Perspektif

Calvinisme ala Prof. Akh. Muzakki

2 Mins read

Di berbagai kesempatan, Prof. Akh. Muzakki, Rektor UINSA Surabaya, menyatakan bahwa salat kita belum tentu membawa kita masuk surga. Berbagai ibadah mahdah yang kita lakukan dan kita andalkan sebagai pemenuhan atas ketakwaan kita kepada Allah, belum tentu menjadi boarding pass untuk memasuki pintu surga.

Mengapa? Jawabannya adalah bahwa saat kita beribadah, tidak jarang hati kita tercemar dengan riya’ atau bahkan justru melahirkan perasaan sok suci yang membawa kita pada kesombongan.

Statemen ini berulang-ulang disampaikan, terutama ketika ingin memotivasi para bawahannya. Di beberapa kesempatan, pembicaraan one on one dengan saya pun (saya yakin dengan yang lain juga), dia tidak bosan-bosannya menyatakan hal tersebut. Karena ibadah kita mudah tercampur dengan kotoran-kotoran batin yang mencemari, maka kita harus menjadikan setiap hal dalam hidup ini sebagai ibadah.

Dalam konteks jabatan, jabatan yang diamanatkan kepada kita harus menjadi sarana untuk beribadah dengan cara menunaikan tugas secara sungguh-sungguh, jujur, professional, dan kreatif.

Terhadap pandangannya ini, saya teringat dengan buku yang ditulis Max Weber, The Protestan Ethics and the Spirit of Capitalism. Buku ini menjelaskan bagaimana teologi Calvinisme dalam Protestan sanggup memacu kerja keras di kalangan pengikutnya sehingga melahirkan embrio kapitalisme di Eropa Barat.

Ajaran Calvinisme

Di dalam Calvinisme, ada sebuah ajaran yang disebut calling atau panggilan. Calling adalah sebuah ajaran bahwa Tuhan memanggil semua manusia untuk beriman dan bertakwa serta beribadah kepada-Nya.

Sekalipun demikian, Tuhan telah menakdirkan siapa saja manusia yang selamat dan tidak. Menurut Calvinisme, surga dan neraka sepenuhnya adalah hak prerogatif Tuhan. Karena itu, manusia tidak tahu siapa sesungguhnya manusia yang terpilih dan mana yang tidak, siapa yang selamat dan siapa tersesat, siapa yang akan masuk surga dan siapa yang akan digiring neraka. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Baca Juga  Salahkah Menyebut Insularitas Akademik?

Doktrin calling ini kemudian ditransformasikan Calvin ke dalam kedisiplinan dalam bekerja saat hidup di dunia. Karena setiap manusia tidak ada yang tahu siapa manusia yang sungguh-sungguh dipanggil oleh Tuhan. Maka, manusia hanya bisa membuat diri dan hidupnya menjadi manusia yang berguna dalam hidupnya melalui kerja keras. Hamba yang baik bukanlah hamba yang menghabiskan waktunya untuk tidur dan menganggur, tapi bekerja.

Bertakwa kepada Tuhan adalah panggilan dari Tuhan. Ciri dari orang yang terpanggil adalah mereka yang menyibukkan dirinya dalam kerja untuk memberi kebaikan kepada dirinya dalam hidup di dunia. Kemakmuran hidup di dunia adalah salah satu ciri dari kebaikan.

Dengan ini, seseorang merasa dirinyalah manusia yang terpanggil atau terpilih. Inilah teologi calling Calvinis yang akirnya mampu menggerakkan para pengikutnya untuk bekerja dan melahirkan legacy berupa ekonomi pasar yang melahirkan kemajuan ekonomi di Eropa Barat.

***

Suatu kali saya katakan pada Prof. Akh. Muzakki bahwa pandangannya mirip dengan Calvinisme. Dia menuliskan pesan WA kepada saya:

“Saya belajar banyak ilmu tasawwuf dari kyai saya: Kyai Sholeh Qosim. Lalu nilai-nilai itu kutemukan implementasinya di masyarakat Barat. Sebagai Muslim, maka saya harus mampu menggabungkan kemuliaan nilai sufisme itu dengan praktik profesionalisme dalam memegang amanah jabatan. Kesalehan birokrasi, kita butuh ini…. Harus kita perjuangkan agar kita bisa menjadi faktor pembeda untuk kemuliaan UINSA….”

Sebagai sosiolog, pasti Prof. Akh. Muzakki telah tuntas membaca karya Weber yang menjelaskan kaitan antara Calvinisme dan kapitalisme. Tapi pada akhirnya, dia adalah seorang Muslim yang menyerap nilai-nilai kemuliaan dalam tasawuf, seperti ketakwaan, kejujuran, kerendahhatian, keikhlasan, dll. Orang yang belajar tasawuf pasti tahu bahwa seorang sufi meyakini bahwa seluruh ibadah manusia tidak layak digunakan untuk menebus surga.

Baca Juga  Optimisme Pangan Sehat Untuk Dunia, Dimulai Melalui Konferensi Digital

Manusia masuk surga bukan karena ibadahnya, tapi karena rahmat Allah. Jika surga sepenuhnya karena rahmat Allah, maka yang bisa dilakukan manusia hanyalah menjalankan kebaikan demi kebaikan dalam hidupnya.

Ketika nilai-nilai ini dipadukan dengan gagasan dan praktik profesionalisme modern, inilah yang mendasari pemikiran Prof. Akh. Muzakki dalam membangun kesalehan birokrasi. Yaitu, bahwa: “Shalat kita belum tentu membawa kita ke surga. Karena itu, dengan posisi (jabatan) yang ada pada kita saat ini, kita harus bekerja dengan keras, kreatif, inovatif, dan amanah”.

Editor: Yahya FR

Ahmad Zainul Hamdi
27 posts

About author
Pimpinan Umum Arrahim.id; Direktur Moderate Muslim Institute; Senior Advisor Jaringan GUSDURian Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds