Biografi Rifa’ah al-Tahtawi
Memiliki nama lengkap al- Amir al- Jalil al-Marhum al- Sayyid Rifa’ah al- Tahtawi ibn Badawi yang dilahirkan pada tahun 1216 H/ 1801 M dengan nama ayah Rafi dan nama ibu Fatimah yang bertempat di Provinsi Suhaj said, kota tahta, bagian selatan Mesir.
Dalam kondisi keluarganya yang memprihatinkan soal ekonomi, Rifa’ah yang masih belia terpaksa belajar dengan bantuan dari keluarga ibunya. Adapun keluarga paman-pamannya terdiri dari para ulama atau Shuyukh, di antaranya: Sheikh Muhammad al-Ansari, Sheikh Abd al-Samad al-Ansari, Sheikh Abd al Aziz Abd al-Samad al-Ansari, dan Sheikh Faraj al -Ansari.
Pada usia enam belas tahun, Rifa’ah melanjutkan belajarnya di al-Azhar Kairo selama enam tahun. Setelah selesai pada tahun 1821 M, Rafiah diberi kepercayaan untuk mengajar di tempat belajarnya, yakni Universitas al-Azhar Kairo.
Pada tahun 1826 M, Rifa’ah berkesempatan menimbah ilmu di Prancis dengan program pemerintah Mesir pada waktu itu. Setelah menempuh studi di Prancis selama lima tahun, tepatnya pada tahun 1831 M, Rifa’ah kembali ke Mesir dan diangkat sebagai dosen penerjemah di sekolah kedokteran. Rifa’ah merupakan salah satu sosok awal Modernisasi Islam di Mesir, terutama dalam bidang pendidikan yang pertama kali bersentuhan dengan ilmu dari dunia Barat. Kepulangan Rifa’ah merupakan suatu harapan baru bagi Muhammad Ali (yang masih menjabat sebagai Presiden Mesir) dalam mereformasi Mesir menuju negara modern.
Melihat kondisi pendidikan Mesir pada waktu itu sangat memprihatinkan, Rifa’ah al-Tahtawi bercita-cita untuk mereformasi pendidikan di Mesir dengan tujuan untuk menciptakan peradaban Islam di Mesir semakin maju dan berkembang. Sebab dengan berkembangnya dunia pendidikan di Mesir, maka otomatis maju dan berkembang pula kondisi sosial masyarakat Mesir.
Modernisasi Pendidikan Islam di Mesir
Berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte membuka mata para ulama pemikir Mesir untuk berani menuju modernisasi di berbagai dimensi dengan meningGalkan keterbelakangan sejak runtuhnya Baghdad di tangan Hulagu Khan. Pada masa ini, pendidikan di Mesir lebih mengutamakan metode penguasaan dengan cara menghafal di luar kepala. Hal ini yang menyebabkan kondisi pendidikan di masyarakat Mesir sangat doktrinal, tidak ada telaah pemahaman dan pengkajian. Dapat dikatakan, pendidikan pada masa ini sangat mematikan nalar para murid sehingga ilmu pengetahuan tidak berkembang atau mengalami stagnasi.
Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya modernisasi pendidikan menurut Rifa’ah, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal yakni kebutuhan pragmatis umat Islam yang memerlukan sistem pendidikan yang bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak kaum Muslim yang berkualitas dan bertaqwa. Sedangkan faktor eksternal, yakni terdapat kotak antara Islam dengan peradaban Barat. Dengan adanya kotak ini, menumbuhkan dan membawa perubahan kaum Muslim untuk belajar kepada Barat. Sudah menjadi fakta bahwa peradaban Barat saat ini lebih maju. Jadi, jika kaum Muslim tidak ingin tertinggal maka kaum Muslim harus bisa mengungguli peradaban Barat.
Rifa’ah al-Tahtawi mengemukakan pemikirannya tentang pendidikan modern, di antaranya yaitu pendidikan yang universal. Adapun yang dimaksud universal disini adalah sasaran pemberian hak pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Sebab perempuan juga memiliki peran penting dalam struktur sosial untuk membangun peradaban, yakni peran sebagai ibu. Seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi putra putrinya. Tidak hanya itu, universal yang dimaksud juga termasuk untuk orang kaya dan orang miskin mereka memiliki hak yang sama untuk menempuh pendidikan.
Dampak Modernisasi Pendidikan di Mesir
Dalam proses modernisasi pendidikan, Rifa’ah mengusung tiga gagasan yakni al-Islah (reformasi), al-Tajdid (pembaruan) dan al-Tanwir (pencerahan). Dengan tiga gagasan itu, Rifa’ah berusaha merealisasikannya untuk memperjuangkan peradaban Mesir menjadi maju. Adapun dampak dari modernisasi pendidikan oleh Rifa’ah antara lain:
Pertama, terbukanya pemikiran orang Mesir terhadap kemajuan zaman. Pada masa sebelum modernisasi, mayoritas orang Mesir pada zaman itu memiliki pemikiran yang tradisionalis. Mereka menganggap bahwa jika kita mengikuti ajaran Barat, maka akan di cap sebagai pencemaran akidah, seperti halnya filsafat Barat. Tetapi ketika Rifa’ah menyampaikan dan berusaha merealisasikan pemikirannya, mulai muncul benih-benih modernisasi yang ditandai dengan munculnya ilmuan-ilmuan seperti Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, Qasim Amin, Muhammad Abduh,
Sebab jika sistem pendidikan dan mayoritas orang Mesir masih tradisionalis, maka peradaban Mesir tidak akan berkembang. Rifa’ah berpendapat jika sistem pendidikan masih bersifat tradisional, yang hanya mempelajari kajian-kajian keislaman dengan menafikan kajian-kajian umum, itu hanya akan mematikan nalar kritis dari seseorang dan menyebabkan Mesir ketertinggalan pengetahuan yang semakin berkembang.
Kedua, pemerataan pendidikan orang Mesir. Dalam pemikirannya, Rifa’ah juga mengusung universalisasi dan generalisasi pendidikan. Dimana didalamnya Rifa’ah mendukung untuk kaum perempuan juga mendapat pendidikan yang layak. Mengingat perempuan memiliki peran penting dalam membangun peradaBan. Bukan hanya untuk kaum perempuan, tetapi juga orang kaya dan miskin juga harus mendapat pendidikan yang layak. Demi merealisasikan ini, Rifa’ah dan pemerintah Mesir membangun sekolah yang lebih banyak untuk pemerataan pendidikan di Mesir.
Ketiga, pembaruan sistem dan kurikulum pendidikan. Rifa’ah tidak mengubah sistem pendidikan sepenuhnya, tetapi memperbarui sehingga dapat bersaing dengan kemajuan zaman. Rifa’ah melengkapi pemikiran pendidikan dengan kurikulum baru yang memiliki nilai manfaat pada negara yakni: 1) kurikulum untuk tingkat pendidikan dasar terdiri atas mata pelajaran membaca, menulis yang sumbernya adalah Al-Qur’an, nahwu dan dasar-dasar berhitung 2) untuk tingkat menengah (tajhizi) terdiri atas pendidikan jasmani dan cabang-cabangnya, ilmu bumi, sejarah, mantiq, biologi, fisika, kimia, manajemen, ilmu pertanian, mengarang, peradaban dan sebagian bahasa asing yang bermanfaat bagi negara 3) untuk menengah atas (‘aliyah) mata pelajaran terdiri atas mata pelajaran kejuruan. Mata pelajaran tersebut diberikan secara mendalam dan meliputi fiqih, kedokteran, ilmu bumi dan sejarah.
Editor: Soleh