual Islam. Mengapa demikian, hal ini karena Al-Ghazali dinilai sebagai tokoh yang paling berpengaruh di dunia Islam setelah Nabi Muhammad Saw. Hingga kini warisan intelektual al-Ghazali masih up to date di seantero masyarakat Muslim.

Karya al-Ghazali masih dibaca dan disebar luaskan. Sehingga, banyak mempengaruhi model pemikiran manusia di dunia. Atas dasar ini, M. Amin Abdullah seorang filsuf Muslim kontemporer tertarik menjadikan Al-Ghazali sebagai kajian disertasinya.

M. Amin Abdullah, dalam bukunya Filsafat Etika Islam menjelaskan dalam mengkonstruksi teori etika, Al-Ghazali berangkat dari kritik terhadap metafisika-dogmatik yang populer di zamannya.

Al-Ghazali berangkat dengan Tahafut ketika mengkritik metafisika dan berakhir dengan Ihya, ketika membangun etika mistiknya. (296). Al-Ghazali menggunakan metode hipotesis, dimana metode hipotesis Al-Ghazali lebih menekankan kekuatan mukjizat (wahyu) daripada rasio sebagai alat penentu untuk menolak kesesatan argumentasi ahli metafisika Muslim.

Tentu saja Al-Ghazali menggunakan “kekuatan rasional” untuk mempertahankan kejelasan argumennya sendiri dan kelemahan serta kerancuan dengan cara “dialektik”, bukan “demonstratif”.

Al-Ghazali mendesak audiensinya untuk mengikuti argumennya, yang mengandung pesan: “jika tidak diikuti, orang akan tersesat”. Al-Ghazali tidak membangun argumennya secara demonstratif, sehingga argumen tersebut dapat membela kejelasannya melalui teksturnya yang diteliti tanpa berpretensi bahwa Al-Ghazali harus mendesak audiensi untuk setuju dengan ide fundamentalnya (297).

Yang Luput dari Pemikiran Al-Ghazali

Apa yang luput dari latar intelektual dalam tipe pemikiran dialektik Al-Ghazali adalah –meminjam terma Kant- “fungsi konstitutif akal budi”.

Al-Ghazali boleh jadi sukses secara emosional dalam menolak doktrin metafisika rasional dengan menggunakan tipe berpikir “dialektik” dengan metode hipotesis. Akan tetapi Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang begitu jelas tentang fungsi akal budi manusia menurut cara yang cermat dan tepat.

“Jika akal budi manusia tidak dapat digunakan untuk menangkap esensi pengetahuan metafisika, dapatkan kita menggunakannya dalam wilayah non-metafisis?” tanya Amin Abdullah.

Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang tegas mengenai masalah yang krusial ini. Satu-satunya konsepsi yang jelas adalah pemisahan yang ketat antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional.

Meskipun demikian, Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang “teliti” terhadap ilmu-ilmu rasional. Kurangnya perhatian Al-Ghazali pada ilmu-ilmu rasional, bahkan pada tahap tertentu dilenyapkan oleh ilmu-ilmu agama (h. 298).

Baca Juga  Berfilsafat adalah Aktivitas Memanusiakan Manusia

Ketegangan Teologis

Contoh yang menonjol dari kerancuan sikap al-Ghazali terhadap ilmu-ilmu rasional adalah konsepsinya mengenai “hukum kausalitas”. Konsepsinya begitu kabur karena Al-Ghazali menderita “ketegangan teologis” yang serius.

Dorongan utama dan perhatian tertingginya semata-mata untuk mempertahankan kedaulatan Tuhan atas seluruh fenomena alamiah dan fenomena moral dan menggarisbawahi kehendak mutlak Tuhan.

Alih-alih mengajukan kemungkinan mengkonstruksi hukum kausalitas dalam alam dan moralitas melalui kesadaran manusia, Al-Ghazali menekankan pandangan-dunia atomistik atau okasionalistik, yang dengan itu Al-Ghazali percaya bahwa dia dapat mengamankan kehendak Tuhan secara teologis.

Memang pemikiran atomistic Al-Ghazali boleh jadi benar. Akan tetapi, Al-Ghazali secara tidak terelakkan jatuh ke dalam skeptisisme total. Implikasinya jelas, dari menganut pandangan dunia atomistik adalah bahwa al-Ghazali tidak dapat menyusun bangunan pengetahuan yang teliti dan berlandaskan pada ide hukum kausalitas.

Ketegangan teologis dan psikologis Al-Ghazali berpusat pada gagasan yang tertanam bahwa mengakui “regularitas” ini berarti, dalam pengertian tertentu, mensyaratkan “keabadian alamiah” dari mekanisme alam.

Dan, ide ini bertentangan dengan kehendak Tuhan yang dapat menghapuskan regularitas-regularitas ini kapan saja Dia menghendaki.

Dalam rangka mengamankan pemahaman teologis tentang kehendak mutlak Tuhan, al-Ghazali mengorbankan pemahaman fundamental penentu, bahwa manusia harus “aktif” mencari hukum-hukum kausalitas tersebut.

Inti etika mistis Al-Ghazali tidak lain daripada mengingkari hukum kausalitas yang dapat dikenali dan dimengerti dalam wilayah moralitas.

Penekanan Al-Ghazali difokuskan pada karunia Tuhan yang diyakininya tidak bersandar pada hukum tertentu dan tidak bergantung pada peran aktif manusia dalam meraih keutamaan-keutamaan tertinggi.

Karena tak ada dorongan kuat seperti itu untuk mencari hukum kausalitas yang tertanam dalam uniformitas dan regularitas yang jelas dalam alam dan moralitas, tipe pemikiran Al-Ghazali yang hipotesis yang menekankan gagasan bahwa Tuhanlah satu-satunya yang memutuskan kebaikan atas perbuatan-perbuatan kita membuat orang-orang beriman tidak memiliki model berpikir “teliti” dan “aktif” dalam menangkap karunia-karunia Tuhan dan memahami karya Tuhan melalui kausalitas.

Peran Subyek Aktif

Ide Al-Ghazali tidak menggerakkan baik sisi subyektif maupun obyektif. Ide tersebut merupakan pendirian teologis, yang sepenuhnya dipengaruhi oleh pandangan atomistic Asyariyah.

Al-Ghazali berpikir bahwa otoritas mutlak Tuhanlah yang menetapkan hubungan antara sebab dan akibat. Secara teologis, ide Al-Ghazali boleh jadi benar, tetapi inti pemikirannya tidak mendorong kesadaran untuk berkerja keras.

Baca Juga  Amin Abdullah: Ethical Reason Lebih Penting daripada Theoritical Reason

Penerapan ide Al-Ghazali dalam wilayah moralitas jauh lebih menonjol. Bagi Al-Ghazali tindakan manusia di dunia ini tidak mengarahkan orang untuk memiliki pahala di akhirat.

Pahala ini sepenuhnya bergantung semata-mata kepada Tuhan. Dengan demikian, partisipasi sesungguhnya dan kontribusi nyata dari subyek aktif manusia hilang dari scenario al-Ghazali.

Doktrin al-Ghazali tentang “pembimbing moral” mempertinggi ketiadaan subyek aktif untuk membuat keputusan dan berpikir mandiri, karena manusia harus berperilaku taat kepada pembimbing moral dan rohaniahnya bagaikan “mayat” di tangan orang yang memandikannya (h. 302).

Dalam konsepsi seperti itu, tidak ada tindakan yang bertujuan. Bahkan, bagi al-Ghazali perintah-perintah Tuhan tidak memiliki tujuan apapun. Dalam pengertian bahwa, perintah tersebut semata ditaati karena ia adalah perintah Tuhan.

Doktrin ini juga menghapus kontribusi nyata subyek aktif manusia untuk memahami dan memperoleh keutamaan-keutamaan ketuhanan (ilahiyah) tersebut (h. 302).

Aspek Perubahan Sosial

Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang jelas terhadap perubahan sosial. Etika mistik Al-Ghazali hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib individu di akhirat, dan perhatian tertingginya adalah melihat Tuhan di akhirat.

Dia tidak memiliki konsepsi tentang kehidupan sosial secara umum.

Di samping itu, perhatian tertingginya semata-mata melalui penyucian hati dan hidup menyendiri di dunia sekarang. Tipe hidup menyendiri ini boleh jadi benar di masa Al-Ghazali, tetapi ketika transformasi budaya yang luar bisa di abad modern sudah tidak lagi memadai.

Membersihkan hati tidak cukup, ada tugas rasio secara umum untuk mengatur sesuatu. Dengannya siap kritis dapat menjadi alat untuk menghadapi gelombang perubahan sosial. (h. 306)

Sangat terkenal bahwa mayoritas teolog dan tokoh mistik kurang memiliki perspektif tentang ilmu-ilmu sosial dan gagasan perubahan sosial.

Berdasarkan sudut pandang teologis al-Ghazali, ide tentang akhlak atau etika hanya terkungkung dalam ruang lingkup terbatas pada ide “normatif”.

Akhlak tidak lebih dari wacana baik dan buruk yang semata-mata berdasarkan perspektif teologis.

Kerancuan Al-Ghazali akan menjadi jelas jika berhadapan dengan persoalan membuat keputusan, membentuk perilaku, dan menggugah motivasi bertindak ataupun menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu.

Baca Juga  Empat Trik Mudah Belajar Filsafat

Aktivitas-aktivitas ini lebih membutuhkan dan melibatkan proses intelektual yang panjang dan kritis, daripada sebagai penilaian clear-cut tentang baik dan buruk, untuk tidak mengatakan halal dan haram dalam arti teologis, ataupun orientasi fikih semata. (303).

***

Al-Ghazali dan sejumlah rekan teolognya, menghadapi aneka kesulitan untuk mengembangkan teori awalnya tentang etika, yang hanya terkungkung dalam pembatasan orientasi teologis-normatif secara ketat.

Sampai derajat tertentu, metode al-Ghazalian sangat sulit dipakai untuk menjelaskan dan memahami fenomena dan realitas perubahan sosial yang jelas-jelas mempengaruhi keseluruhan hidup manusia, terutama dalam kehidupan keagamaan dan etika.

Terlepas dari keadaan yang ditimbulkan oleh konsepsi fundamentalnya tentang etika, konsekuensi ini semata-mata akibat wajar dari strategi awalnya dalam menentang seluruh gagasan para filsuf guna mengamankan doktrin agama. Menurut Al-Ghazali, dengan menentang pandangan yang tidak ortodok, dia merasa mengamankan kehidupan manusia.

Menurut Amin Abdullah, strategi ini tidak mendidik orang untuk memiliki pemikiran matang dalam memilih tindakan mereka, untuk merumuskan kehidupan keluarga, dan untuk kehidupan sosial pada umumnya.

Oleh karenanya, ketiadaan ide konstruktif tentang ilmu-ilmu sosial dan gagasan perubahan sosial, gagasan al-Ghazali sedikit banyak menggiring pada sikap ekslufif dalam menghadapi realitas perubahan sosial dalam masyarakat yang pluralistic (h. 304-5).

Etika Religius Filosofis

Cara berpikir teologi yang dicontohkan dalam cara berpikir Al-Ghazali, tidak memadai untuk menangani situasi yang terus berkembang.

Kepribadian yang terbelah barangkali akan diderita oleh sejumlah orang beragama, jika mereka tidak mampu menghadapi transformasi budaya dan perubahan sosial dengan cerdas dan intelek.

Al-Ghazali tidak dapat mengapresiasi etika filosofis, karena perhatian tertingginya senata-mata fokus mempertahankan pandangan hidup partikularnya. (308).

Dengan kata lain, bahwa etika hanya dapat dilandaskan kepada wahyu, seperti ditekankan Al-Ghazali adalah konsep yang tidak memadai. Ini tidaklah berarti bahwa norma-norma wahyu itu tidak memadai, melainkan konsepsi itu sendiri yang tidak memadai.

Meskipun boleh jadi tepat secara emosional dan psikologis, tatapi tidak secara intelektual. Sebaliknya, etika harus berlandaskan rasion saja, tampaknya merupakan penyederhanaan yang berlebihan.

Hanya kerjasama antara etika wahyu dan etika rasional yang akan menyelamatkan manusia dari keterpecahan kepribadian.

Editor: Yahya FR

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds