Perspektif

Sejarah Haji Indonesia (3): dari Haji Swasta menuju Haji Negeri

5 Mins read

Sesudah penyerahan kedaulatan Menteri Agama RIS K.H.A. Wahid Hasjim tahun 1951 menghidupkan kembali cita-cita lama umat Islam Indonesia melalui para pemimpinnya untuk memiliki kapal haji. Usaha pengumpulan saham kepada calon-calon haji untuk pembelian kapal haji dihidupkan kembali. Rencana tersebut menemui kegagalan dan uang saham yang telah terkumpul dikembalikan kepada masing-masing tanpa potongan.

Cita-cita pengadaan kapal haji yang mengalami liku-liku sejarah panjang baru terwujud pada 1 Desember 1964/27 Rajab 1384 dengan berdirinya PT. Pelayaran Arafat. Pelindung PT. Arafat adalah Presiden Soekarno selaku pribadi. Para pendiri PT. Pelayaran Arafat antara lain; Letjen H.M. Muljadi Djojomartono selaku Ketua Wali Pemegang Saham, Jenderal A.H. Nasution, Ali Sadikin, H. Anwar Tjokroaminoto, K. Broto Sutardjo dan H. Bakrie Sudja. Sri Sultan Hamengkubowono IX juga sebagai pendiri PT. Pelayaran Arafat.

Saham PT. Pelayaran Arafat berasal dari umat Islam calon jemaah haji dan saham pemerintah. Pengumpulan dana sebagai saham pembelian kapal haji diatur dan dilaksanakan oleh Dewan Urusan Haji dengan restu Presiden Soekarno.

Saya kutip tulisan H.A. Musaffa Basjyr dalam Tajuk Rencana Majalah Bulanan Islam Kiblat edisi No 1 Tahun Ke XII/1965 mengulas peresmian PT. Pelayaran Arafat bahwa lahirnya PT Arafat adalah suatu pembuktian bahwa umat Islam dalam mengejar cita-citanya, tidaklah kenal putus asa, walaupun sebelum itu telah menemui kegagalan-kegagalan, semua tetap dalam tekad untuk mencapainya.

PT. Pelayaran Arafat tahun 1965 membeli 3 buah kapal laut untuk pengangkutan jemaah haji. Salah satunya diberi nama oleh Presiden Soekarno, Kapal Nyut Nya Dhien Srikandi Muslimah. Sedangkan permintaan untuk menyelenggarakan perjalanan haji dengan pesawat udara tidak disetujui pemerintah. Setelah beberapa tahun beroperasi, perusahaan milik umat Islam itu mengalami kesulitan keuangan disebabkan missmanagement di tengah semakin bertambahnya pendaftar haji.

Pemerintah tidak bisa menyelamatkan PT Pelayaran Arafat dan menyatakannya pailit sekitar tahun 1976. Perjalanan haji dengan transportasi kapal laut ditiadakan mulai tahun 1979, tidak lama setelah PT. Pelayaran Arafat dinyatakan pailit. Sejak saat itu transportasi haji hanya menggunakan pesawat udara.

Sejak dekade pertama Orde Baru penyelenggaraan haji sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah dan dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah seluruh Indonesia. Perubahan kebijakan dimulai di masa Menteri Agama K.H. Moh Dachlan. Pada waktu itu terbit Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969 tanggal 7 Maret 1969 dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1969 yang mengatur penyelenggaraan haji sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah.

Baca Juga  51 Jemaah Dibadalhajikan, 136 Orang Disafariwukufkan

Pemerintah berupaya meyakinkan masyarakat agar bisa menerima kebijakan monopoli penyelenggaraan haji oleh pemerintah untuk kepentingan jemaah haji dan meminimalisir problem dalam pelayanan haji yang sering muncul di lapangan.

Kebijakan menghentikan penyelenggaraan haji oleh organisasi atau pihak swasta dikritik oleh sejumlah tokoh umat Islam karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai kebebasan beragama dan beribadah serta melanggar Ketetapan MPRS Nomor XXIII Tahun 1966 mengenai larangan monopoli yang merugikan rakyat. Menteri Dalam Negeri Amirmachmud dalam Musyawarah Kerja Urusan Haji Ke-5 se-Indonesia tanggal 24 Maret 1969 menyampaikan bahwa dalam menyelenggarakan urusan haji tidak ada motif-motif catut, dagang atau cari untung pada pemerintah.

Sejalan dengan penguatan tata kelola haji Pemerintah membentuk Badan Koordinasi Penerangan Haji (Bakopen Haji) yang bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat. Sebelumnya, di masa Orde Lama sudah ada Dewan Urusan Haji (DUHA) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat H.M. Muljadi Djojomartono.

Kebijakan pemerintah secara drastis mengambil-alih penyelenggaraan haji dilatarbelakangi kekecauan pengurusan haji oleh pihak swasta dalam hal ini Mukersa Haji dan Yayasan Al-Ikhlas. Ketika itu Yayasan Al-Ikhlas akan memberangkatkan 850 jemaah haji dengan mencarter kapal Tampomas. Pembayaran cek untuk biaya pengangkutan jemaah haji di Bank of America ternyata cek kosong disebabkan dananya tidak mencukupi. Pembatalan keberangkatan calon haji ke tanah suci ketika itu menjadi isu nasional yang memilukan.

Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (Husami) yang dipimpin oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua Yayasan telah merencanakan akan menyelenggarakan perjalanan haji dan telah lebih dari 1.000 orang calon jemaah haji mendaftar dan telah menabung. Husami terkena dampak tidak diperbolehkan memberangkatkan jemaah haji. Sementara itu kondisi keuangan dan manajemen Husami juga bermasalah. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah melarang penyelenggaraan haji oleh organisasi atau swasta dimaksudkan untuk melindungi jemaah haji, meski tidak memuaskan semua pihak.

Kementerian Agama kemudian melakukan restrukturisasi organisasi yang menangani urusan haji dengan membentuk Direktorat Jenderal Urusan Haji, dengan Dirjen Haji yang pertama yaitu Prof. K.H. Farid Maruf (mantan Menteri Urusan Haji). Direktorat Jenderal Urusan Haji pernah digabung dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Sejak tahun 2010 dipisah kembali menjadi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Pembenahan dan penyempurnaan manajemen dan pelayanan haji dilakukan oleh Kementerian Agama secara bertahap dan berkelanjutan.

Baca Juga  Mengenal Badan Pengelola Keuangan Haji

Menteri Agama periode 1978 – 1983 Alamsjah Ratu Perwiranegara memprogramkan pembangunan asrama haji yang representatif. Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur (UPT Asrama Haji Embarkasi Jakarta) merupakan asrama haji pertama yang dibangun pemerintah. Dalam autobiografi Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (1995) Alamsjah Ratu Perwiranegara bertanya kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Burhani Tjokrohandoko; apakah selama ini tidak pernah ada gagasan untuk membangun asrama haji yang berkapasitas besar.

Ada rencana tetapi tidak pernah kesampaian karena kendala anggaran. Alamsjah melapor kepada Presiden Soeharto dan meminta izin untuk menggunakan sisa dana operasional haji untuk membangun asrama haji di atas lahan kosong milik Kementerian Agama di Pondok Gede. Presiden setuju dan mengizinkan, mengingat sisa dana haji bukan milik Kementerian Agama, melainkan yang punya umat Islam, jadi harus dikembalikan kepada umat Islam.

Menteri Agama Dr. H. Tarmizi Taher periode 1993 1998 membuat kebijakan strategis pengembangan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dan membentuk Dana Abadi Umat (DAU). Dana Abadi Umat diperoleh dari efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji. Untuk penataan manajemen keuangan haji, Kementerian Agama waktu itu mendatangkan konsultan yang berpengalaman di bidang perbankan.

Sejak awal reformasi di masa Presiden B.J. Habibie dan Menteri Agama Prof. H.A. Malik Fadjar lahir Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008. Undang-Undang menegaskan bahwa penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji.

Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia memberangkatkan jemaah haji dalam jumlah terbesar dibanding negara lain. Pendaftaran calon jemaah haji Indonesia dibuka setiap hari sepanjang tahun, namun jumlah jemaah haji setiap negara dibatasi kuota yang ditetapkan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sesuai kapasitas tempat pelaksanaan ibadah haji. Calon jemaah haji yang sudah mendaftar dan memperoleh nomor porsi dapat mengecek sendiri jadwal tahun keberangkatannya melalui aplikasi SuperApps Pusaka yang dikembangkan Kementerian Agama.

Baca Juga  The Invisible Hand di Era Pandemi COVID-19

Daftar tunggu atau antrian keberangkatan calon jemaah haji Indonesia hingga puluhan tahun, menjadi tantangan tersendiri yang belum terpecahkan. Sejak tahun 2023 Kementerian Agama dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memperkenalkan tagline Haji Berkeadilan dan Berkelanjutan.

Pelayanan haji Indonesia secara manajemen sangat baik sehingga mendapat apresiasi dari Kerajaan Arab Saudi. Kementerian Haji Arab Saudi mengakui jemaah haji Indonesia sangat tertib dan baik. Survei indeks kepuasan jemaah haji oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun meningkat sejalan dengan inovasi pelayanan haji yang dilakukan Kementerian Agama. Pada musim haji tahun 1443 H/2022 M indeks kepuasan jemaah haji Indonesia mencapai angka 90,45 atau masuk kategori sangat memuaskan. Indeks di atas angka 90 adalah yang tertinggi dalam 11 kali pelaksanaan survei oleh BPS sejak 2010.

Pemerintah Arab Saudi sebagai Khadimul Haramain al-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci) telah membangun berbagai fasilitas modern dan inovasi layanan untuk kelancaran ibadah haji umat Islam dari seluruh dunia. Jemaah haji Indonesia, khususnya jemaah haji regular, sudah tidak lagi menempati rumah-rumah Syekh dan pemondokan sederhana. Akomodasi jemaah haji Indonesia di Mekkah dan Madinah disiapkan sesuai standar hotel berbintang.

Sejak beberapa tahun terakhir Arab Saudi melakukan perluasan area Masjidil Haram, Muzdalifah dan Mina supaya bisa menampung sekitar dua setengah juta jemaah haji. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, Arab Saudi membuat sistem elektronik haji atau e-Hajj yang memuat informasi penting, seperti pembagian kuota jemaah haji regular, haji khusus dan kuota petugas.

Pelayanan dan kenyamanan di tanah suci adalah sangat penting, namun itu bukan menjadi tujuan datang ke Mekkah. Haji ke Mekkah adalah hanya untuk ibadah. Para pembimbing dan petugas haji perlu terus mengingatkan jemaah untuk memahami hakikat ibadah haji sebagai panggilan suci dan harus didasari dengan niat yang suci pula agar memperoleh haji mabrur.

Editor: Yusuf

M Fuad Nasar
15 posts

About author
Akitivis zakat. Penulis buku Fiqh Zakat Indonesia yang diterbitkan BAZNAS tahun 2015. Anggota Tim Editor Buku Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra (2015/2016)
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds