Penafsiran Al-Qur’an selalu diwarnai dengan pemikiran mufasirnya, komentar, ulasan, dan hasil dari apa yang ditafsirkan bergantung pada mazhab yang dianutnya, ada yang memiliki corak bahasa, corak fikih, dan lain sebagainya. Lalu penafsiran yang menekuni sains, dikaitkan dengan teori ilmu pengetahuan yang pada perkembangannya disebut dengan corak tafsir ilmi.
Melihat perkembangan penafsiran dengan corak ilmi yang pesat di dunia keilmuan, maka penulis akan mencoba menuliskan beberapa hal yang harus dibahas terkait dengan sejarah munculnya, kelamahan dan kekurangannya, pandangan ulama tentang tafsir ilmi, dan juga kitab-kitab yang berisi tentang tafsir ilmi.
Pengertian Tafsir Ilmi
Menurut Abd Majid Al-Salam Al-Muhtasib dalam kitabnya Ittijahat al-Tafsir fi al-‘Ashr al-Hadith mengatakan bahwa tafsir ilmi adalah penafsiran yang dilakukan oleh para mufasirnya untuk mencari adanya kesesuaian ungkapan-ungkapan dalam ayat-ayat Al-Qur’an terhadap penemuan ilmiah.
Selain itu, Fahd Abd Rahman mendefinisikan bahwa tafsir ilmi adalah ijtihad mufasir untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah di dalam Al-Qur’an dengan penemuan-penemuan ilmiah yang bertujuan untuk memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an. Berdasarkan beberapa definisi yang ada, dapat dipahami bahwa tafsir ilmi adalah upaya penafsiran Al-Qur’an yang dikorelasikan dengan ilmu pengetahuan guna mengungkap kemukjizatan Al-Qur’an.
Sejarah Munculnya Tafsir Ilmi (Sains) dan Perkembangannya
Corak Penafsiran ilmiah ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun. Pada masa ini, muncul gerakan penerjemahan kitab-kitab ilmiah dan dimulainya masa pembukuan ilmu agama, serta klarifikasi pembagian bab dan sistematikanya.
Pada era puncak keemasan peradaban Islam, ilmu-ilmu bahasa, filsafat, dan sains telah dikodifikasi. Begitu pula dengan mazhab-mazhab fikih dan aliran kalam. Perkembangan yang semakin maju juga dirasakan di bidang penerjemahan karya-karya klasik dari peradaban pra Islam seperti Yunani, Persia, dan India. Pada fase peradaban ilmiah, muncul berbagai metode dan aliran tafsir Al-Qur’an. Selain itu, ditemukan pula corak tafsir yang berorientasi pada beberapa aspek seperti fiqhi, kalami, balaghi, isyari/sufi bahkan falsafi.
Maka ditemukan pula metode tafsir ilmi yang berorientasi pada pemanfaatan hasil temuan di bidang sains untuk membuktikan berbagai fakta ilmiah yang pernah disebutkan dalam Al-Qur’an. Maksud dari sains ini adalah ilmu pengetahuan tentang alam semesta, seperti: ilmu teknik, astronomi, biologi, flora dan fauna, geologi, dan lain sebagainya.
Pemikiran penafsiran secara ilmiah mengalami perkembangan yang cukup pesat sampai sekarang ini, sehingga memberi dorongan yang cukup besar bagi para ilmuan untuk menulis buku tafsir yang didasarkan atas pemikiran secara tematik atau maudhui. Menurut Dr. Abdul Mustaqim munculnya tafsir ilmi ini karena dua faktor: Pertama, faktor internal yang terdapat dalam teks Al-Qur’an, dimana sebagian ayat-ayatnya menganjurkan manusia untuk selalu melakukan penelitian dan pengamatan terhadap ayat-ayat kauniyah atau ayat kosmologi.
***
Seperti yang tertera dalam QS. Al-Ghasyiah yang berisi perintah Allah kepada manusia untuk bertafakur tentang alam semesta, baik secara material maupun spiritual. Karena Allah menciptakan semua kejadian itu tidak sia-sia, melainkan pasti ada rahasia dan hikmah di balik itu semua, yang merupakan sebagai bukti atas kebesaran-Nya. Dari faktor internal ini, dapat disimpulkan bahwa ayat Al-Qur’an yang dapat dideduksi untuk menggali teori ilmu pengetahuan, yang dikatakan sebagai tafsir ilmi. Dan para pendukung tafsir ilmi, beranggapan bahwa penafsiran Al-Qur’an sesungguhnya tidak mengenal titik henti.
Kedua, yaitu faktor eksternal yang didukung dengan ditemukannya teori-teori pengetahuan dan kemudian dikaitkan dengan ayat Al-Qur’an atau dalam ilmu metodologi penelitian disebut dengan cara induktif. Salah satu bentuk metode induktif dalam tafsir yaitu diambil dari contoh fenomena alam yang ada lalu ditarik ke hal yang bersifat umum atau dikaitkan dengan ayat Al-Qur’an, seperti contoh 2 air yang tidak menyatu, ternyata jika diteliti, telah tertulis pada QS. Ar-Rahman.
Terkait perkembangan tafsir ilmi, khususnya di Indonesia, juga sudah mulai ada dan berkembang sejak tahun 1900, dan tercatat memiliki 3 periode. Episode awal sejarah tafsir ilmi di Indonesia yaitu ada Al-Furqan fi Tafsir Al-Qur’an, yang mengafirmasi bahwa Al-Qur’an sangat memungkinkan untuk dipahami melalui kacamata ilmu pengetahuan.
Lalu periode berikutnya pada tahun 1951 hingga 2000, beberapa tafsir yang menampilkan penafsiran ilmiah adalah Tafsir Al-Azhar karya Hamka, Samudera Al-Fatihah milik Bey Arifin, Tafsir Al-Qur’anul Majied An-Nur karya Hasbi Ash-Shiddieqy, dan lain-lain.
Dan pada periode ketiga, yaitu pada tahun 2000 hingga sekarang, mulai banyak dan berkembang. Hubungan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan mendapat perhatian yang cukup besar dari kalangan ilmuan muslim.
Beberapa di antaranya adalah; Tafsir Salman, Tafsir Kementrian Agama, dan banyak pula buku atau literatur yang membahas khusus dalam cangkupan Al-Qur’an dan Sains, seperti; Dimensi Sains Al-Qur’an, Ayat-Ayat Semesta, Sisi-sisi Al-Qur’an yang Terlupakan, Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’an, dan lain-lain.
Pandangan Ulama Mengenai Tafsir Ilmi
Pandangan para ulama mengenai tafsir ilmi terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menerima dan yang menolak. Berikut pembagian kelompok dan beberapa pandangannya:
Ulama yang Menerima Tafsir Ilmi
Pertama, Imam Abu Hamid Al-Ghazali, ia meyakini adanya ilmu pengetahuan di dalam Al-Qur’an. Ia mengutip pendapat ulama bahwa Al-Qur’an mencangkup 77.000.200 ilmu di dalamnya. Dan setiap makna dalam Al-Qur’an mengandung makna zahir dan batin. Di dalam kitabnya Jawahir Al-Qur’an, ia menguraikan bahwa banyak sekali jenis ilmu pengetahuan yang termaktub di dalam Al-Qur’an seperti; ilmu kedokteran, ilmu astronomi, ilmu anatomi tubuh, dan lain sebagainya.
Kedua, Jalaluddin al-Suyuthi, seorang ulama dan penulis buku Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, yang berkeyakinan bahwa Al-Qur’an itu mencangkup seluruh ilmu, dan tidak lekang oleh waktu, di dalam Al-Qur’an dijelaskan segala peristiwa masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Seperti tentang ajal, ia memberi contoh pada QS. Al-Munafiqun, yang berbunyi “Allah tidak akan menunda kematian satu jiwapun jika ajalnya sudah datang” dan ini sebagai bukti bahwa umur seseorang telah ditetapkan jauh-jauh hari.
Para pendukung tafsir ilmi mempunyai argumen bahwa Al-Qur’an itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang tidak semua dapat dijangkau oleh manusia, bahkan lebih dari itu, Al-Qur’an mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum Al-Qur’an turun dan kejadian yang akan terjadi di masa depan.
Ulama yang Menolak Tafsir Ilmi
Pertama, Abu Ishaq al-Syatibi, seorang ahli fikih yang bermazhab Maliki, yang beralasan bahwa ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, astronomi, dan lain sebagainya, sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum Al-Qur’an diturunkan.
Sedangkan agama Islam telah membagi ilmu pengetahuan itu menjadi dua, yaitu ada yang benar dan ada ilmu yang sesat, dan Islam telah menguraikan manfaat dan bahaya dari ilmu-ilmu tersebut.
Al-Syatibi mengatakan bahwa ulama terdahulu tidak pernah mengorelasikan antara ilmu pengetahuan dengan Al-Qur’an, dan tujuan Al-Qur’an diturunkan adalah untuk menjelaskan hukum-hukum dan segala sesuatu yang berkaitan dengan akhirat.
Kedua, Al-Syaikh Mahmut Syaltut, beranggapan bahwa sesungguhnya pandangan tentang tafsir ilmi pada ayat Al-Qur’an adalah salah besar. Al-Qur’an diturunkan dan berbicara kepada semua manusia bukan untuk menguatkan teori-teori keilmuan, karena hal ini dapat mengajak manusia tenggelam pada penakwilan Al-Qur’an tanpa dilandasi kebenaran dan menafikan kemukjizatan Al-Qur’an itu sendiri.
Editor: Yahya FR