Masyumi dan Perjalanannya
Bagi khalayak, terlebih umat Muslim di Indonesia, pastinya sangat tidak asing bila mendengar Masyumi. Sebuah Partai Islam terbesar di zaman Orde Lama yang menjadi kendaraan politik umat tatkala itu dengan menghimpun banyak ormas Islam sebagaimana Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, dan masih banyak lagi di bawah satu payung ukhuwah.
Banyak pula tokoh Masyumi nan kondang seperti Mohammad Natsir, Wahid Hasyim, Syafruddin Prawiranegara, HAMKA, TGH Zainuddin Abdul Madjid, dan lain-lain yang berkiprah membela tanah air dengan kepahlawanan mereka.
Dukungan terhadap Masyumi merata, tidak hanya di Pulau Jawa sahaja. Menandakan keberadaannya saat itu merepresentasikan kemaslahatan umat secara luas, tanpa tersekat pada daerah tertentu saja.
Pada pencapaiannya, partai tersebut telah berhasil menduduki posisi kedua terbanyak pada Pemilu pertama di tahun 1955 dengan perolehan suara sekitar 20,9% (Permadi, 2014).
Pengategorian Masyumi Sebagai Partai Modernis
Namun sangat disayangkan, pada realitanya, banyak peneliti yang menganggap seolah eksistensi Masyumi hanya melulu mewadahi kaum Muslim modernis saja.
Terlebih setelah keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai corong ormas ‘tradisionalis’ tergadang dari partai tersebut pada tahun 1952 lantaran konflik internal di sana.
Pengategorian Masyumi sebagai partai ‘modernis’ sesungguhnya tidak tepat karena hengkangnya NU tidak serta merta menggeser kalangan tradisionalis dalam tubuh Masyumi secara menyeluruh.
Buktinya, masih ada pihak tradisionalis (kaum tua) yang senantiasa mendukung Masyumi bahkan hingga pembubarannya sebagaimana Nahdlatul Wathan (NW), Al-Washiliyah, MA, dan lainnya (Syarif, 2021).
Lantaran secara struktural, Masyumi diisi oleh tokoh-tokoh dari ormas modernis—wal bil khusus di sini Muhammadiyah dan Persis—hal tersebut tidak bisa menegaskan secara generalisir kalau partai itu didominasi penuh oleh kalangan ‘kaum muda’.
Peranan kultural dari tokoh ormas Islam tradisionalis pun memiliki sumbangsih besar dalam menyukseskan kemenangan Masyumi di pemilu. Keberadaan ‘kaum tua’ di tubuh Masyumi tidak bisa dipandang sebelah mata.
Nahdlatul Wathan Sebagai Bukti Masyumi Tidak Melulu Soal Modernis
Menariknya apabila kita mengambil kasus Nahdlatul Wathan dalam konteks ini. Membahas NW tentunya tidak lepas dari rentetan tarikh sang pendiri yakni Maulana Syaikh TGH Zainuddin Abdul Madjid. Beliau adalah pahlawan nasional pendiri NW sekaligus ulama tradisional mazhab Syafi’i yang masyhur di Lombok.
Perlu diketahui, awalnya beliau merupakan bagian dari pengurus NU untuk Sunda Kecil, sampai suatu ketika organisasi yang dinaunginya memilih untuk menjadi partai politik pada muktamar ke-19 di Palembang tahun 1952.
Menurut Jupriyadi (2021) Maulana Syaikh termasuk menjadi pihak yang menolak NU dijadikan partai politik sehingga tak menutup kemungkinan itu menjadi latar belakang hengkangnya beliau dari sana.
Setelah keluar, TGH Zainuddin Abdul Madjid mendirikan Nahdlatul Wathan pada tahun 1953. Yang keberadaannya tentu sangat membawa maslahat bagi pesatnya pendidikan di Lombok dan Sunda Kecil.
Dukungan NW terhadap Masyumi
Kemudian, Nahdlatul Wathan sebagai ormas Islam terbesar di Lombok secara tegas menaruh dukungan penuh pada Masyumi sehingga TGH Zainuddin Abdul Madjid terpilih sebagai anggota konstituante tatkala itu.
Dalam hal ini Tohri (2018) berpendapat alasan bergabungnya Nahdlatul Wathan pada Masyumi adalah lantaran NW meyakini bahwa Masyumi merupakan konsensus ulama yang elok untuk diikuti.
Masih pada periode demokrasi liberal, beriringan seluruh partai politik yang masih dapat menentukan ideologi negara secara bebas. TGH Zainuddin Abdul Madjid bersama deretan tokoh tradisionalis dalam tubuh Masyumi selaras mendukung gagasan Mohammad Natsir dalam menjadikan Islam sebagai dasar negara, sekalipun usulan terkait adicita itu kalah suara dalam sidang Konstituante (Amry & Ansori, 2019).
Hikmah yang Dapat Dipetik
Dari pemaparan fenomena di atas tentunya menegaskan kalau Partai Masyumi dalam sejarahnya tidak melulu soal kalangan Islam modernis. Dan sekalipun kasus yang diambil lebih pada peristiwa politik, narasi yang penulis buat bukan bermaksud seolah-olah untuk mengglorifikasi keberadaan Masyumi di masa lama, bukan itu.
Penulis membuat artikel ini untuk mengambil hikmah perjalanan sejarah Masyumi dalam menumbuhkan kembali harapan terwujudnya Ukhuwah Islamiyah tanpa memperpanjang sekat antara mereka yang tradisionalis atau mereka yang modernis.
Polarisasi antara ‘modern’ atau ‘tradisional’ pun sebisa mungkin harus dikaji lebih objektif agar dalam membentuk narasi tidak serta merta memukul rata.
Beriring dari itu, penulis menaruh harapan pula semoga ke depannya para peneliti—khususnya yang menaruh fokus pada politik Islam di Indonesia—menambahkan porsi peranan ‘kaum tua’ dalam tubuh Partai Masyumi dalam karya tulisnya.
Dengan begitu, titik temu antara ‘kaum muda (modernis)’ dan ‘kaum tua (tradisionalis)’ dapat diselaraskan lewat wacana persatuan ukhuwah tanpa memperpanjang perbedaan di antaranya secara berlebihan. Tabik.
Editor: Yahya FR