Ibn Rawandi Al-Razi | Dalam berbagai kitab sejarah Islam, narasi-narasi tentang pertentangan dan pertikaian antara ulama-ulama pro filsafat dan kontra filsafat selalu dibahas. Bahkan sampai hari ini. Ulama atau kalangan anti filsafat berpandangan bahwa ilmu filsafat bisa mengikis dan menggoyahkan keimanan orang Islam. Sementara, kalangan pro filsafat berkeyakinan bahwa filsafat lah yang menjadi penyebab utama kemajuan umat Islam di bidang sains.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim (1982), George N Atiyeh merekam aktivitas-aktivitas keilmuan umat Islam yang sejak awal sudah menempuh dua rel yang berbeda. Pertama jalan salaf yang fokus mempelajari ilmu-ilmu bayani. Seperti; filologi, sejarah, dan fikih. Dan kedua, mereka yang lebih gandrung membahas ilmu-ilmu filsafat dan eksak. Seperti filsafat itu sendiri, matematika, astronomi, astrologi, fisika, dan geografi.
Saat kekhilafahan Umayyah memimpin (661-750 M), dua jalur ilmu ini berjalan beriringan. Keduanya tak saling mengungguli sampai masa awal-awal kekhilafahan Abbasyiah (750-1258 M). Banyak tokoh besar yang muncul pada era tersebut.
***
Misal di bidang fikih, muncul ulama seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Al-Syafi’i (767-815 M), dan Ibn Hanbal (780-855 M). Sementara di ilmu eksak ada Ibn Hayyan (721-815 M) yang ahli di bidang kimia dan al-Khawarizmi (780-850 M) yang pakar di bidang matematika. Namun, intensitas keseimbangan dua jalur keilmuan ini berubah drastis saat memasuki kekhalifahan Al-Makmun dari Dinasti Abbasyiah (813-833 M).
Al-Makmun melakukan usaha penerjemahan besar-besaran terhadap buku-buku ilmiah dan filsafat dari Yunani. Akibat dari masifnya penerjemahan ini, ilmu pengetahuan eksak dan filsafat mengalami perkembangan yang luar biasa pesat dan mencapai kejayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sosok Al-Kindi (806-875 M), pemikir pertama filsafat Islam, lahir dari situasi ini.
Akan tetapi, kejayaan dan pertumbuhan ilmu-ilmu eksak dan filsafat ini terhambat saat memasuki pemerintahan Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasyiah (847-833 M). Di masa ini, para ulama salaf, atas dukungan sang khalifah, bersatu menentang aktivitas pembelajaran dan pemikiran tentang filsafat, salah satu di antara penentangnya adalah Imam ibn Hanbal (780-855 M).
Alasan Ulama Salaf Menentang Filsafat
Penentang ulama salaf kepada ilmu filsafat ini memiliki alasan dan penyebab; pertama, yakni para ulama salaf takut kalau ilmu-imu keislaman ini tidak dihormati lagi dan ajaran-ajaran Islam diremehkan.
Kedua, kenyataan bahwa kebanyakan penerjemah karya-karya tersebut berasal dari kalangan non-muslim, penganut Manicheanisme (aliran keagamaan yang bercirikan Gnostik), orang-orang Sabia, dan para sarjana muslim penganut mazhab batiniyah yang kemudian dicurigai oleh para ulama salaf.
Alasan ketiga, para ulama ini mengklaim bahwa usaha penentangan ini merupakah jihad mereka dalam membendung dan mencegah pengaruh paham Manicheanisme Persia dan paham-paham “menyimpang” lainnya yang melenceng dari nilai-nilai ajaran Islam yang lurus.
Asal-Usul Kecurigaan: Kasus Ibn Rawandi dan Al-Razi
Dalam bukunya yang berjudul Fi al-Falsafah al-Isamiyyah Manhaj wa Tathbiq, Ibnu Madkur menjelaskan secara gamblang asal-usul kecurigaan para ulama salaf tentang dampak pemikiran filsafat ini.
Ada beberapa tokoh muslim yang belajar filsafat secara mendalam, namun pada akhirnya justru meragukan dan malah menyerang ajaran Islam sendiri, dua di antaranya adalah Ibn Rawandi (826-911 M) dan Al-Razi (867-925 M).
Dalam kasus Ibn Rawandi, setelah mempelajari filsafat, ia menolak adanya konsep kenabian. Ia mengatakan bahwa prinsip-prinsip kenabian ini bertentangan dengan akal sehat. Begitu pula dengan syariat-syariat yang dibawanya
Alasan yang mendasari Ibn Rawandi adalah, bahwa apa yang disampaikan para nabi dalam ajarannya ini bisa dicapai dengan akal sehat yang dimiliki oleh setiap manusia pada umumnya. Secara fitrah, tanpa perlu mempelajari ajaran-ajaran para nabi, manusia sudah bisa membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan jahat, dan seterusnya.
Tokoh selanjutnya adalah Al-Razi, ia adalah pemikir filsafat Islam sepeninggal Al-Kindi. Ia masyhur dikenal sebagai tokoh ekstrem dalam teologi dan juga dikenal sebagai rasionalis murni yang hanya memercayai akal.
Al-Razi berpandangan bahwa semua ilmu pengetahuan pada dasarnya bisa diperoleh manusia “selama ia benar-benar menjadi manusia”. Karena, hakikat manusia itu ada pada akal dan rasionya. Akal dan rasio adalah satu-satunya instrumen untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan konsep baik dan buruk. Jika ada sumber pengetahuan lain yang tak bisa dicerna akal, dianggapnya sebagai omong kosong, takhayyul, dan kebohongan belaka.
***
Karena menjunjung tinggi rasio dan akal dari hal apapun, Al-Razi kemudian menolak prinsip kenabian karena tiga alasan;
Pertama, akal manusia pada umumnya sudah mumpuni untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, mana yang berguna dan mana yang tak ada gunanya. Cukup berbekal akal dan rasio yang sehat, manusia pada umumnya sudah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tak ada gunanya kehadiran nabi.
Kedua, tak ada pembenaran yang masuk akal kenapa ada seseorang yang lebih diunggulkan (nabi) daripada yang lainnya padahal sama-sama memiliki akal dan kecerdasan yang sama. Hanya pengembangan dan proses pendidikanlah yang membedakan antara nabi dan bukan nabi, bukan keistimewaan yang lain.
Ketiga, perbedaan ajaran antara nabi satu dengan nabi yang lain. Jika benar nabi bicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya taka da perbedaan ajaran di antara mereka.
Dua hal di atas yang menjadi salah dua alasan kenapa para ulama salaf menentang pemikiran filsafat.
konsep kenabian memang masih sangat debatable. menurut hemat kami, antara judul dengan argumentasi yang disuguhkan penulis dalam tulisan ini bisa dibilang “tidak representatif”. pasalnya, dalam pembacaan kami terhadap tulisan saudara Yahya, justru menyuguhkan alasan ulama salaf menentang filsafat. dan tidak menyuguhkan pandangan kenabian secara filosofis. terlebih, penggunaan bahasa “nabi” yang itu sama sekali berbeda dengan “rasul”. jika ditelisik dari konstruksi bahasanya, “nabi” berasal istilah dalam grammatikal Arab (nahwu) yang disebut sebagai “sifat musyabbihah bi ism al-fa’il atau al-maf’ul”. yang berarti “pembawa berita”. dalam literatur klasik pun, seperti yang tertulis dalam kitab “al-bahjah al-mardliyyah” karya Jalaluddin al-Suyuthi. definisi “nabi” sendiri masih terbilang sangat abstrak. ia mengatakan, bahwa nabi adalah “seorang laki-laki yang diberikan wahyu oleh Allah, namun tidak mempunyai kewajiban untuk menyampaikannya kepada umatnya”. paling tidak, ini bisa dijadikan acuan bahwa benar adanya konsep kenabian itu masih sangat debatable.
dalam kesempatan yang lebih lanjut, al-faqir Aditama sangat berbahagia jika saudara Yahya berkenan untuk diskusi baik secara online maupun offline dengan kami.
salam literasi,
R.Y. Aditama