Falsafah

Homo Religius: Apakah Beragama adalah Kodrat Manusia?

5 Mins read

Diskursus tentangan manusia dan hubungannya dengan agama dalam konteks budaya pluralistik kontemporer menjadi relefan. Relefansinya terletak pada kepentingan untuk menjelaskan mengapa agama begitu diperlukan mayoritas penduduk dunia.

Meski demikian, data tahun 2021 dari Word Population Review menunjukkan, di seluruh dunia ada satu koma dua milyar manusia tidak beragama atau memilih tidak berafiliasi dengan agama manapun.

Orang yang tidak beragama ini, menjadi kelompok terbesar ketiga di dunia setelah umat Kristen dan Islam. Jika dibandingkan banyak populasinya, hampir setara dengan dua negara dengan penduduk terbanyak; China dan India yang masing- masing memiliki jumlah penduduk di atas 1.4 milyar.

Indonesia dengan jumlah populasi 273,4 juta, terdapat 1,885 orang mengaku ateis (tidak beragama), ini data yang ditunjukan oleh atheistcensus.com pada Agustus 2021. Tentu saja, pilihan untuk beragama maupun tidak merupakan kontrol individu setiap manusia.

Yang paling penting adalah sejauh mana alasan untuk beragama dan tidak, dapat diuji. Dengan demikian, pertanyaan apakah manusia merupakan homo religius mendapat jawabannya. Di samping itu, secara filosofis artikel ini hendak menjawab dua hal; pertama apa itu agama? dan, kedua, mengapa beragama adalah kodrat manusia?

Apa itu Agama?

Sebelum beranjak lebih jauh, penting kiranya dimengerti apa yang dimaksud dengan agama. Bagaimana mungkin orang yang mengaku beragama tidak mengetahui apa itu agama.

Maka, cara paling dasar mengetehui agama adalah dengan mendefinisikan agama itu sendiri. Dengan begitu, kita dapat mengetahui arti agama dan yang bukan. Meski, terdapat sejumlah debat, pro dan kontra; di satu pihak berpendapat bahwa agama tidak dapat diartikan menggunakan definisi yang sesungguhnya atau esensial. Padangan ini di antaranya menilai, agama adalah suatu konstruksi sosial dengan demikian ia memiliki arti yang beragam sesuai dengan konteks sosial tertentu.

Di lain pihak, sebagian orang berpendapat bahwa agama dapat diartikan secara esensial. Walaupun esensinya dapat berubah, namun bukan berarti agama tidak dapat dilihat dari definisinya yang nyata.

Dalam hal ini, penulis berada di posisi kedua. Sebab, untuk memahami karakteristik esensial yang membuat agama apa adanya perlu mengetahuai definisi sebenarnya atau sesungguhnya dari agama. Dengan kata lain, definisi yang sebenarnya berusaha untuk menggambarkan kondisi yang perlu dan cukup untuk sesuatu yang menjadi agama.

Baca Juga  Memurnikan Agama, Membangun Peradaban

Jangan-jangan yang dipahami oleh kebanyakan orang tentang apa itu agama selama ini keliru. Oleh karena itu, agama dalam arti yang sesungguhnya perlu dilacak secara akademis dan filosofis.

Definisi Agama Menurut Caroline Schaftalitzky de Muckadell

Untuk kepentingan artikel ini, penulis mendekatkan diri pada definisi agama dari sudut pandang Caroline Schaftalitzky de Muckadell, seorang sarjana di departemen studi kebudayaan, University of Southern Denmark.

Muckadell secara konseptual dan filosofis dalam esainya, On Essentialism and Real Definitions of Religion di Journal of the American Academy of Religion (2014), berpendapat bahwa ada dua macam unsur yang menjadi syarat mutlak bagi sesuatu yang menjadi agama: pertama, unsur kognitif tertentu dan, kedua, unsur normatif dan praktis.

Unsur-unsur praktis dan normatif tidak perlu memiliki batas tertentu atau mengambil bentuk tertentu (seperti ritual atau doa), tetapi harus ada beberapa tindakan, pilihan, dan nilai yang terkait dengan sistem kepercayaan dan praktik jika ingin dianggap sebagai agama.

Ia menjelaskan, sistem pemikiran yang murni intelektual, tanpa implikasi praktis dan normatif, tidak akan menjadi agama. Misalnya, seseorang yang memegang keyakinan bahwa Tuhan itu ada tidak akan dianggap religius kecuali keyakinan itu juga memengaruhi pilihannya atau cara hidupnya secara umum dalam berbagai tindakan. Dalam konteks ini Muckadell memberi saran agar pertimbangan serupa berlaku untuk agama sebagai sistem sosial.

Sisi kognitif dari agama menurutnya memiliki dua unsur yakni konten dan karakter. Kognisi adalah domain dari keadaan dan proses representasional seperti berpikir, percaya, dan berhasrat.

Elemen kognitif yang diperlukan dapat mengambil bentuk yang berbeda seperti kombinasi kepercayaan, iman, harapan, atau ketakutan. Namun, unsur kognitif harus memenuhi dua syarat agar, misalnya, suatu keyakinan atau ketakutan yang dapat disebut religius. Persyaratan pertama menyangkut konten. Isinya harus mencakup sesuatu yang supranatural dalam lingkup tertentu, dan harus berimplikasi normatif.

Persyaratan kedua menyangkut karakter elemen kognitif, yaitu bagaimana keadaan kognitif terkait dengan orang tersebut. Idenya adalah bahwa konten kognitif harus memiliki tingkat kepentingan yang signifikan dan internalisasi yang memerlukan semacam kelembaman psikologis mengenai konten kognitif dan sikap terhadapnya.

***

Kondisi ini akan berarti bahwa, misalnya, menyimpan ekor cicak bercabang di dompet untuk keberuntungan tidak dapat dikategorikan sebagai agama, karena tidak memiliki ruang lingkup.

Baca Juga  Ibnu Miskawaih dan Mazhab Annales: Punya Filosofi Sejarah yang Sama

Demikian juga, Muchadell menjelaskan, meskipun metafisika Aristoteles memenuhi persyaratan untuk konten, itu tidak akan dihitung sebagai agama jika, seperti yang diduga, kontennya hanya intelektual dan dengan demikian tidak memiliki karakter penting dan internalisasi.

Seorang teolog dan filsuf Jerman, Friedrich Daniel Arnst Schleiermacher dalam bukunya Über die Religion (Tentang Agama) yang ditulis pada tahun 1799, mengatakan “Religion belongs to human nature”, terjemahan lepasnya dapat diartikan, “agama adalah fitrah manusia”.

Ketika Schleiermacher menyatakan bahwa agama itu generik, bahwa itu milik genus umat manusia, ia bertumpu pada dua asumsi. Pertama, Schleiermacher memandang agama sebagai kesalehan, sebagai religiusitas. Ia menjelaskan hal ini dengan menunjukkan esensi kesalehan dalam misalnya, Iman Kristen sebagai perasaan ketergantungan mutlak atau sebagai kesadaran akan Tuhan. Kedua, Schleiermacher juga memandang agama sebagai sesuatu yang terorganisir, sebagai komunitas agama, misalnya  Katolik dan Protestan yang dapat digambarkan secara empiris.

Dalam artikel dengan judul Are Human Beings Religious by Nature yang dibaca sebagai makalah pada Konferensi Eropa Dua Tahunan ke-12 tentang Filsafat Agama di Hofgeismar (27-30 Agustus 1998), Wessel Stoker sebagai penulis berupaya menjelaskan pokok-pokok pikiran Schleiermacher tentang agama.

Menurutnya, Schleiermacher mencari akses ke fenomena agama tidak melalui institusi gereja atau melalui doktrin tetapi melalui manusia sebagai pribadi. Manusia adalah makhluk beragama. Mengingat, menurut Schleiermacher, manusia selalu menjadi manusia dalam komunitas, kebutuhan komunitas religius dengan demikian ditampilkan.

Agama bukanlah suatu kebetulan tetapi merupakan hakekat kemanusiaan. Dalam pandangan Schleiermacher, perasaan ketergantungan mutlak atau kesadaran Tuhan adalah milik kodrat manusia.

Tempat kesalehan bukanlah Mengetahui atau Melakukan tetapi kesadaran diri atau Perasaan langsung. Esensi kesalehan adalah perasaan ketergantungan mutlak atau, dengan kata lain, bahwa kita sadar berada dalam hubungan dengan Tuhan.

***

Menurutnya, Schleiermacher mengikuti Immanuel Kant sejauh ia juga berpendapat bahwa dasar transenden manusia dan dunia tidak dapat diketahui. Yang tidak bersyarat tidak dapat dipahami oleh yang bersyarat. Juga, kita tidak sampai pada landasan transenden melalui pemikiran dan kemauan kita.

Stoker mengajukan satu pertanyaan filosofis, bagaimana kesadaran akan Tuhan ini harus dipahami? Hal ini menyangkut deskripsi transendental-fenomenologis pengalaman religius. Ia kemudian mengatakan, Schleiermacher tampaknya menyarankan bahwa atas dasar negasi dari perasaan kebebasan mutlak, seseorang hanya dapat menyimpulkan satu kemungkinan lain yaitu ketergantungan mutlak.

Baca Juga  Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

Agama dapat dilihat sebagai sesuatu yang kebetulan hanya jika, menurut Schleiermacher, seseorang dapat menunjukkan bahwa perasaan ketergantungan mutlak tidak memiliki nilai yang lebih tinggi daripada perasaan non-religius lainnya atau bahwa ada sesuatu yang nilainya setara dengan perasaan ketergantungan mutlak.

Sederhananya, agama sebagai kesalehan atau ketergantungan mutlak terhadap Tuhan dan agama sebagai sesuatu yang teroganisir memiliki hubungan yang tidak dapat dilepas satu sama lain. Schleiermacher tidak membatasi dirinya pada perasaan ketergantungan mutlak sebagai sebuah prioritas seseorang yang religius. Ia juga prihatin dengan kesalehan seperti yang benar-benar tampak di tengah masyarakat.

Dengan begitu, Schleiermacher juga berpendapat bahwa kita tidak dapat mengambil keputusan bahwa agama di luar yang monoteistik (Yahudi, Kristen dan Islam) tidak dapat dianggap sebagai agama.

***

Ia mengatakan bahwa keselahan itu sendiri berbentuk hierarkis. Orang yang menolak agama dan di sisi lain beragama selain yang monoteis berada pada tingkatan bawah. Untuk mencapai puncak kesalehan mereka harus berada pada titik esensi ketergantungan secara mutlak.

Stoker menjelaskan, perasaan ketergantungan mutlak tidak mendefinisikan agama tetapi merupakan ciri khas yang membuat pengalaman tertentu menjadi pengalaman religius atau fenomena tertentu menjadi fenomena agama.

Pandangan umum Schleiermacher tentang agama bersifat historis dan dinamis. Ia tidak mengatakan bahwa setiap orang beragama tetapi bahwa manusia berpotensi religius dan orang yang dewasa harus menyadari potensi itu. Religiusitas hadir dalam diri manusia dalam tingkatan-tingkatan, tergantung pada komunitas agama di mana dia menjadi bagiannya.

Sebab Manusia Menjadi Materialis

Secara esensial, dapat dikatakan bahwa, sukularisme dan bentuk-bentuk lain yang menolak agama tumbuh seiring perkembangan dalam budaya plural masyarakat kontemporer. Manusia yang terlampau matrealis misalnya beranggapan bahwa uang atau perangkat teknologi adalah agama yang dipercayainya.

Sebab ketergantungan matrealis ini, manusia mengalami ketercabutan dari nilai-nilai transendental. Namun demikian, sesuatu yang matrelistis sesungguhnya bukanlah agama. Seperti yang dikatakan Scheleimacher, istilah agama non-monoteistik terutama mengacu pada politeisme dan fetisisme.

Menurutnya, orang hampir tidak dapat berbicara tentang perasaan ketergantungan mutlak dalam agama-agama ini.

Avatar
6 posts

About author
Ketua Umum IMM Cabang Malang Raya | Pegiat di The Center of Research in Education for Social Transformation | Pengajar di Pan Java English Course.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds