Inspiring

Abu Hasan Al-Asy’ari, Penganut Mu’tazilah sebelum Mendirikan Asy’ariyah

4 Mins read

Al-Asy’ariyah merupakan sebutan dari sebuah kelompok yang dinisbahkan kepada pendirinya yaitu Abu al-Hasan Ali ibn Ismail ibn Abi Basyar Al-Asy’ari. Seorang tokoh yang dulunya adalah penganut Mu’tazilah. Nasab (genealogi) dari beliau bersambung pada salah satu sahabat Rasulullah yaitu Abu Musa Al-Asy’ari.

Kehidupan Abu al-Hasan al-Asy‘ari

Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah pada sekitar tahun 260 H/873 M. Beliau merupakan orang yang pandai dalam berbagai keilmuan, bahkan mendiang ayahnya pun merupakan ahli hadis. Selain itu, beliau juga menimba ilmu kepada Zakariya ibn Yahya As-Saji, seorang ulama hadis dan fikih, serta Abu al-Abbas Ahmad ibn Umar ibn Suraij.

Abu al-Abbas, seorang ulama ahli dalam bidang fikih serta ilmu kalam ini merupakan orang yang punya pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari, karena beliau lah yang telah membawa Abu al-Hasan al-Asy’ari ke Baghdad sehingga ia dapat menjadi tokoh berpengaruh dalam mazhab Islam.

Saat itu, Baghad menjadi pusat pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah. Disana al-Asy’ari belajar ilmu serta aliran pemikiran Islam pada ulama Baghdad. Pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari semakin berkembang, tatkala Ibunya dinikahi oleh salah seorang Ulama besar Mu’tazilah yaitu Abu Ali Al-Jubba’i (303 H).

Al-Jubba’i adalah seorang yang handal dalam pembahasan Kalam, serta banyak menghasilkan karya. Bahkan dalam forum perdebatan Al-Jubba’i selalu unggul, dan tidak ada yang bisa mengalahkannya. Abu al-Hasan al-Asy’ari tumbuh besar dalam didikan Al-Jubba’i, bahkan beliau mendapatkan kepercayaan untuk mewakili Al-Jubba’i tatkala beliau berhalangan hadir dalam undangan forum diskusi.

Dalam pengasuhan Al-Jubba’i, beliau Abu al-Hasan al-Asy’ari banyak memperluas dakwah Mazhab Mu’tazilah. Kendati demikian beliau tidak fanatik buta terhadap mazhab tersebut, namun juga mengkritisi beberapa hal yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Abu Hasan al-Asy’ari dikenal sebagai pribadi yang kritis, dan beliau juga banyak terlibat diskusi dengan Al-Jubba’i.

Baca Juga  Pak Habibie, Ilmuwan Mulia di antara Politik dan Sains

Keresahan al-Asy’ari terhadap Mu’tazilah

Namun ada suatu titik dimana beliau kebingungan dalam menentukan sikap terhadap mazhab yang selama ini telah dianutnya. Al-Asy’ari kebingungan terhadap beberapa hal yang selama ini diyakini, hingga akhirnya beliau menceritakan apa yang ia alami kemudian berdiskusi lebih lanjut bersama Al-Jubba’i.

Sesuatu yang menjadi pertanyaan bagi al-Asy’ari adalah tentang nasib orang yang telah meninggal. Pertama, seorang yang telah lanjut usia dan ia meninggal sebagai orang yang beriman dan bertakwa. Kedua, seseorang yang meninggal dalam keadaan kafir. Ketiga, seseorang yang meninggal dalam keadaan masih belia dan belum sampai aqil baligh.

Maka mendengar pertanyaan tersebut, Al-Jubba’i menjawab bahwa yang pertama ia meninggal sebagai orang yang beriman dan bertakwa, dan mereka yang demikian itu sesuai dengan janji Allah bahwa mereka akan mendapatkan surga berdasarkan dalil mu’tazilah.

Orang yang kedua itu tatkala meninggal dalam status kafir, maka ia akan berada di dalam neraka sesuai dengan janji Allah tentang ancaman terhadap orang yang kafir. Adapun orang yang ketiga, maka ia tidak mendapatkan pahala maupun siksa karena belum terbebani oleh syariat (mukallaf).

Mendengar jawaban gurunya, al-Asy’ari menanggapi dengan pertanyaan, bagaimana jika anak kecil itu memohon agar derajatnya agar bisa seperti orang yang pertama agar bisa masuk surga, karena andai Allah memanjangkan usianya, boleh jadi ia akan lebih taat kepada Allah sehingga masuk surga.

Bukankah ini sesuai dengan sifat Allah yang Mengetahui mana hal yang baik maupun yang lebih baik. Al-Jubba’i menjawab Allah tau bahwa ketika dewasa kelak ia akan berbuat maksiat, maka Allah sengaja mematikannya di usia yang belia agar menyelamatkannya dari siksa neraka.

Baca Juga  Empat Pokok Pemikiran Feminis Jamal al-Banna

Lalu al-Asy’ari menanggapi lagi bagaimana jika orang yang mati dalam keadaan kafir tadi bertanya kepada Allah, mengapa tidak mematikannya dalam ketika masih belia, agar ketika dewasa ia tidak melakukan kemaksiatan. Mendengar tanggapan dari al-Asy’ari maka beliau terdiam.

Diskusi Abu Hasan al-Asy’ari dengan Al-Jubba’i

Dalam kesempatan lain juga Abu Hasan al-Asy’ari dan Al-Jubba’i berdiskusi tentang bagaimana hukumnya mensifati Allah sebagai al-Aqil (Yang Berakal). Al-Jubba’i menjelaskan bahwa tidak boleh mensifati Allah dengan al-Aqil (Yang Berakal) karena secara bahasa makna Al-Aqil artinya ‘Iqal (belenggu) makna ini menunjukan akal sebagai sesuatu yang menghalangi dan mustahil Allah terhalang oleh sesuatu.

Menyanggah pendapat gurunya tersebut, Abu Hasan al-Asy’ari mengqiyaskan pendapat al-Jubba’i bahwa secara tidak langsung beliau juga melarang Allah untuk disifati sebagai al-Hakim, karena Hakim secara bahasa diambil dari makna Hakamah al-Lijami yang berarti besi yang membelenggu kaki hewan, artinya dengan kata Hakim pun memiliki arti yang bermakna mencegah atau menghalangi sesuatu.

Maka Allah juga tidak boleh disifati sebagai Al-Hakim jika itu bagian dari tasybih (antropomorfisme). Kemudian, Abu Hasan al-Asy’ari menegaskan bahwa caranya memaknai asma Allah adalah dengan pemahaman syariat, bukan berdasarkan qiyas bahasa (leksikal).

Baginya, asma Allah itu berkenaan dengan apa yang tertera dalam nash. Pengetahuan tentang sifat Allah itu berdasarkan apa yang Allah sifati sendiri. Al-Hakim merupakan sifat yang Allah nisbahkan kepada dirinya sendiri, maka tidak bisa dipahami hanya sekedar qiyas bahasa.

Menurut Abu Hasan al-Asy’ari Allah tidak menyerupai makhluk, justru makhluk yang mengambil sifat dari Allah. Manusia mungkin memiliki sifat Rahman (Baik), namun Allah memiliki sifat Ar-Rahman (Maha Baik) sehingga ada porsi tersendiri dalam sifat-sifat tersebut.

Baca Juga  Haedar Nashir-Abdul Mu'ti: Wajah Dwitunggal, Bukan Matahari Kembar

Mimpi al-Asy’ari bertemu Rasulullah Saw         

Dalam kurun 40 tahun al-Asy’ari menjadi seorang mu’tazili, namun karena kejanggalannya dengan pemahaman Mu’tazilah tersebut, ia meninggalkannya serta berbalik melawan mazhab Mu’tazilah dengan argumen yang ia miliki.

Hal ini juga diperkuat saat beliau mimpi bertemu Rasulullah Saw. Lalu beliau mengumumkan kepada khalayak umum:

“Siapa yang mengetahui saya, mengetahui siapa saya dan siapa yang tidak mengetahui saya, maka saya adalah Abu Hasan al-Asy’ari yang dahulu mempertahankan bahwa Al-Qur’an itu diciptakan (makhluk), mata manusia tidak akan bisa melihat Tuhan, dan menyatakan bahwa makhluk menciptakan aktivitas gerak mereka sendiri (free will). Maka saya menyesal karena saya telah menjadi mu’tazili. Saya meninggalkan paham ini dan saya berjanji untuk menolak paham ini dan membongkar semua perkembangan dan kejahatan mereka”.

Editor: Daib

Avatar
13 posts

About author
Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Agama Islam di Fakultas Agama Islam UM Palangka Raya. Ketua Bidang Organisasi PC IMM Palangka Raya 2019-2020
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *