News

Arkeolog Menolak Pemasangan Chatra Borobudur, Kemenag: Chatra punya Filosofi Agama

3 Mins read

IBTimes.ID – Supriyadi Dirjen Bimas Buddha mengatakan, agama Buddha memandang Chatra atau payung dalam perspektif filosofi spiritualitas yang sangat mendalam. Sehingga Chatra tidak bisa dipandang dari sisi arkeologi semata.

Hal ini disampaikan oleh Supriyadi di Jakarta pada Sabtu (29/7/23).

“Sebagai bangunan bersejarah tentunya Candi Borobudur tidak hanya dimaknai dari sisi disiplin arkeologi semata, namun akan lebih sempurna jika candi Borobudur sebagai situs peninggalan keagamaan juga dimaknai dari disiplin ilmu keagamaan yakni filosofi agama (Buddha) yang menjadi fondasi pada masa pembangunan Candi Borobudur,” terang Supriyadi.

Chatra (payung bertingkat tiga) diusulkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk dipasang sebagai upaya penyempurnaan Candi Borobudur. Chatra Candi Borobudur ditemukan saat proses pemugaran yang dipimpin Van Erp tahun 1907-1911. Chatra diduga pernah terpasang megah di puncak stupa utama Candi Borobudur.

Usulan ini untuk mengoptimalkan Candi Borobudur sebagai bagian dari lima destinasi pariwisata super prioritas (DPSP) melalui pengembangan Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha Indonesia dan Dunia ini disetujui Menko Maritim dan Investasi, Luhut. B. Panjaitan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Usulan ini dibahas bersama dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan lima DPSP di hotel Plataran Borobudur, 21 Juli 2023. 

Kepala Sangha Sangha Theravadha Indonesia Bante Sri Pannyavaro juga setuju dengan rencana itu. Menurutnya, memasang Chatra di puncak stupa utama Candi Borobudur merupakan penyempurnaan akan keagungan Candi Borobudur.

Hal senada disampaikan Anu Maha Nayaka Sangha Agung Indonesia, Biksu Bhadra Ruci. Tokoh agama Buddha ini menegaskan bahwa Candi Borobudur sebagai sebuah mandala tak akan terpisahkan dari elemen chatra atau payung mulia. Dari aspek tantra, chatra akan selalu ditemukan dalam praktik harian persembahan mandala seorang praktisi buddhis; dan dalam praktik meditasi mandala tantra maka ornamen chatra pun selalu hadir dalam visualisasi. Dan keberadaannya tidak sekedar sebuah hiasan belaka, namun mengandung makna dan fungsi spiritualitas tertentu. Sebagaimana dinyatakan di dalam Arya Manggala Kuta Nama Mahayana Sutra, “… Karena kepala Buddha adalah payung pelindung yang jaya,” maka ketiadaan chatra akan ibarat tubuh tak berkepala.

Baca Juga  Jemaah Diimbau Menghindari Panas dan Waktu Padat saat Umrah Wajib

Namun, usulan ini ditolak para Arkeolog. Mereka menganggap pemasangan Chatra tidak memenuhi kriteria rekonstruksi arkeologi, karena persentase kombinasi antara batu asli dengan batu yang baru. Chatra itu pun akhirnya dilepas kembali.

Menurut Supriyadi, Di dalam Kitab Lalitawistara Sutra dapat ditemukan pengunaan kata payung berkali-kali. Kitab Lalitawistara ini juga terukir dalam 120 keping relief di badan Candi Borobudur. Sutra ini, menceritakan riwayat Buddha mulai dari sebelum lahir hingga mencapai Penerangan Sempurna dan memutar Roda Dharma untuk pertama kalinya. Dalam Sutra Lalitawsitara itu pula digambarkan kualitas-kualitas Buddha kepada Bodhisatwa Maitreya, bahwa, “Buddha memiliki kualitas layaknya seorang anggota keluarga kerajaan karena Buddha adalah sang pembawa payung permata.”

Penggunaan kata Payung, kata Supriyadi, juga dapat ditemukan dalam Kitab Gandawyuha Sutra. Sutra ini mengisahkan Sudhana yang berkelana demi belajar kepada lebih dari 50 orang guru untuk mengejar pencapaian Pencerahan Sempurna. Dalam kisah tersebut, Sudhana digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu memiliki sebuah payung yang melindunginya. Gambaran payung tersebut terukir dalam 332 keping relief di Candi Borobudur.

Selain tertuang dalam Kitab Lalitawistara Sutra dan Gandawyuha Sutra. Kata Chatra (payung) juga ditemukan dalam kisah-kisah Jataka, Awadana dan Karmawibhangga Sutra. Kisah-kisah Jataka dan Awadana terukir dalam 720 keping relief di Candi Borobudur. Payung tersebut tergambar di mana para brahmin dilindungi oleh payung di atas kepalanya.

Selanjutnya di dalam Karmawibhangga Sutra yang menghiasi 160 keping relief di kaki Candi Borobudur, diajarkan bahwa salah satu cara menghimpun kebajikan yang luar biasa adalah dengan mempersembahkan payung kepada objek-objek suci. Melalui persembahan payung akan membawa hasil dapat terlahir sebagai orang yang berwibawa, berlimpah kekayaan, bisa terus bersama-sama dengan para Buddha dan Bodhisatva, bahkan hingga bisa membawa pada pencapaian pembebasan.

Baca Juga  Jaringan GUSDURian Akan Gelar Perayaan Istimewa Haul Gus Dur Ke-15 di Yogyakarta

“Karena itulah menjadi sangat penting dalam memaknai Chatra tidak hanya dari disiplin Arkeologi semata, namun juga dalam perspektif spiritualitas agama Buddha. Chatra atau payung memiliki makna filosofi sebagai objek persembahan surgawi dan sebagai sebagai pelindunga,” tegas Supriyadi. 

“Melalui ruang interpretasi keagamaan (Buddha), dapat ditemukan kesatuan pandangan bahwa kepingan batu-batu secara nyata ada dan ditemukan di Candi Borobudur sebagai payung, Chatra pernah terpasang ditempat yang paling mulia pada masanya. Sehingga keputusan untuk memasang kembali Chatra Candi Borobudur merupakan upaya dalam menyempurnakan Candi Borobudur sebagai Pusat Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha Indonesia dan Dunia,” sambungnya. 

Sejalan dengan itu, kata Supriyadi, sesuai arahan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kemenag merumuskan konsep Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha di Candi Borobudur dengan pendekatan Nilai Spiritual Kebudayaan dengan memperhatikan kepentingan pelestarian candi sebagai world heritage (cagar budaya) sekaligus sebagai bangunan keagamaan yang suci. Dengan demikian kunjungan wisata religi agama dapat menghargai, mempelajari dan mendalami pengertian nilai ajaran dan fungsi edukasi, spiritual, dan religius dari Candi Borobudur sebagai rekaman Buddhadharma Nusantara. 

“Melalui kunjungan wisata religi agama itu pula akan dapat dibangun perilaku saling mengapresiasi, menghormati, dan memperlakukan Candi Borobudur sebagai Living Spiritual Monumen dan sebagai sarana merit making. Dengan demikian dapat terbentuk sarana pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan Candi Borobudur yang lebih langgeng,” tandasnya.

Sumber: Humas Kemenag RI

Editor: Soleh

Avatar
1457 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
News

28.536 Guru PAI di Sekolah Ikuti PPG 2024 untuk Tingkatkan Kompetensi dan Kesejahteraan

1 Mins read
IBTimes.ID, Jakarta (20/12/24) – Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, telah sukses melaksanakan Pendidikan Profesi…
News

Adaptif Terhadap Zaman, Dosen Ilmu Komunikasi UNY Adakan Pelatihan Pelayanan Prima di PCM Depok Sleman

2 Mins read
IBTimes.ID – Menghadapi perubahan era yang berjalan sangat cepat dan dinamis, serta membutuhkan adaptasi yang juga cepat, diperlukan keahlian khusus untuk menghadapi…
News

Festival Moderasi Keindonesiaan: Menyemai Moderasi Beragama di Kalangan Milenial dan Gen-Z

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta (15/12/24) — Yayasan Pegiat Pendidikan Indonesia (PUNDI) bekerja sama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia menyelenggarakan acara Festival Moderasi Keindonesiaan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds