Falsafah

Salah Memaknai Khalifah: Cikal Bakal Kerusakan Alam

3 Mins read

Lazim ditemukan pada banyak media atau tulisan, berbagai tuduhan-tuduhan bahwa humanisme merupakan biang keladi dari pengrusakan lingkungan hidup.

Beberapa kemudian mencoba menawarkan interpretasi islami bahwa alternatif mereka memiliki perbedaan yang jelas dengan humanisme dan dapat menciptakan relasi harmonis dengan alam.

Merespon hal-hal tersebut, tulisan ini mengajukan tesis bahwa tidak sembarang humanisme, melainkan hanya humanisme-objektivis, yang mengandung pandangan berbahaya bagi kelestarian alam.

Humanisme-objektivis itu diungkapkan lalu muncul dalam paradigma antroposentris baik yang sekuler maupun religius.

Esai ini kemudian menyimpulkan agar kita lebih teliti dan seksama dalam memahami sebuah paradigma. Kecermatan ini penting terutama pada paradigma yang diterjemahkan sebagai ‘islami’ dan seolah menuntut penerimaan penuh karena terdengar ‘common-sense’ dalam kerangka pemikiran Islam.

Membedah Humanisme dan Variasinya

Humanisme merupakan suatu paradigma yang meyakini superioritas manusia dibanding alam baik secara relatif maupun mutlak. Padanya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipahami memiliki kesadaran dan teknologi yang dapat digunakan untuk memanipulasi dan mengeksploitasi alam sesuai kehendak mereka.

Namun humanisme itu sendiri kemudian berkembang dalam sejarahnya. Sebagian humanisme memahami bahwa manusia lebih berdaya ketimbang alam. Namun faktanya, manusia dan alam memiliki ketergantungan satu sama lain. Tiada manusia dapat hidup tanpa nutrisi alam. Alam pun sebagai bahan dapat menjelma jadi bentuk-bentuk luar biasa oleh tangan dan kreativitas manusia.

Sebagian bentuk humanisme lain menciptakan empati kepada makhluk di luar manusia. Menganggap manusia sebagai makluk sadar dan berdaya ubah ditranslasi pada kemungkinan makluk lain memiliki kesadaran dan daya dalam kapasitas tertentu pula. Sampai di sini terjadi humanisasi, pelekatan identitas dan penyikapan serupa pada non-manusia selayaknya manusia sendiri.

Baik humanisme yang pertama, humanisme-naturalis, dan humanisme dalam bentuk kedua, atau humanisme-universal, sama-sama membuka kemungkinan kepada pengertian akan peran penting manusia bagi keberlangsungan alam.

Baca Juga  Muhammadiyah: Energi Terbarukan Penting dan Mendesak untuk Menyelamatkan Bumi

Demikianlah telah dinyatakan argumen-argumen untuk menolak pandangan yang mengkambinghitamkan segala humanisme.

Bahaya Humanisme-Objektivis

Berikutnya, maka akan dijabarkan suatu humanisme dengan sifat yang destruktif terhadap alam. Destruktif karena pola hubungan yang dihasilkan meniscayakan eksploitasi tanpa batas dan pengabaian hak-hak alam atau segala makhluk non-manusia.

Bahwa yang lain itu seharusnya turut lestari merupakan sesuatu yang tidak diterima dalam humanisme jenis ini.

Humanisme varian ini disebut dengan humanisme-objektivis. Humanisme karena tetap mengusung keutamaan manusia, namun objektivis dalam pengertian bahwa ia sekadar menjadikan alam sebagai objeknya.

Objek entah dalam makna sumber daya yang terus dapat dieksplorasi dengan kesewenangan hingga objek dalam pengertian luas sebagai aktor yang ditundukkan total.

Objektivikasi alam dengan demikian mengetengahkan alam dalam posisi pasif dan rentan. Manusia, bak tuhan-tuhan kecil, tidak memikirkan ketersalingan antara mereka dengan alam dan bahwa alam senantiasa dapat membalas dengan bencana yang tiada terkira. Semua ini dapat dimaklumi dalam kenyataan bahwa humanisme telah bercampur dengan konsumerisme kronis.

Humanisme dalam bentuk asalnya bercita-cita pada pemenuhan ekspresi otentik diri manusia yang rasional sekaligus unik. Humanisme itu kemudian menjadi materialis dalam arti menumpangkan makna menjadi manusia dengan penguasaan atas yang lain. Semakin banyak yang dikuasai, semakin yakin diri manusia bahwa mereka telah sempurna.

