Hadis

Hadis yang Tidak Masuk Akal: Ditolak atau Dipahami Ulang?

2 Mins read

Meskipun Nabi Muhammad saw. telah menyatakan bahwa beliau meninggalkan Al-Qur’an dan hadis (sunnah) untuk umat, keduanya tidak dalam posisi yang sama kedudukannya. Dari segi kemunculannya (al-wurūd), hadis bersifat zhannī (dugaan kuat), kecuali hadis-hadis mutawatir yang jumlahnya sangat sedikit. Berbeda dengan Al-Qur’an yang kemunculannya bersifat qath’ī (pasti).

Ini menyebabkan kerentanan akan ditolaknya sebuah hadis. Karena berbagai faktor, hadis mudah diragukan, bahkan dapat digugurkan keabsahannya. Salah satu alasan untuk menolak hadis adalah “ketidak-masuk-akalan-nya”.

Hadis yang Ditolak

Semenjak para orientalis mulai secara masif masuk dalam kajian keislaman dengan segala pendekatannya, hadis mulai mengalami distorsi jumlah. Ini disebabkan karena orientalis membawa pendekatan rasio-positivis dalam mengkaji segala hal, termasuk teks-teks keagamaan.

Rasio-positivis, yang berarti sesuatu yang benar hanyalah yang dapat dibuktikan secara empiris, mengancam dimensi keagamaan yang banyak membicarakan hal-hal di luar dunia fisik (metafisik), seperti Tuhan, malaikat, ruh, surga-neraka, pahala-dosa, akhirat, dan lain sebagainya.

Akibatnya, hadis-hadis yang tidak sesuai dengan temuan ilmiah atau tidak dapat dicerna dengan akal positivis dengan mudahnya ditolak. Nyatanya, pendekatan ini tidak mudah diterapkan terhadap Al-Qur’an, apalagi untuk menolak ayat-ayatnya. Sebab, sebagaimana disebutkan sebelumnya, kemunculan Al-Qur’an berada pada posisi qath’ī, berbeda dengan hadis yang hanya zhannī.

Posisi hadis yang seperti ini memunculkan banyak pandangan terhadap kedudukannya. Mayoritas ulama memang berpendapat bahwa hadis adalah sumber kedua hukum Islam. Akan tetapi, tidak semua hadis dapat diterima. Ada yang menyatakan bahwa hanya hadis sahih yang dapat diterima. Ada pula yang menerima hadis daif untuk diamalkan. Tetapi ada juga yang menolak seluruh hadis.

Penolakan terhadap seluruh hadis pernah terjadi di India pada abad ke-19. Para misionaris Kristen yang menjajah India pada saat itu berhasil menghasut muslim di negara itu untuk menolak hadis. Dengan menjelaskan bahwa hadis tentang jin dan lalat sebagai tidak masuk akal, beberapa tokoh muslim India kemudian menolak hadis sebagai hukum legal.

Baca Juga  Periwayatan Hadis Nabi Muhammad SAW

Pendekatan rasio-positivis sedikit-banyak digunakan oleh beberapa cendikiawan muslim pada masa-masa selanjutnya. Di antaranya pernah digunakan oleh Muhammad al-Ghazali, cendikiawan muslim Mesir yang dikenal moderat.

Kurniasih dan Alif (2018) menjelaskan bahwa al-Ghazali menolak hadis yang menjelaskan bahwa nabi Musa pernah menampar malaikat maut yang mendatanginya (HR. al-Bukhari no. 1339). Alasan penolakannya adalah karena hadis tersebut dianggap tidak masuk akal, seakan nabi Musa tidak menginginkan kematian.

Oleh beberapa cendikiawan, pendekatan rasio-positivis dikhawatirkan akan menyebabkan semakin banyak hadis yang ditolak. Karenanya, seperti yang disampaikan Zamawi (2019), apa yang sebaiknya kita lakukan adalah melakukan interpretasi terhadap hadis. Interpretasi bukan hanya sebagai alternatif agar hadis tidak semakin berkurang. Lebih jauh, ia berfungsi untuk menemukan sebuah pemahaman baru yang sesuai dengan konteks yang melingkupinya.

Pemikiran ini juga disampaikan oleh seorang cendikiawan muslim asal Irak bernama Marwan al-Kurdi. Baginya, kita harus bisa membedakan antara dua hal, yaitu “sesuatu yang aneh menurut akal” dan “sesuatu yang mustahil menurut akal”. Pada istilah pertama dia menjelaskan bahwa banyak kejadian-kejadian aneh atau ganjil terjadi, tetapi benar-benar terjadi.

Karenanya, al-Kurdi berbeda sikap dengan al-Ghazali dalam menanggapi hadis tentang nabi Musa yang menampar malaikat maut. Jika al-Ghazali menolaknya karena dianggap tidak masuk akal, al-Kurdi mencoba mencari pemahaman lain terhadap hadis tersebut dengan cara yang berbeda.

Misalnya, al-Kurdi membandingkan hadis tersebut dengan ayat Al-Qur’an yang menceritakan bahwa nabi Musa pernah membuat orang meninggal hanya dengan satu pukulan. Menurutnya, malaikat maut datang kepada nabi Musa dengan wujud manusia, yang berarti wajar dapat disentuh. Selain itu, nabi Musa belum diberitahu akan kematiannya, padahal tidak ada Nabi yang tidak diberitahu akan kemantiannya.

Baca Juga  Syuhudi Ismail: Enam Faktor Penyebab Pentingnya Penelitian Hadis

Al-Kurdi juga mengecam orang-orang yang dengan mudahnya menolak sebuah hadis dengan alasan tidak masuk akal, tetapi tidak menolak Al-Qur’an. Padahal, Al-Qur’an secara terang-terangan juga banyak menceritakan hal-hal yang non-fisik.

Dengan interpretasi seperti ini, hadis menjadi lebih aman dari penolakan-penolakan hanya karena dianggap tidak masuk akal. Selain itu, interpretasi juga dapat menjadi alternatif untuk menemukan pemahaman baru yang sesuai dengan konteks dan perkembangan zaman yang semakin kompleks.

Editor: Afifah

Avatar
15 posts

About author
Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kotabaru
Articles
Related posts
Hadis

Syarat Ketersambungan Sanad Hadis, Beda Imam Bukhari dan Imam Muslim

3 Mins read
Kata muttafaq ‘alaih barangkali pernah didengar setiap muslim. Kata tersebut secara harfiah berarti ‘disepakati terhadapnya’. Ia merujuk pada sebuah hadis yang diriwayatkan…
Hadis

Syuhudi Ismail: Enam Faktor Penyebab Pentingnya Penelitian Hadis

5 Mins read
Muhammad Syuhudi Ismail adalah salah satu ulama dari Indonesia yang memiliki pengaruh besar terhadap ilmu hadis. Menurut Syuhudi Ismail, ada enam faktor…
Hadis

Periwayatan Hadis Nabi Muhammad SAW

3 Mins read
Hadis Nabi yang termaktub dalam hadis-hadis sekarang ini, pada awalnya merupakan hasil dari kesaksian sahabat terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds