Qasim Amin merupakan tokoh reformis yang berpengaruh atas upaya pembebasan wanita di Mesir, yang mana saat itu wanita dijadikan budak serta pemuas hawa nafsu lelaki. Tak hanya itu, wanita juga memiliki keterbatasan dalam melakukan sesuatu karna wanita hanya diperbolehkan didalam rumah. Kelompok ulama tradisional memahami tradisi ini sebagai bagian dari hijab wanita Mesir saat itu. Kedatangan Qasim Amin di sini merubah tradisi Mesir serta memerdekakan kaum wanita dari keterbatasan dan memperkenalkan pemikiran Islam modern kepada orang-orang Mesir.
Qasim Amin
Qasim Amin adalah tokoh populer Mesir yang membawa pembaharuan besar. Ia dilahirkan pada 1 Desember 1861 M/1277 H , di negeri Thurah yakni wilayah pinggiran kota Kairo. Dirinya merupakan putra dari Muhammad Bek Amin keturunan Turki Utsmani, seorang tentara Iraq yang dipindahkan ke Mesir. Sedangkan ibunya merupakan wanita Mesir, Al-Sa’id putri dari Ahmad Bik Khattab.
Qasim Amin menempuh pendidikan istimewa, yakni Madrasah Ra’s al-Tin di wilayah Iskandariah, kemudian Madrasah Ajhiziyyun yang ada di Kairo, dan Sekolah Tinggi Hukum (madrasah al-huquq). Ia berhasil memperoleh ijazah license pada tahun 1298 H/1881 M. Kemudian beliau memperdalam ilmu bidang hukum di Universitas Montpellier, Prancis. Setelahnya, Qasim Amin menjadi hakim dan pengacara terkenal di Mesir dari gelar sarjana hukum di universitas tersebut.
Pembahasan yang melekat pada Qasim Amin adalah “Tahrir al-Mar’ah” atau dikenal dengan “emansipasi wanita”. Tahrir al-Mar’ah ini merupakan buku yang dikeluarkan oleh Qasim Amin.
Awalnya, Qasim Amin mendapat banyak tentangan karna pemikirannya yang berlawanan dengan kondisi Mesir saat itu. Meskipun mendpatakan banyak tentangan dan kritik, buku ini memiliki pengaruh besar dalam rangka kemajuan bangsa Mesir khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Buku ini menampilkan ide atau pemikiran pokok dari Qasim Amin tentang kebebasan dan pengembangan daya-daya wanita untuk mencapai kemajuan.
Ide-ide dari Qasim Amin ini mendapat kritik dan protes dari berbagai pihak. Untuk menggapai kritik dan protes tersebut, dan sekaligus sebagai penegas dan penguat atas ide-idenya yang terdapat dalam bukunya yang pertama, dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Al-Mar’ah Al-Jadidah.
Pemikiran Qasim Amin
Gagasan emansipasi wanita terlahir dari rasa peduli Qasim Amin terhadap wanita Mesir yang saat itu kondisinya sangat memperihatinkan. Wanita hanya diperlakukan sebagai budak pemuas hawa nafsu lelaki. Tak hanya itu, keterbatasan wanita dalam bertindak juga merupakan hambatan perkembangan wanita. Wanita terbelenggu oleh tradisi Mesir pada masa itu,
Pengaruh dan nuansa pemikiran Muhammad Abduh juga tidak dapat dipisahkan dari gagasan pembaharuannya, terutama gagasannya tentang pendidikan dan pemberdayaan kaum wanita. Hal ini tak lain untuk menepis pendapat bahwa wanita harus menyembunyikan keinginan dan bagian eksternal tubuhnya, demikian pula menjaga jalannya, tingkah laku atau nafasnya, dan menghindari dirinya untuk melihat dan berbicara tanpa ada kepentingan tertentu. Lelaki menganggap dirinya pemilik mutlak istrinya. Ia menghilangkan kualitas kemanusiaan istrinya, dan membatasi pada satu fungsi yaitu memuaskan dengan tubuhnya.
Dalam beberapa hal Qasim Amin banyak menjadikan wanita sebagai model, namun ia tetap memberlakukan prinsip multiple critics terhadapnya. Di berbagai tempat ia begitu kritis terhadap Barat sedangkan di tempat lain ia juga mengkritisi kondisi bangsanya sendiri. Dari sinilah terlihat kekhasan Qasim Amin sebagai pembaharu Islam, di mana gagasan pembaharuannya tetap menonjolkan gagasan Islam substantif sebagai satu determinan dalam melihat realitas sosial umat dan meminjam budaya dan pola pikir Barat yang diperlukan untuk mendukung dan menjelaskan gagasannya.
Wanita Modern (al-Mar’at al-Jadidah)
Buku Tahrir al-Mar’ah menampilkan ide-ide Qasim Amin tentang kebebasan dan pengembangan daya-daya wanita untuk mencapai kemajuan. Buku ini untuk menanggapi kritik dan protes terhadap buku pertamanya, dan sekaligus mejadi penegas dan penguat atas ide-idenya. Di dalam buku keduanya inilah ia mengemukakan contoh-contoh konkret perbandingan antara wanita Mesir, wanita Eropa, dan juga wanita Amerika (Amin, 1991).
Dalam hal ini, Qasim Amin lebih meletakkan gagasan pembaharuannya tersebut, di atas teori ilmu pengetahuan modern dan filsafat Barat modern. Qasim Amin bahkan bertutur bahwa kemajuan bukanlah berdiri di atas landasan ibadah dan aqidah saja, akan tetapi atas penemuan-penemuan ilmiah yang telah berhasil oleh umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Qasim Amin dalam membahas tentang wanita masa kini tidak lagi menggunakan dalil-dalil hukum Islam dalam menjawab kritikan yang dilemparkan kepadanya. Akan tetapi ia menggunakan argumen-argumen yang rasional serta mengajak pengkritik untuk memperhatikan kemanjuan yang telah mampu dicapai oleh bangsa Barat.
Dalam hal ini, Qasim Amin juga mengeluarkan karyanya yang lain untuk memperkuat gagasannya antara lain Mishr wa al-Misriyyun, Asbab wa al-Nataji wa Akhlaq al-Awaiz, Tarbiyah al-Mar’ah wa al-Hijab dan al-Mar’ah al-Muslimah. Di sini terlihat jelas bahwa betapa Qasim Amin termotivasi dan terinspirasi, kemudian ia mencoba mengembangkan buah pikiran Muhammad Abduh gurunya, tentang kemakmuran masyarakat dan kepentingan bersama.
Qasim Amin pun berpendapat bahwa wanita memiliki kebebasan dalam segala hal. Wanita mampu menyaingi lelaki dalam segala hal. Dalam dunia pekerjaan wanita mampu menjadi bos atau atasan. Tak hanya itu, wanita mampu bekerja di segala bidang. Baik itu polisi wanita (polwan), jaksa, tentara wanita, guru, gubernur, dan segala profesi yang dapat dilakukan laki-laki. Dalam rumah tangga, wanita mampu mengurus rumah dan juga bekerja, mampu menuntut hak bila suami tidak menjalani kewajibannya dan menggugat cerai ke pengadilan.
Editor: Nabhan