Kata al-amanah, yang secara etimologis berarti “jujur dan lurus”, mempunyai arti terminologis syar’i “sesuatu yang harus dijaga dan dismpaikan kepada yang berhak menerimanya”. Karena pada dasarnya amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada orang lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya.
Karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu akan aman dan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu. Orang yang mampu melaksanakannya disebut al-hafidz, al-amin, dan al-wafy. Sedangkan orang yang menyia-nyiakannya disebut al-khain (pengkhianat).
Di dalam Alquran, kata amanah sering dikaitkan dengan ciri-ciri atau karakteristik sejati orang-orang yang beriman. Karena sifat ini senantiasa melekat dalam setiap aspek kehidupan orang beriman, baik dalam bidang muamalah atau yang lainya.
Kata Amanah Menurut Para Alim-Ulama
Rasyid Ridha ketika menafsirkan QS. al-Baqarah: 283 menegaskan bahwa yang dimaksud amanah pada ayat tersebut bersifat umum, tidak hanya terkait dengan dengan masalah hutang-piutang dan perdagangan saja, tetapi mencakup tugas-tugas lain.
Maka, dalam konteks pemerintahan, bila mereka (pemerintah) sudah menerima tugas yang diamanatkan oleh rakyatnya, maka mereka wajib melaksanakannya dengan sebaik-baiknya dalam hal disiplin, pengelolaan (keuangan), dan sebagainya.Sebaliknya, mereka tidak boleh berkhianat sedikitpun.
Amanah merupakan suatu tanggungjawab yang wajib dijaga dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk yang bersifat fisik, seperti harta dan jabatan. Maka orang yang diamanatkan harta, wajib menyampaikannya kepada yang berhak menerimanya, dan orang yang diamanatkan jabatan, wajib melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, dengan tidak menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau keluarga, seperti korupsi, kolusi atau nepotisme.
Oleh karena itu, agar tidak terjadi penyalahgunaan dan pengkhianatan, maka prinsip profesionalisme dan kualifikasi lainnya sebagai penerimanya harus dilakukan secara ketat.
Hal ini mengingat firman Allah:
قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ
Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.” (QS. alQashas: 26).
Ayat di atas dengan tegas menjelaskan pentingnya asas profesionalisme atau kemampuan seseorang secara kualitatif (al–quwwah) dan integritas moral yang luhur (dl-amin)sebagai syarat mutlak dalam merekrut pekerja atau pegawai.
Namun jika asas profesionalisme dalam rekrutmen pegawai atau pekerjaan hilang, Rasulullah telah mengingatkan akibat buruk yang akan menimpa:
“Dari Abu Hurairub ra. berkata:Rasululhh saw. bersabda:jika amanah disia-siakan, maka tunggulah saatnya (kehancuran). Abu Hurairah bertanya: bagaimana cara
amanat disia-siakan wahai Rasulullah? Rusul menjawab: jika suatu perkara (amanat/pekerjaan)diserahkan kepada orang yang tidak profesional, maka tunggulah saat (kehancuran).“(HR.Bukhari, no. 6015).
***
Dalam konteks sekarang, salah satu bentuk penyalahgunaan amanat adalah perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketiganya sangat berpotensi mengabaikan prinsip profesionalisme dan integritas moral.
Adapun metode penyampaiannya terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pada masa lalu, apabila seseorang akan menyampaikan amanah harta (uang) harus bertemu langsung dengan yang bersangkutan, maka sekarang cukup dengan mentransfer melalui bank.
Menyampaikan amanah sekarang pun dapat melalui media elektronik dan media cetak. Berdasarkan QS. al-Mu’minun: 8, al-Ma’arij: 32, al-Baqarah: 283, al-Anfal: 27, dan al-Nisa’: 58, Muhammad Abduh membagi amanah menjadi 3:
- Amanah hamba kepada Allah, yaitu janji mereka untukmentaati semua perintah Allah dan meninggalkan semualarangan-Nya, serta menggunakan hati nurani dan anggota
badannya untuk hal-hal yang bermanfaat baginya dan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ha1, ini semua perbuatan maksiat adalah pengkhianatan terhadap Allah. - Amanah hamba kepada sesamanya, yaitu menjaga sesuatuyang diterima danmenyampaikannya kepada yang berhak Misalnya diberi amanah barang titipan ataupinjaman, maka ia wajib menjaganya dari kerusakan atauhilang, dan wajib menyerahkan kembali kepada pemiliknyadalam keadaan seperti semula. Demikian pula bila ia diberiamanah suatu rahasia, maka ia wajib menjaga rahasia itu dari kebocoran. Al-Razi dalam tafsirnya mengatakan bahwa amanah semacam ini mencakup juga kejujuran para umara dan ulama dalam membimbing masyarakat. Oleh karena itu, pemimpin dan ulama yang tidak jujur, misalnya menyerahkan suatu pekerjaan atau jabatan kepada orang yang bukan ahlinya atau membawa masyarakat kepada kebatilan, khurafat dan bid’ah, serta suami atau istri yang menceritakan rahasia pribadinya adalah pengkhianat.
- Amanah hamba kepada dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia, karena mereka diberi anugerah akal untuk membedakan antara yang baik dan yang Manusia tidak boleh memilih sesuatu untuk dirinya, kecuali yang paling bermanfaat, baik menurut kaca mata diniah maupun kaca mata duniawiyah, dan tidak boleh mementingkan hawa nafsu di atas kepentingan akhirat. Rasyid Ridha mengatakan bahwa menurut para ahli kesehatan, kematian manusia itu disebabkan karena penykit atau bencana, maka menjaga diri dari sebab-sebab kematian adalah amanah.
***
Dalam beberapa ayat, perintah menyampaikan amanah didahulukan atas keadilan, karena amanah merupakan sumber keadilan dalam menetapkan hukum. Menjaga dan menyampaikan amanah adalah fitrah manusia, jika amanah tetap terjaga, maka manusia tidak perlu menuntut keadilan.
Dan karena pentingnya amanah, maka perintah menyampaikannya disebutkan dalam al-Qur’an tidak kurang dari enam ayat yang tersebar di beberapa surat,yaitu: QS. al- Baqarah: 283, Ali Imran: 75, al-Nisa: 58, al-Anfal: 27, al-Mu’minun: 8 dan al-Ma’arij: 32.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa perintah menyampaikan amanah dalam ayat tersebut (al-Nisa: 58), adalah bersifat umum, tidak terbatas hanya pada orang baik saja. Bahkan berkhianat kepada orang yang berkhianat pun dilarang sebagaimana yang ditegaskan dalam suatu Hadis yang ditakhrij oleh Imam Ahmad:
“Sampaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakan amanah kepadamu dan janganlah kamu berkhianat kepada orang yang pernah berkhianat kepadamu.” (HR. Ahmad, no. 14877).
Dalam Hadis lainnya ditegaskan sebagai berikut:
“Tidak sempurna iman seseorang yang tidak menepati amanah dan tidak sempurna agama seseorang yang tidak menepati janjinya. ” (HR. Ahmad, no. 12722).
Selengkapnya: Baca Buku Fikih Anti Korupsi: Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah