Inspiring

Al-Muhasibi: Cara Menghindari Riya’ dan ‘Ujub

3 Mins read

Di kalangan umat Islam, al-Muhasibi tidak cukup terkenal. Popularitasnya kalah dengan juniornya seperti yang kita kenal yakni al-Ghazali, Junaid al-Bagdadi, Abi al-Hasan al Syadzili, dan Abdul Qadir al-Jilani.

Berbeda halnya di kalangan para pengkaji tasawuf, al-Muhasibi cukup terkenal. Karya-karya al-Muhasibi banyak yang menjadi rujukan utama bagi para sufi seperti al-Ghazali karena terpengaruh oleh al-Muhasibi. Sedangkan, Junaid al-Baghdadi merupakan murid dari al-Muhasibi.

Al-Muhasibi merupakan salah satu ulama yang meletakkan dasar-dasar tasawuf. Beliau tidak hanya mendidik muridnya, melainkan juga menulis buku. Di antara karya-karyanya yang cukup terkenal yakni al-Ri’ayah li Huquq Allah dan Al-Washaya. Namun, kitab al-Ri’ayah li Huquq Allah banyak dirujuk para sufi pasca al-Muhasibi. Karena itu kitab tersebut cukup penting untuk dibahas.

Perjalanan Intelektual Al-Muhasibi

Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Harits ibn Asad al-Muhâsibi al-Bashri. Beliau dilahirkan di Bashrah, Iraq tahun 165-243 H /781- 837 M. Al-Muhasibi hidup pada zaman keemasan Islam di mana ilmu pengetahuan masa itu berada dipuncak kejayaan.

Pada era tersebut, disiplin ilmu seperti teologi, fikih, ushul fikih, dan tasawuf bertumbuh pesat. Sebab pada masa itu, para khalifah turut andil dalam mendorong pengembangan ilmu pengetahuan.

Dalam meletakkan fondasi tasawuf Islam, ia memiliki andil besar. Beda dengan al-Saqathi yang tidak membuat karya akademik, al-Muhasibi menulis banyak buku. Secara umum, bukunya di dalamnya berisi renungan dan refleksi diri yang didasarkan pada Al-Qur’an dan hadis.

Ia tidak mau mengikuti pemikiran ayahnya yang cenderung mengikuti pemikiran Mu’tazilah. Jika sang ayah cenderung pada rasionalisme murni, maka ia mendambakan kebersihan hati melalui perpaduan antara rasionalisme dan spiritualisme. Kecenderungannya pada spiritualisme terus bergelora. Pada umur 20 tahun, al-Muhasibi pindah ke Baghdad yang di mana di sana menjadi pusat ilmu yang bertumpu pada argumen- argumen rasional dan juga bertitik tekan pada pembersihan hati.  

Baca Juga  Jahm bin Shafwan: Teolog Jabariyah yang Fenomenal

Dalam bertasawuf, ia berbeda dengan al-Saqati. Al-Saqati dan para ahli tasawuf lainnya meyakini bahwa tujuan tasawuf sendiri adalah bersatu dengan Allah. Berbeda halnya dengan al-Muhasibi yang menganggap bahwa tasawuf yakni ilmu yang lebih banyak berhubungan dengan akhlak ketimbang berkaitan dengan tauhid, fana, dan syathahat.

Dengan demikian, al-Muhasibi mengingatkan murid-muridnya agar menjauhi syathahat karena bisa berujung pada kesesatan.

Kitab Al-Ri’ayah li Huquq Allah

Kitab Al-Ri’ayah li Huquq Allah merupakan salah satu karya al-Muhasibi. Kitab ini tergolong kitab yang paling banyak digunakan sebagai rujukan. Menurut Abdul Halim Mahmud, kitab ini dari segi kandungannya laksana Ihya ‘Ulum al-Din bagi al-Ghazali.

Kandungan dan isi dari kitab ini sangat bermanfaat terlebih lagi bagi umat Islam yang tidak bisa mengakses langsung pada sumber-sumber utama yang belum diterjemahkan.

Melalui judul buku al-Ri’ayah li Huquq Allah terlihat perhatiannya pada pentingnya menjalankan syariat Allah.

Namun, dalam kitab ini tidak menjelaskan langsung tentang hak-hak Allah tersebut, tetapi menjelaskan hak-hak Allah dalam bentuk peningkatan taqwa dengan membersihkan hati dari riya’, ujub, dan penyakit hati lainnya.

Selain itu, isi kandungan kitab ini sesungguhnya lebih membahas tentang pentingnya tazkiyah al-nafs. Mungkin menurut al-Muhasibi, sifat buruk seperti iri dengki dan sombong itu bukan hanya dapat mengotori hati, namun juga menjatuhkan manusia dalam posisi terendahnya.

Cara agar menjaga hati seseorang tetap bersih menurut al-Muhasibi yakni dasar ketaatan adalah wara’, dasar wara’ adalah taqwa, dasar taqwa adalah evaluasi diri, dasar evaluasi diri adalah takut dan harapan, dasar takut dan harapan adalah mengetahui janji dan ancaman, mengetahui dasar janji dan ancaman adalah besarnya balasan. Dengan dasar itu, semua adalah perenungan dan kemampuan mengambil pelajaran di dalamnya.

Baca Juga  Mohammad Roem (3): Lahir di Parakan, Tumbuh Besar di Pekalongan
***

Menurut al-Muhasibi, semuanya berawal dari ketaatan. Sedangkan pangkal ketaatan adalah wara’ dan pondasi wara’ adalah taqwa. Bagi al-Muhasibi, taqwa adalah kekhawatiran seseorang jika tidak menjauhi larangan Allah.

Hal tersebut bisa berbentuk dua hak yakni mengabaikan apa yang diwajibkan Allah dan melakukan apa yang dilarang Allah.

Selain itu, menurut al-Muhasibi, jika seseorang takut kepada Allah, maka dengan sendirinya ia akan wara’.

Dengan kata lain ke-taqwaan seseorang menimbulkan sikap wara’ yakni berhati-hati dalam bersikap sehingga tidak terjatuh ke dalam syubhat apalagi haram.

Setelah membahas mengenai taqwa, al-Muhasibi membahas pentingnya menjaga hati agar tidak dimasuki oleh unsu-unsur duniawi yang dapat menyebabkan seseorang jauh dari Allah.

Oleh karena itu,pentingnya menjaga hati sehingga ia merasa perlu membahas mengenai bahaya riya’.

Riya’ Menurut Al-Muhasibi

Menurut al-Muhasibi riya’ adalah hasrat duniawi yang muncul ketika mengerjakan ibadah ukhrawi.

Misalnya, ketika kita memamerkan aktivitas ibadah yang mengandung hasrat subtil agar mendapatkan kedudukan tinggi di depan manusia, bukan di hadapan Allah Swt.

Riya’ yang ada dalam hati bisa dihancurkan dengan memupuk rasa ikhlas secara terus menerus. Dan ikhlas ini adalah salah satu kedudukan spiritual yang hanya bisa dicapai oleh orang yang tekun ibadahnya kepada Allah.

Orang riya’ biasanya mengidap penyakit iri-dengki. Ia tidak suka melihat orang lain bahagia dan berusaha ingin mengungguli orang lain.

Pada akhirnya, jika diperhatikan, maka seluruh bahasan mengenai riya’, ‘ujub, dan iri dengki ini dikerahkannya dalam rangka membentuk umat Islam yang benar-benar taqwa kepada Allah sehingga dapat memelihara hak-hak Allah (al-ri’ayah li huquq Allah) seperti tercermin dalam kitab karyanya. 

Refrensi:

Al-Khathib al-Baghdadi. Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salâm. Jiilid VIII.

Al-Muhasibi. al-Ri`ayah li Huquq Allah.

Al-Nawawi, Mahmud. dalam pengantar al-Kalabadzi. al-Ta’arruf li Madzhab Ahli al-Tashawuf. Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1969.

Moqsit, Abdul. Kajian Tasawuf Al-Harits Ibn Asad Al-Muhasibi Studi Kitab Al-Ri’yah Li Huquq Allah. ISTIQRO’. Volume 15, Nomor 01, 2017.

Editor: Yahya FR

Hanna Nur Khasanah
2 posts

About author
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds