Kaunia

Ru’yat Ta’abbudi dan Penyatuan Kalender Islam

2 Mins read

Perkembangan pemikiran tentang kalender Islam di kalangan ormas Islam mengalami kemajuan baik dari segi pemikiran maupun instrumentasi astronomi yang dimiliki. Hal ini berbeda dengan era sebelum 2000an. Oleh karena itu ketika berbicara tentang penyatuan kalender Islam masih menggunakan istilah “ru’yat ta’abbudi atau ta’aqquli” sudah tidak relevan.

Mengapa? Karena ketika berbicara “unifikasi” bahkan dibentuk Tim Unifikasi Kalender Islam menyiratkan kesadaran bahwa persoalan kalender Islam adalah persoalan “ijtihad”.

Sebaliknya, jika yang dikembangkan masih persoalan ru’yat ta’abbudi maka tidak perlu dibentuk Tim Unifikasi. Dengan kata lain, persoalan ta’abbudi tidak ada wilayah “ijtihad” di dalamnya yang diperlukan sikap saling menghormati dan menghargai.

Patut dipahami bersama pemikiran pengguna rukyat sesungguhnya sudah terjadi perubahan cara pandang dan menyadari jika memahami hadis secara tekstual dalam praktiknya akan banyak terjadi istikmal.

Akibatnya, umur bulan menjadi 28 hari atau setahun 356 hari. Tentu hal ini tidak sesuai pesan nas. Perubahan cara pandang ini perlu diapresiasi. Di sinilah peran “ilmuwan” sebaiknya tidak membuat pernyataan melebihi kapasitasnya.

Ilmuwan cukup memberi data sesuai bidang keilmuan yang ditekuni berdasarkan hasil riset yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak perlu menyampuri rumah tangga ormas. Apalagi berbicara tentang persoalan fikih dengan pendekatan fikih klasik semata.

Pada dasarnya, fikih sangat dinamis dan responsif untuk menjawab isu-isu aktual dan kemodernan sehingga muncul istilah ” الفقه المعاصرة ” (Fikih Kontemporer). Persoalan penyatuan kalender Islam tidak cukup dengan kerangka berpikir fikih klasik semata tapi perlu menyapa dan menggunakan kerangka berpikir fikih kontemporer.

Dengan demikian, kemaslahatan umum perlu diutamakan dibandingkan kemaslahatan kelompok didukung hasil riset yang independen dan tidak partisan. Biarkan para pimpinan ormas Islam bersama timnya duduk bersama-sama mengkaji informasi seputar kalender Islam nasional, regional, maupun global dari aspek syar’i dan sains sesuai manhaj yang dipedomani.

Baca Juga  UEA: Penjelajahan Antariksa dan Misi Suci Umat Islam
***

(Sumber: Dokumen Pribadi)


Para pimpinan ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menyadari perbedaan antara keduanya hanya pada perso’alan furu’iyyah sehingga “memungkinkan” untuk dipertemukan.

Hal ini disampaikan ketika kunjungan balasan Lembaga Bahsul Masail PB NU ke Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta hari Rabu 12 Muharam 1444 H bertepatan 10 Agustus 2022. Silaturahmi semacam ini perlu dilakukan secara terjadwal untuk mendialogkan persoalan keagamaan, keumatan, dan kebangsaan sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kedua lembaga. Salah satu hal yang perlu menjadi perhatian bersama adalah upaya penyatuan kalender Islam.

Para generasi muda kedua ormas tersebut telah banyak melakukan kajian seputar penyatuan kalender Islam dengan beragam pendekatan. Sebagian besar menyadari bahwa untuk mewujudkan penyatuan kalender Islam langkah yang perlu ditempuh adalah mengkaji ulang makna rukyat yang selama ini banyak dipahami secara literal-parsial. Kalender Islam merupakan bangunan sistem waktu dari Muharam hingga Zulhijah sebagaimana diisyaratkan dalam QS. At-Taubah ayat 36.

Kesadaran baru ini perlu diapresiasi sehingga “ru’yat taabbudi” perlu didiskusikan bersama secara asertif dengan mempertimbangkan aspek historis dan kemaslahatan bersama. Dengan kata lain penggunaan istilah “ru’yat ta’abbudi” kurang relevan dalam konteks unifikasi kalender Islam.

***

(Sumber : Dokumen Pribadi)

Upaya penyatuan kalender Islam perlu dilakukan secara sistematis dan penuh tanggungjawab disertai sosialisasi secara berkelanjutan kepada ormas-ormas Islam. Di Indonesia perubahan kriteria Imkanur Rukyat MABIMS (2, 3, 8) menuju Neo-Imkanur Rukyat MABIMS (3,6.4) dianggap sebagai upaya titik temu berbagai kriteria yang berkembang.

Realisasinya terkesan “dipaksakan” dan hingga saat ini masih menimbulkan persoalan dari aspek de jure. Pada saat pra sidang Isbat awal Ramadan 1443 H dinyatakan bahwa mulai awal Ramadan 1443 H Indonesia mengadopsi kriteria Neo-Imkanur Rukyat MABIMS (3,6.4). Namun praktiknya Keputusan Menteri Agama No. 324 tentang Tanggal 1 Ramadan 1443/2022 tidak menyebutkan adanya perubahan kriteria.

Hal ini dibuktikan dalam pertimbangan KMA No. 324 Tahun 2022 pada poin b dan c tentang data hisab hanya mencantumkan data ijtimak dan ketinggian hilal tidak memasukan data elongasi. Peristiwa ini juga ditemukan dalam KMA No. 435 tentang Tanggal 1 Syawal 1443/2022. Kasus ini menimbulkan beragam tafsir dan tidak sesuai kriteria yang dipedomani.

Baca Juga  Fatwa MUI, Antara Kalender Islam Lokal dan Global

Seharusnya jika Indonesia sudah mengadopsi kriteria baru sebagaimana disampaikan dalam pra sidang Isbat Awal Ramadan 1443 H maka pertimbangan poin b dan c dalam KMA No. 324 dan 435 memasukan data elongasi. Peristiwa ini secara juridis dapat dimaknai bahwa Indonesia sampai saat ini masih menggunakan kriteria Imkanur Rukyat MABIMS 2,3,8 dan belum menggunakan Neo-Imkanur Rukyat MABIMS 3,6.4.

Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.

Editor: Yahya FR

Avatar
36 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Kaunia

Menaksir Berat Sapi Secara Cepat

1 Mins read
Kaunia

Moderasi dalam Sidang Isbat

3 Mins read
Di Indonesia kehadiran sidang Isbat sudah lama diperdebatkan keberadaannya. Di satu sisi dianggap sebagai jembatan untuk mempertemukan perbedaan pandangan antara pendukung hisab…
Kaunia

Kalender Islam Ma'na-Cum-Maghza

6 Mins read
Dalam kehidupan sehari-hari keragaman adalah sebuah keniscayaan. Namun tidak semua aspek kehidupan harus beragam. Adakalanya kebersamaan dan penyatuan diperlukan. Keragaman, kebersamaan, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *