Henri Bergson I Di zaman yang serba berkelimpahan ini, wajar jika manusia modern semakin intens dengan perihal ‘kebebasan’. Kini manusia modern bukan hanya dipertemukan dengan problem pembatasan kebebasan saja, melainkan juga kebingungan melihat di mana letak kebebasan di tengah keterbukaan dan beragamnya pilihan.
Dalam arti yang lain, kebebasan seolah-olah sebatas kesadaran tentang tidak adanya intervensi dari luar. Maka, tak heran jika Erich Fromm dalam the Fear of Freedom mengatakan bahwa, sejarah keberadaan manusia sejatinya selalu tidak lepas dengan perjuangan meraih kebebasan.
Perihal kebebasan ini biasanya erat kaitannya dengan salah satu aliran dalam filsafat yang disebut eksistensialisme. Para filsuf seperti Kierkegaard, Sartre, Albert Camus, atau Karl Jaspers tidak habis-habisnya membahas persoalan kebebasan.
Meskipun pola pemikiran mereka berbeda-beda, tapi ujungnya selalu sama, yaitu bahwa kebebasan merupakan kemampuan yang bersumber dari dalam diri. Sebagai makhluk potensial, manusia perlu sadar atas keberadaannya untuk menemukan dan menggunakan kemampuannya (red:kebebasan).
Dengan demikian, jika zaman modern seakan-akan memungkinkan manusia tidak bisa menggunakan, atau bahkan menemukan kebebasannya, maka tak ada artinya zaman yang berkelimpahan ini diagung-agungkan.
Dari banyaknya filsuf yang membahas kebebasan, nama Henri Bergson atau terkenal dengan sebutan bapak intuisionisme modern menjadi salah satu di antaranya. Meskipun ia bukan termasuk jajaran filsuf eksistensialis, tapi pemikirannya yang bercorak epistemologis, agaknya bisa dijadikan kacamata untuk melihat dan mengatasi problem kebebasan manusia.
Mungkin, di titik ini terkesan absurd karena mengandaikan intuisionisme berkaitan dengan problem kebebasan. Seoalah-olah, kebebasan hanyalah tugas dari rasionalisme. Tapi sebenarnya tidak se-absurd yang diandaikan, sebab justru intuisi yang mendasari kemampuan rasional. Tulisan ini akan menjelaskannya, demikian pula menunjukkan bahwa intuisi juga mampu dipakai sebagai modal menghadapi problem kebebasan.
Cara Kerja Intuisi
Mari mempertegas pemahaman mengenai intuisi terlebih dahulu sebelum menuju pembahasan intinya. Intuisi, sebagaimana dalam artikel tentang filsafat intuisionisme yang ditulis Taufik Kurahman, merupakan jenis epistemologi yang melampaui akal dan pancaindra. Intuisi memungkinkan pengetahuan tanpa adanya upaya kalkulasi rasional; pengetahuan datang begitu saja di dalam kesadaran manusia.
Contoh paling sederhana dan umum kita alami biasanya ketika kita fokus mencari handphone yang hilang dan tidak ketemu, tapi giliran kita tidak fokus mencari handphone-nya, tiba-tiba kita ingat kalau handphone itu ternyata ada di tempat yang sebelumnya kita kunjungi. Hal itu menandakan bahwa kendatipun kita fokus berpikir se-rasional mungkin, itu tidak bisa menjamin akan menghasilkan sesuatu yang diinginkan.
Henri Bergson mengemukakan hal semacam itu dalam dua poin, yaitu ingatan dan materi. Menurutnya, pengetahuan manusia tentang dunia sebenarnya hasil dialog antara persepsi tentang materi dengan memori. Pandangan Bergson tersebut persis dengan psikolog Amerika, Steven Pinker yang mengatakan bahwa apa yang selama ini kita anggap rasional, itu hanyalah seolah-olah. Manusia tidak pernah benar-benar mengetahui ihwal materi. Ia hanyalah memproyeksikan pengetahuan yang ada di dalam bawah sadarnya dengan cara tertentu yang dianggap rasional.
Tapi juga perlu hati-hati dengan intuisi. Ia tidak sama dengan insting. Perbedaan dari keduanya terletak pada kesadaran. Intuisi sadar atas pengetahuan yang didapat, sementara insting tidak sadar. Jadi, kalau dirumuskan secara sederhana, intuisi bekerja berdasarkan kesadaran mendalam tentang materi yang sebelumnya sudah diingat.
Waktu: Matematis dan Durasi Menurut Henri Bergson
Setelah memahami intusi sebagai hasil dari pekerjaan ingatan dan materi, selanjutnya Bergson menjelaskan keterkaitan antara intuisi dengan waktu. Menurutnya, terjadinya intuisi tidak lepas dari waktu sebagai instrumennya.
Henri Bergson membagi waktu ke dalam dua jenis, yang ia sebut dengan matematis dan durasi. Waktu matematis diketahui sebagaimana pada umunnya adalah waktu objektif; waktu yang dapat disadari oleh semua umat manusia. Dalam hal ini, contoh paling konkret seperti halnya pukul 1 sampai 24, ataupun pagi, siang, sore, dan malam.
Bagi Bergson, waktu matematis sangat sulit membawa manusia pada kemampuan intuisi. Sebab, waktu matematis cenderung menuntut manusia untuk hidup berdasarkan hal eksternal, dan bukan berdasarkan kebebasan diri sendiri.
Sementara durasi, menurut Bergson adalah waktu yang memungkinkan manusia hidup berdasarkan keputusan-keputusan pribadinya. Intuisi sangat dekat dengan waktu durasi. Sebab durasi selalu melepaskan keterikatan manusia dari hal eksternal. Contohnya, ketika kita berkendara dengan seseorang yang dicintai, sejauh apapun jaraknya, maka rasanya akan jauh berbeda dibanding berkendara dengan hanya seorang diri. Itulah durasi; semacam waktu yang menuntun manusia untuk berada pada kesadaran eksistensial.
Kesadaran, Kebebasan, dan Penghayatan
Jika sebelumnya kita benar-benar memahami keterkaitan antara intusi dan waktu, maka secara tidak langsung kita akan tahu bahwa sebenarnya intusi itu perihal kesadaran. Baik secara sadar maupun tidak, waktu matematis sebenarnya mengekang kita dalam hal apapun. Kita menjadi tidak bebas ketika menjalani hidup berpatokan pada waktu matematis. Kesadaran kita seperti diatur oleh waktu matematis agar hidup secara mekanis.
Tepat di situlah Bergson dalam bukunya berjudul Creative Evolution mengkritik corak pemikiran Barat yang mekanistik dan pemikiran Timur yang finalistik. Menurutnya, kedua pemikiran tersebut membuat manusia tidak bebas. Manusia dengan kesadaran eksistensialnya, tidak bisa diasumsikan seperti halnya robot yang bergerak berdasarkan hal-hal yang pasti. Kesadaran mekanis dan finalis, demikian lanjut Bergson, justru mematikan manusia sebagai makhluk potensial.
Dari serangkaian pemaparan mulai dari cara kerja intuisi, waktu, dan kesadaran, Bergson sebenarnya secara implisit mengemukakan ihwal kebebasan dengan sangat filosofis. Yaitu bahwa kebebasan tidak akan bisa diraih jika manusia masih terkungkung atau hanyut ke dalam hal-hal yang ada di luar dirinya. Ia menitikberatkan waktu sebagai causa prima dari problem kebebasan. Manusia harus menyadari tentang waktu ‘durasi’ agar bisa mengakses kebebasan.
Demikian juga, bukan berarti Bergson secara radikal menghilangkan sikap rasional manusia. Lain daripada itu, ia sebenarnya mengatakan bahwa jangan terlalu mengangung-agungkan rasional untuk menjalani kehidupan. Selain karena rasionalisme di beberapa situasi mengalami kelemahan, juga rasionalisme membutuhkan sikap intuitif agar bisa optimal. Dengan kata lain, manusia membutuhkan penghayatan ingatan dan materi agar bisa bebas dari hal-hal eksternal yang mengekang.
Editor: Soleh