Perspektif

Kebudayaan adalah Bahasa Manusia

4 Mins read

Dua berita menyengat datang hampir bersamaan. Kabar pertama mewartakan keharaman wayang. Pendakwah Khalid Basalamah menyampaikan pandangannya tentang wayang saat merespon pertanyaan jamaah.

Menurutnya, jika sudah menjadi seorang Muslim, aneka ragam tradisi yang tidak berasal dari Islam, harus ditinggalkan. Diusik oleh kehebohan itu, saya pun menelisik. Jawaban Khalid sebagaimana ditayangkan dalam berbagai media, memang tidak menyebutkan kata “haram” secara eksplisit.

Namun, itu tak bermakna bahwa ia tidak resisten pada tradisi. Jika mengikuti struktur argumen Khalid, secara umum sulit untuk tidak menyebutnya anti-tradisi, khususnya tradisi non-Arab. Fakta itu demikian nyata. Wajarlah, jika kontroversi merebak.

Belum lagi, kehebohan soal keharaman wayang usai, sebuah berita tajam membelah jagad maya masyarakat Indonesia. Sekelompok orang dikabarkan melakoni sebuah ritual di sebuah pantai di Jember, Jawa Timur.

Ritual itu berujung petaka. Sebelas orang peserta ritual tewas terseret ombak. Ihwal tujuan ritual itu digelar belum begitu jelas. Namun, sementara berita menyebut, anggota rombongan menjalankan ritual untuk menenangkan diri.

Aneka informasi yang beredar juga menyebut bahwa kelompok yang bernaung di bawah Padepokan Jamaah Tunggal Jati Nusantara itu juga membaca aneka mantra. Menariknya, mantra yang dibaca itu gabungan antara bahasa Jawa dan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab yang dikenal suci dalam ajaran Islam.

Hubungan antara Agama dan Budaya

Kedua peristiwa itu berbeda, dan terjadi di lokasi yang berbeda pula. Akan tetapi, keduanya sebenarnya disatukan oleh satu hal, yakni hubungan antara agama, kebudayaan dan tradisi. Pada kasus pertama, wajah agama yang terlampau kaku dalam memandang tradisi mengemuka, sehingga penghadapan Islam dan budaya atau tradisi tak terhindarkan.

Agama dan tradisi seolah-olah merupakan dua hal bertentangan yang satu sama lain harus terpisah. Sementara pada kasus kedua, dengan mudah ditemukan pemahaman yang terlampau longgar tentang hubungan antara Islam dan budaya atau tradisi. Sehingga akulturasi ekstrem agama dan budaya terjadi.

Sejatinya, ini persoalan sepanjang zaman yang akan selalu terulang. Pandangan yang sama-sama ekstrem tentang hubungan agama dan kebudayaan atau tradisi selalu mewarnai kehidupan umat Islam.

Baca Juga  Membumikan Islam Pribumi (1): Wayang Sebagai Media Dakwah

Sebagai agama tengahan, kedua sikap di atas sama-sama tidak diajarkan oleh Islam. Karena itu Islam dan kebudayaan tidak perlu dipertentangkan, sifat kosmopolit Islam menjadikannya memiliki daya serap dan resap tinggi dalam setiap masyarakat.

Sebagai sebuah agama, misi utama Islam adalah memperbaiki masyarakat. Dalam bahasa hadis Nabi, misi perbaikan itu diwujudkan dalam ungkapan liutammima makarimal akhlaq (menjadikan kebajikan publik sebagai arus utama).

Kebajikan publik harus menjadi arus utama karena situasi sosial ketika Nabi Muhammad diutus berada dalam satu situasi yang disebut jahiliyah. Istilah ini bukan berarti kebodohan intelektual. Kita semua tentu mafhum, bangsa Arab pra-Islam adalah afshah atau memiliki tingkat kefasihan sastra yang tinggi.

Jahiliyah merujuk kepada absennya keadaban dalam aneka segi kehidupan masyarakat. Pengarusutamaan akhlaq dan keadaban berjalan beriringan. Maka, memperbaiki manusia tidak mungkin dilakukan jika tidak dengan menggunakan bahasa kemanusiaan. Budaya adalah bahasa kemanusiaan.

Islam: Agama untuk Memperbaiki Manusia

Maknanya, Islam hadir untuk memperbaiki manusia dan manusia pula sebagai agen perbaikan itu. Terlalu naif kala saya tekankan bahwa yang diperbaiki Islam (dan tentu saja semua agama) adalah manusia. Namun penekanan ini penting. Karena yang menjadi subjek agama adalah manusia, maka yang perlu disadari adalah secara intrinsik, dalam dirinya, manusia bersifat dinamis.

Hidup dalam lingkungan tertentu pastilah menanamkan nilai-nilai tertentu. Maka ketika dalam diri seseorang terdapat nilai bawaan yang telah mapan, dan pada masa berikutnya mengalami interaksi dengan nilai baru, maka terjadilah goncangan.

Namun dalam Islam berlaku rambu: ada nilai yang tetap (tsabit) dan ada nilai yang berubah (mutaghayyar). Patokannya jelas, jika seseorang menganut Islam sebagai agamanya, maka Al-Qur’an dan sunah adalah kunci.

Maka, betapapun dalam diri seseorang telah terdapat nilai-nilai lama yang mapan. Konsekwensi menganut Islam adalah keikhlasan menanggalkan semua yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam.

Baca Juga  Lima Sikap Ideal Seorang Muslim Menghadapi Tahun Politik

Islam Bukan Penghancur Tradisi Manusia

Namun perlu diingat! Islam bukanlah penghancur masyarakat dan tradisinya, sepanjang tradisi itu sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Sejalan dengan prinsip Islam maknanya sejalan dengan nilai dan panggilan dasar kemanusiaan.

Fakta bahwa Islam turun di Arab dengan sendirinya menjadikan budaya dan tradisi Arab sebagai contoh. Namun, itu tak bermakna bahwa pengikutan terhadap budaya Arab bersifat mutlak. Umar bin Khattab, sebagaimana dikutip Abu Hapsin, menyebut Arab sebagai bahan baku Islam. Ini menyiratkan makna bahwa tradisi Arab pra-Islam sesungguhnya juga banyak diadopsi dan dipadukan sebagai bagian dari Islam.

Tak terbatas pada persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, hukum dan

Budaya; namun juga pada persoalan ritual. Tak sedikit contoh-contoh ritual dalam Islam yang merupakan adaptasi dari tradisi masyarakat terdahulu. Sebagai contoh adalah ibadah haji, umrah, pengagungan terhadap Ka’bah, kesucian bulan-bulan haram dan pertemuan umum pada hari Jum’at.

Demikian juga saat Islam berkembang ke wilayah yang lebih luas. Kelenturan Islam tergambar dalam bagaimana kebudayaan masyarakat di mana Islam datang dan berkembang, tetap dikembangkan sepanjang tak bertentangan dengan ajaran Islam.

Meskipun telah berkembang sejak zaman pra-Islam, syair tetap dikembangkan oleh Islam. Memang, dalam hadis terdapat satu riwayat yang menceritakan sikap kritis Nabi Muhammad pada sya’ir, akan tetapi itu tidak bisa dimaknai sebagai sikap anti-kebudayaan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad; akan tetapi lebih kepada respon kasuistik tentang bagaimana penyimpangan terhadap tradisi terjadi. Karena pada saat itu, Rasulullah menyaksikan adu syair di kalangan masyarakat di sebuah tempat mengarah kepada saling cela dan menghina.

***

Maka poin inilah yang penting ditekankan. Tradisi atau kebudayaan adalah wadah. Jika dalam wadah itu terdapat bahan-bahan yang tak sejalan dengan ajaran Islam, maka bahan-bahan itulah yang harus diperbaiki; bukan dengan serta merta menghancurkan wadahnya. Maka saya agak sulit menerima pandangan Khalid bahwa Islamisasi tradisi itu sesuatu yang sulit dilakukan. “Mengislamkan budaya ini repot, karena budaya banyak sekali.”

Baca Juga  Kredit Macet pada LKMS (1): Zakat untuk Nasabah

Ibarat seorang penjahit, budaya yang banyak itu adalah aneka ragam kain yang akan dijadikan baju. Sementara Islam adalah sebagai pola dasar dari baju yang akan dijahit. Maka tidaklah menjadi persoalan, apapun warna, corak, maupun motif kain itu sepanjang semuanya mengikuti pola dasar itu.

Pola dasar itu adalah nilai Islam, sementara aneka warna, corak, dan motif adalah ibarat ragam metode yang digunakan oleh umat Islam untuk mewujudkan nilai Islam. Tentu saja, menegakkan nilai Islam tak mungkin dilakukan dengan melanggar nilai Islam sendiri.

Islam itu Banyak Dimensinya

Khalid Basalamah juga berbicara tentang standar. “Allah menghendaki adanya standar,” begitu argumen yang dia kemukakan. Kelemahan mendasar argumen Khalid tentang standarisasi ini adalah bahwa dia tidak melakukan pemilahan pada dimensi agama yang tidak tunggal.

Islam memiliki dimensi-dimensi yang berubah dan tidak berubah; memiliki elemen-elemen yang universal dan partikular. Para ahli hukum Islam memberikan pembedaan antara wilayah ibadah dan muamalah. Pada wilayah ibadah dan aqidah tentu saja, standarnya bersifat baku. Maka, dalam hal ini saya setuju dengan Khalid, umat Islam harus mengikuti standar.

Akan tetapi, pada wilayah hubungan kemanusiaan (muamalah) standarnya adalah maslahah. Dengan sendirinya, jika ada kebudayaan-kebudayaan yang tidak berorientasi maslahah, pastilah akan tertolak.

Abdul Wahab Khallaf, misalnya, dengan jeli melihat kemungkinan seperti itu. Menurutnya, ada dua jenis tradisi yang berkembang dalam masyarakat, yakni adat shahih (tradisi baik dan bernilai positif) dan adat fasid (tradisi buruk dan mengandung nilai negatif).

Tak ada alasan untuk tidak memelihara tradisi sepanjang itu baik dan membawa kebaikan. Sebaliknya, agama dan akal sehat manusia akan segera menolak, ketika sebuah adat buruk terus-menerus dipraktikkan.

Dengan kerangka pemikiran seperti ini, maka keharaman dan kehalalan tradisi, termasuk wayang, bukan tergantung kepada asal-muasalnya yang kebetulan berasal dari masyarakat non-Arab; melainkan lebih kepada nilai yang dibawa dan dikembangkan.

Editor: Yahya FR

37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds