Sejenak kita mengernyitkan dahi, mencoba merawang jauh ke belakang ketika peradaban Islam sedang mencapai puncak kejayaan (abad pertengahan). Plato telah mendefinisikan manusia sebagai animal rational yang kemudian dialihbahasakan oleh para filosof muslim—di antaranya Ibnu Khaldun—dengan ungkapan Bahasa Arab, الإنسان حيوان ناطق, sesungguhnya makna di baliknya sangat kompleks.
Secara bahasa, ungkapan tersebut berarti “hewan yang berkata-kata”. Tapi istilah ناطق yang berasal dari kata نطق (ن-ط-ق) lebih dari sekedar “berkata-kata” yang dalam istilah lain disebut كلم (ka-la-ma) atau حدث (ha-da-tsa). Kata na-tha-qa lebih dekat maknanya pada aktivitas “berfikir”. Tentu, siapa saja yang pernah mengenyam pelajaran atau ilmu manthiq paham bahwa istilah ini tidak hanya sekedar berkata-kata. Tetapi suatu aktivitas berfikir logis dengan menggunakan media artikulasi bahasa (logika).
Jika Plato adalah al-muallim al-awwal (guru pertama), maka Ibnu Khaldun adalah al-muallim al-tsani (guru kedua). Ia memiliki peran yang besar dalam mentransfer (dari Bahasa Yunani ke Bahasa Arab) dan sekaligus memberikan pemaknaan baru atas teori ini.
Berbeda dengan para pemikir aliran Konservatif (al–muhafidz), Ibnu Khaldun memiliki keyakinan yang kokoh tentang bagaimana konsep manusia menurut pandangan Islam yang diadopsi dan kemudian diadaptasi dari khazanah Hellenis ini. Ia juga berbeda konsep dengan para pemikir aliran Religious-Rasional (al-diniy al-‘aqlaniy) dalam memahami hakekat manusia.
Manusia, dalam pandangan Ibnu Khaldun, adalah makhluk yang mendapat anugrah wahyu, akal, pancaindra, dan fu’ad dalam menjalankan fungsinya di muka bumi. Ibnu Khaldun dalam makalahnya, “Tentang Ilmu Pengetahuan dan Berbagai Jenisnya, Tentang Pengajaran Serta Metode-metode dan Aspek-aspeknya, dan Tentang Berbagai Hal yang Bersangkutan dengan Itu Semua” (Nurcholish Madjid, 1994: 307), berpendapat bahwa manusia adalah makhluk berfikir.
Namun demikian, Ibnu Khaldun memberi sentuhan kreatif dengan memasukkan konsep-konsep Islam dalam sistem ontologi dan epistemologinya. Ibnu Khaldun tetap meletakkan wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia yang utama—yang membedakan secara fundamental konsep metafisika dan epistemologi dalam aliran Filsafat Pragmatisme kontemporer.
Dimensi fu’ad dalam perspektif Ibnu Khaldun, di sisi lain tampak menyerupai konsep “akal kategoris” dalam pragmatisme Aristoteles. Dengan ‘kemampuan’ (quwwah) untuk berfikir telah membedakan manusia dari jenis binatang. Kemampuan (quwwah), akal, dan fu’ad dalam konteks Filsafat Pragmatisme tampak menyerupai teori inborn—potensi bawaan sejak lahir (mind, kebebasan, curiousity). Sedangkan kecakapan hidup dan kemampuan mengetahui Tuhan lewat wahyu yang disampaikan kepada para Rasul menjadikan manusia (muslim) dapat menguasai dunia (Muqaddimah, 2000: 521).
Khalifatullah fil Ardh
Baik teori animal rationalnya Plato ataupun teori pragmatismenya Ibn Khaldun sesungguhnya adalah formula-formula teoritis yang ditawarkan untuk menjelaskan makna kedudukan manusia sebagai khalifatullah fil ardh. Ketika Al-Quran mengisahkan drama kosmis tentang penciptaan manusia pertama—Al-Baqarah: 30—terdapat satu kedudukan strategis yang dianugerahkan Allah SWT kepada Adam AS. Yaitu, kedudukan sebagai khalifah di bumi.
Sejenak kita tengok literatur Islam Berkemajuan yang membahas tentang topik ini. Misalnya, dalam kitab Tafsir At-Tanwir (Juz 1) terbitan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kedudukan Adam (manusia pertama) sebagai khalifah dalam surat Al-Baqarah ayat 30 mengisyaratkan kedudukan yang mulia dan terhormat bagi manusia. Kedudukan tersebut yang membedakan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain ciptaan Allah SWT.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ditemukan suatu formula penting ketika menempatkan manusia sebagai “khalifah” Allah SWT. Bahwa ungkapan khalifah fil ardh yang dialamatkan kepada makhluk bernama Adam sebagai penempatan kedudukan yang amat mulia.
Disebutkan bahwa Adam dinilai lebih mulia di kalangan makhluk yang tertinggi, yaitu para malaikat. Perlu diketahui pula bahwa dalam Tafsir Ibnu Katsir, makna khalifah didefinisikan sebagai “suatu kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain silih berganti. Abad demi abad, dan generasi demi generasi.”
Nah, dari sini kita dapat mengikat makna bahwa terdapat dua karakter bagi makhluk bernama Adam yang mendapat julukan khalifatullah di muka bumi. Pertama, sebagai makhluk paling mulia dan terhormat yang mendapat anugrah besar untuk menjaga, merawat bumi, dan memakmurkan bumi.
Kedua, sebagai makhluk Allah SWT yang melangsungkan proses regenerasi dalam menjaga dan merawat kelestarian bumi. Inilah saya kira dua formula teoritis makna kedudukan manusia yang dalam konteks sejarahnya menjadi aktor peradaban. (Bersambung).
***
*)Tulisan ini merupakan seri keempat dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif.
Seri 1 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya
Seri 2 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Alquran, Wahyu yang Menyejarah
Seri 3 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Kisah dalam Alquran: Tujuan dan Ragam Qashash
Editor: Yusuf