Maka humanisme-objektivis ini menjadi kian bahaya. Bahwa manusia terus dikejar dahaga eksistensial untuk terus merusak alam demi memenuhi konsumsi kuasa mereka atas kebendaan.

Masalahnya yang sering terlupakan bahwa alam memiliki batasan yang jika dilewati beresiko mengancam kemampuan nutritifnya pada keberlangsungan hidup manusia sendiri.

Khalifah-isme adalah Humanisme-Objektivis

Keyakinan bahwa prinsip-prinsip Islam merupakan dasar bagi kehidupan yang paling paripurna merupakan sesuatu yang sah. Mengingat bahwa Islam dikaruniakan Tuhan kepada manusia untuk membekali mereka melalui kehidupan dunia yang penuh cobaan dan rintangan.

Baca Juga  Menjaga dan Melestarikan Lingkungan adalah Kewajiban Umat Muslim

Masalahnya bahwa penafsiran atas prinsip-prinsip Islam itu terkadang mengandung persoalan pemahaman yang belakangan baru akan disadari. Persoalan pemahaman itu dapat muncul mulai karena keterbatasan metodologis penafsiran di masa lampau hingga konteks kehidupan kini yang menuntut kesadaran penafsir akan tantangan aktual.

Pandangan di sini kurang-lebih sepakat dengan AS Rosyid yang dalam Melawan Nafsu Merusak Bumi mengungkap bahwa misinterpretasi ‘tugas kekhalifahan’ menjadikan manusia berpretensi memperlakukan alam seperti para humanis-objektivis.

Khalifah dimaknai sempit secara politis sebagai penguasa, lantas kelewat diperluas maknanya pada relasi manusia dan semesta.

Walhasil, muslim banyak yang keliru dengan berpendirian bahwa mereka telah menjalankan instruksi Tuhan untuk menjadi ras penguasa absolut di muka bumi.

Padahal, khalifah itu dapat dapat diartikan sebagai penjaga dan pengelola, yang di sini bermakna berbeda dengan penguasa. Manusia sebagai penjaga atau pengelola berarti bahwa manusia setara belaka dengan alam, namun mereka dibebani tugas atau ujian lain untuk menjaganya.

Kesimpulan: Kekosongan Etika Alam

Dari uraian yang telah kami lakukan, sejatinya terungkap bahwa di tengah kerusakan lingkungan yang semakin dalam, kita tidak memiliki perangkat etika yang memadai entah dalam perspektif sekuler maupun religius.

Dua humanisme yang telah diungkapkan tidak mendorong suatu tanggungjawab manusia untuk aktif merawat kehidupan alam.

Mereka dapat menjelaskan kesetaraan manusia dan alam dan bahwa satu sama lain harus saling mendampingi. Namun, humanisme dalam apapun bentuknya akan senantiasa kembali menekankan diri manusia sebagai pusat semesta yang mengejar aktualisasi diri abstrak nan egois. Sehingga, humanisme menarik individu ke dalam gua-gua sembari abai kepada degradasi alam.

Yang menarik bahwa agamawan belum mampu melahirkan konsepsi etika alam Islami yang dapat menjawab tantangan modernisasi. Isu-isu alam secara jujur dapat kita akui seringkali jarang dilirik atau bahkan dalam beberapa kasus malah ditentang sendiri ketika pembangunan-isme masjid, amal-amal usaha dianggap sah-sah saja meskipun mengabaikan kelestarian lingkungan hidup.

Baca Juga  Jean Jecques Rousseau: Cara Agar Agama Relevan dengan Zaman

Artinya kita musti prihatin bahwa di tengah semangat keberagamaan, muslim kerap tak acuh terhadap problematika di dunia. Beribadah masih dimaknai terbatas pada ritualitas dengan dasar fikih-fikih yang telah mapan.

Pengembangan makna ibadah kepada pengabdian atas nilai-nilai universal Islam yang komprehensif belum tertanam dalam kesadaran mayoritas muslim.

Hasilnya tentu ironis. Bahwa menjadi muslim tidak berbeda dengan para humanis yang telah kita kritik di sepanjang bab ini. Pengabaian kepada pemenuhan hak-hak lingkungan hidup menunjukkan bahwa baik muslim dan para humanis sama-sama ‘manusia gua’ belaka.

Editor: Yahya FR

Avatar
32 posts

About author
Alumni Flinders University, Australia yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Bidang Kajian Ahmad meliputi Kognisi dan Pengembangan Manusia, Epistemologi Islam dan Anti-Neoliberalisme. Ia juga seorang Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Co-Founder Center of Research in Education for Social Transformation (CREASION) dan Sekretaris Umum Asosiasi Psikologi Islam (API) Wilayah Jawa Timur.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds