Tafsir

Tingkatan Alquran dan Wahyu

4 Mins read

Muhammed Arkoun adalah seorang sarjana Islam kontemporer yang berasal dari Tourirt Mimoun, Kabilia, Aljazair yang terlahir pada tanggal 1 Februari 1928. Saat terjadi perang kemerdekaan Aljazair dengan Perancis (1954-1962), Arkoun melanjutkan studinya tentang Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis.

Di Universitas inilah, ia memperoleh gelar Doktor sastra pada tahun 1669 dengan disertasinya mengenai humanisme dalam pemikiran Ibnu Miskawaih, seorang pemikir Arab abad X Masehi yang menekuni antara lain bidang kedokteran dan filsafat. Judul Disertasi Arkoun Berjudul L Humanisme Arabe au IVe/Xe sience: Miskawayh philosope et historian. (Baedhowi, humanisme Islam, 2008)

Sebagai guru besar pemikiran Islam di Sorbonne University, Pemikiran Arkoun Banyak dipengaruhi oleh filosof-filofos Perancis seperti Michel Foucaulot dan Jacques Derrida tentang teori dekonstruksinya.

Kritik Nalar Pemikiran Islam

Melalui teori dekonstruksi tersebut, Arkoun menawarkan kritik terhadap nalar pemikiran Islam yang didominasi oleh nalar Arab. Kritik Arkoun dimaksudkan untuk menyelidiki sistem pengetahuan, dasar-dasar pemikiran, dan mekanismenya. Serta melihat bagaimana cara memproduksi makna dan kaidah yang membentuk wacana.

Pada titik ini, ia ingin membongkar warisan pemikiran Islam terdahulu. Selanjutnya, ia gali lapisan-lapisannya untuk menyingkap makna yang mendalam dalam cakupan pemikiran Islam. (Latif, Membumikan Teologi Islam dalam Kehidupan Modern [Berkaca dari Muhammed Arkoun]), 2013)

Arkoun memberanikan dirinya untuk melayangkan kritik tersebut karena didorong oleh kegelisahannya terhadap kalangan “ortodoks” yang ia lihat telah melakukan penyalahgunaan Alquran. Yaitu penyalahgunaan Alquran untuk memenuhi dan memuaskan hasrat dan kepentingan ideologis maupun politis.

Baca Juga: Otoritarianisme Agama dan Negara: Gugatan Abdul Karem Soroush

Arkoun percaya bahwa penyalahgunaan tersebut disebabkan karena ketidakmampuan mereka untuk mengungkap secara jernih pesan Alquran sebagaimana ia diturunkan dalam sebuah situasi sosial yang hidup.

Baca Juga  Kritik Keras Huseyn al-Zahaby atas Tafsir Fath al-Qadir

Dengan bermodalkan seperangkat ilmu-ilmu barat kontemporer, ia mencoba memaknai ulang ayat-ayat Alquran. Di antara ilmu yang ia gunakan ialah ilmu linguistik, sejarah, antropologi, dan lain sebagainya. Arkoun juga mendukung penggunaan hermeneutika dalam menafsirkan Alquran. (Nasruddin, Manhaj Tafsir Muhammad Arkoun, 2016)

Pemikiran dan karya-karya Arkoun sangat jelas sekali dipengaruhi oleh pemikir post-strukturalis Perancis. Metode Historisme yang digunakannya adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat. Referensi utamanya adalah De Saussure (linguistik), Levi Strauss (antropologi), Jacques Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Michel Foucault (epsitemologi), Derrida (grammatologi), Paul Ricoer, dan antropolog seperti Jack Goody dan Pierre Bourdieu. (Arkoun, Telah Tiada dan telaah Kritis Pemikirannya, 2010)

Tingkatan Wahyu

Arkoun ingin sekali menghadirkan wahyu dalam konteks sejarah masa kini. Ia ingin membumikan teologi Islam dalam kerangka kekinian yang berjalin kelindan dengan kehidupan modern. Karena menurutnya, warisan pemikiran Islam bukanlah sesuatu yang ahistoris, yang tidak dapat dikontekskan dan disesuaikan seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman.

Wahyu menduduki posisi yang cukup sentral dalam setiap agama langit, khususnya Islam. Dalam Islam, wahyu merupakan suatu subyek khusus yang menjadi bahan kajian yang memiliki kepentingan budaya dan histori. Selain itu, juga mampu membangkitkan emosi kolektif.

Mula-mula, ia ingin mengkritik terlebih dahulu konsep tentang wahyu. Hal itu dilatarbelakangi kekecewaannya terhadap sistem epistemologi Islam yang masih bersifat “ortodoks”. Ortodoksi tersebut sangat menghambat gerak laju nalar untuk maju dalam mengejar ketertinggalannya dari Barat.

Arkoun memahami wahyu sebagai suatu entitas yang kaya dan luas dari segi pemaknaannya. Sehingga bisa disesuaikan dalam setiap keadaan yang berbeda yang dilalui umat manusia.

Dalam analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan anggitan tentang wahyu.

Pertama, wahyu sebagai firman Allah yang transenden. Ia tidak terbatas dan tidak pula diketahui oleh manusia. Untuk menunjukkan realitas wahyu ini, biasa dipakai istilah Al-Lawh Al-Mahfudz atau Umm Al-Kitab.

Kedua, wahyu yang diturunkan dalam bentuk ujaran/perkataan lisan dalam realitas sejarah. Atau bisa disebut sebagai discours religious dalam bentuk kitab-kitab. Seperti Bible (Taurat dan Zabur), Injil, dan Alquran.

Baca Juga  Libur Shalat Jumat Karena Corona, Adakah Hadisnya?

Ketiga, wahyu yang direkam di alam catatan yang menghilangkan banyak hal. Terutama situasi pembicaraan (sementara asbab an-nuzul belum mampu menemukan hal-hal yang hilang dari suatu pembicaraan yang direkam ke dalam tulisan). (Pembaharuan Pemikiran M.Arkoun, 2015)

Wahyu jenis ketiga inilah yang kita kenal sekarang dengan mushaf yang oleh Arkoun disebut sebagai Kanon Resmi Tertutup (Official Closed Canons). Mushaf yang dimaksud ialah mushaf Usman bin Affan. Wahyu pada tatanan ini, menurut Arkoun, sudah banyak yang tereduksi oleh prosedur-prosedur manusiawi. Inilah akibatnya jika wahyu yang terkreasi secara fisik oleh manusia yang tidak sempurna.

Menurut Arkoun, saat ini melalui wahyu bentuk mushaf inilah manusia dapat mengakses langsung ujaran Tuhan yang transenden. Wahyu pada mulanya berbentuk ujaran lisan pada masa kenabian kemudian ditulis di atas perkamen atau kertas yang dijadikan buku. Buku ini disebut oleh pengikutnya “Kitab Suci”

Tingkatan Alquran

Mengenai sejaran Alquran, Arkoun membaginya menjadi tiga periode.

Pertama, berlangsung saat era pewahyuan/Prophetic Discours (610-632 M).

Kedua, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf/Closed Official Corpus (632-936 M)

Ketiga, berlangsung ketika masa ortodoks (936 M)

Mushaf Usmani, sebagaimana disebutkan di atas, disebut suatu korpus resmi yang tertutup. Mushaf Usmani dinyatakan sempurna, selesai, dan tertutup. Lalu kompilasi-kompilasi mushaf lain yang tidak sesuai standar mushaf Usmani, dibakar dan dimusnahkan untuk menghindari perbedaan yang akan timbul tentang keotentikan wahyu-wahyu yang dipilih.

Arkoun menyatakan bahwa proses pemilihan dan pemusnahan ini meniscayakan umat Islam bertumpu pada korpus resmi yang tertutup.

Meskipun telah terjadi “sakralisasi” mushaf teks tertutup (mushaf Usmani), namun bagi Arkoun, teks Alquran tetap teks yang terbuka. Oleh sebab inilah, Alquran banyak melahirkan literatur referensi, doktrin, dan hukum yang beraneka ragam.

Baca Juga  Hadis Tentang Wabah dalam Perspektif Antropologi Kognitif

Karena itulah, Arkoun hendak melakukan pemaknaan atau aktualisasi sesuai dengan konteks keadaan nyata yang dihadapi.  Tafsiran dan pemahaman tentang Alquran tidak bisa disempitkan menjadi ideologi. Dengan begitu, Alquran menjadi teks yang hidup kembali.

Produk-produk pemikiran Islam tradisional yang sarat dengan makna-makna transendensi, bagi Arkoun, belum tentu sama dengan wahyu Ilahi yang sebenar-benarnya. Karena, pembentukan pemikiran Islam tidak lepas dari aktualisasi yang dipengaruhi oleh beragam jenis aspek. Mulai aspek sosial, politik, dan budaya. Disamping sumber rujukannya adalah kitab tertulis yang menurutnya tereduksi oleh prosedur-prosedur manusiawi.

Dari pemikiran demikian, maka ia sebenarnya berpendapat bahwa tafsir, fikih, tasawuf dan lain-lain adalah produk aktualisasi yang terkait dangan sejarah. Syariah adalah produk manusia dalam dokumen sejarah yang telah melalui proses yang panjang, terkait dengan sosial, generasi, serta gerakan pemikiran keagamaan. (Hasib, Muhammad Arkoun dan Desakralisasi Alquran).

Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, Alquran lebih suci, lebih autentik dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis.

Sebabnya, Alquran terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan. Tidak seperti dalam bentuk tulisan. Sedangkan, ia menganggap status Alquran dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan (al-Kitab al-Muhi) menjadi sebuah buku biasa (al-Kitab al-Adi).

Yahya Fathur Rozy
39 posts

About author
Researcher | Writer | Project Manager
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds