Buku setebal 333 halaman ini berisi keterangan detail tentang konsep moderasi beragama dan hal-hal yang mengitarinya. Seperti landasan teori, implikasi, komparasi fenomena dan tantangan, juga strategi perjuangan, bahkan itu dimulai dari perspektif historis. Jadi membaca buku ini kita juga akan mengingat kembali bagaimana Islam dulu baik di luar dan dalam Indonesia. Dan yang paling menarik, kita dapat membaca buku ini secara gratis dengan hanya mendownloadnya di web resmi Kementerian Agama. Pantas jika Kemenag mengatakan ini bisa menjadi rujukan dalam realisasi moderasi yang faktanya masih belum sepenuhnya dipahami masyarakat, bahkan kadang dicap sebagai liberalisasi beragama.
Sebelumnya, buku ini telah melalui uji kelayakannya selama 3 hari berturut-turut yang juga melibatkan Menteri Agama periode 2014-2019 dan undangan eksternal. Tepatnya pada 11-13 Januari 2022 M di Jakarta. Pembahasan dibagi menjadi 2 bagian dalam 10 bab. Enam bab pertama berisi sejarah perjuangan moderasi, landasan teoritis dan revitalisasinya di Indonesia. Sedangkan 4 bab sisanya berisi sederet implikasi dan strategi pencanangan moderasi.
Mengapa Harus Moderasi Beragama?
Di awal, kita akan disuguhi beberapa perspektif kata ‘moderasi’, misalnya dari Mohammad Hasyim Kamali, mantan pakar hukum di Universitas Islam Internasional Malaysia. Ia memaknai wasathiyah sebagai konsensus yang saling tarik-menarik antar dua konsep, seperti rasio dan wahyu, hak dan kewajiban, individualisme dan sosialisme, keharusan dan kesukarelaan, serta relasi dan perubahan.
Dari situ jelas bahwa moderasi bertolak belakang dengan ekstremisme, termasuk dari makna dasar ‘moderasi’ itu sendiri yang hanya memuat satu aspek wasathiyah, yaitu keseimbangan. Munculnya paradigma agama yang ekstrim, radikal dan fanatis di penjuru dunia menjadi alasan utama kenapa diskursus ini menjadi inisiasi final dalam membentuk komunitas yang adil, damai, inklusif, dan harmonis.
Termasuk mengurangi islamofobia dari berbagai bentuk kekerasan Agama, baik ucapan dan perilaku yang bernada kebencian dan menyulut perpecahan. Ditambah fenomena justifikasi kebenaran (truth claim) di tubuh Islam sendiri yang kadang tidak disertai pengetahuan yang cukup.
Selain merupakan ajaran Islam yang telah dipraktekkan mulai dari masa Nabi dalam Piagam Madinah hingga hari ini, dikatakan pula bahwa moderasi adalah al-Ṣirāṭ al-Mustaqīm, sebab tauḥīd sebagai basis teologis Islam juga berdimensi kesetaraan manusia di hadapan Tuhan. Kesetaraan inilah yang menjadi gerbang dimensi relasi antar muslim, manusia, gender, maupun sebangsa. Tentu banyak pertimbangan lain di dalamnya, baik perspektif tafsir al-Qur’an dan Maqāṣid al-Sharī‘ah.
Daripada itu, dalam buku ini terurai 9 nilai sikap moderasi beserta alasan-alasannya yang direkonstruksi dari perkembangan wacana moderasi sebelumnya. Di antaranya meliputi; anti kekerasan, kemanusiaan, keadilan, keseimbangan, kemaslahatan umum, komitmen kebangsaan, taat konstitusi, toleransi, dan penghargaan tradisi lokal. Nilai-nilai inilah yang mestinya dirangkul bersama, lebih lebih sesama muslim demi mewujudkan ummatān wasaṭān dan menjadi raḥmatān li al-‘ālamīn.
Strategi Bimbingan Moderasi Beragama
Secara khusus buku ini ditujukan untuk aparatur penyelenggara di bawah naungan Kementerian Agama Indonesia. Artinya kita sebagai pelajar juga harusnya paham dan mendukung program-program terkait jika jelas-jelas membawa kebaikan. Ada tiga strategi yang diusung untuk memperkuat moderasi beragama, yaitu sosialisasi dan diseminasi gagasan moderasi, pelembagaan moderasi beragama ke dalam program dan kebijakan yang mengikat, integrasi kebangsaan perspektif moderasi. Dari ketiganya terdapat lima langkah spesifik yang secara detail dapat dibaca di Rencana Strategis Kementerian Agama 2020-2024 M.
Apa yang dilakukan lembaga tidaklah lebih dari penyuluhan, evaluasi dan kebijakan tertentu yang perlu didukung dan diapresiasi. Tentu dampak dan manifestasinya juga bergantung pada masyarakatnya itu sendiri. Ada empat hal yang ditawarkan yang dapat kita tiru dan dukung dalam membimbing masyarakat untuk moderat. Pertama optimalisasi layanan publik. Misalnya adanya materi Islam santun dan damai serta toleransi dalam bahan ajar SMA/SMK yang dapat dibaca dalam Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas XI. Tulisan Abd Rahman & Hery Nugroho terbitan 2021 tentu hal yang perlu diperhatikan dan dipelajari betul oleh para guru agama. Kebijakan ini perlu diteruskan secara giat hingga pada masyarakat secara umum.
***
Terutama memanfaatkan 3 buku saku dan modul moderasi beragama yang ditulis Kemenag guna dimanfaatkan oleh para penyuluh agama yang terafiliasi. Demikian juga ditegaskan, bahwa salah satu tugas penyuluh adalah menjernihkan atau mengklarifikasi informasi dan fenomena keagamaan dalam masyarakat. Baik di dunia nyata dan maya. Sepatutnya mereka berdialog mengenai berbagai masalah aktual dan memberikan literasi kepada masyarakat. Artinya, moderasi akan terwujud jika terus disalurkan dan dilaksanakan betul oleh aparatur terkait. Termasuk memanfaatkan secara baik program pengembangan yang diselenggarakan serta mempercayai dan menghargai kebijakan dari sebuah riset. Sebab umumnya kebijakan birokrasi selalu dilegitimasi dengan pengetahuan, bukan sebaliknya.
Kedua, penyuluhan agama berbasis kesetaraan gender, terutama pelibatan da’i wanita. Sebab isu gender banyak melanda kalangan wanita untuk diluruskan dengan cara baik dan benar. Ketiga, Moderasi bagi generasi milenial. Bentuknya dalam hal ini berupa platform “creative lab” sebagai wadah dan pembiakan produktivitas generasi muda, termasuk di dunia digital atas semangat integrasi dan altruisme, atau dengan program-program lain dengan kolaborasi antar Direktorat dan satuan kerja lain. Dan keempat, penanganan konflik berbasis moderasi dan asas kebhinekaan, termasuk pencegahan dan pendampingan penyelesaian konflik sebagai kerekatan agama dan dinamika sosial.
Moderasi Beragama sebagai Civil Society
Konsep Civil Society merupakan lawan dari masyarakat negara (state society) dan masyarakat politik (Political Society), sebuah konsep yang memanfaatkan masyarakat sipil dalam menggapai episentrum nilai kemanusiaan dan relasi antara negara dan warganya. Muaranya adalah terwujudnya harmonisasi keragaman dalam berbangsa yang seimbang, setara, dan respek satu sama lain. Moderasi beragama adalah pondasinya.
Konsep ini tidak semata-mata diproyeksikan oleh satu lembaga saja, melainkan harus berisi banyak lini seperti keagamaan, pers, pendidikan, serta lini sosial lain. Menurut Ahmad Tholabi dalam tulisan berjudul “Civil Society dan Penguatan Nilai Kemanusiaan”, konsep ini lumrah diusung oleh masyarakat di negara demokrasi dalam menjunjung humanisme. Bahkan telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia pasca reformasi dalam melerai dinamika kebijakan negara serta dinamika internal di masyarakat.
Apa yang dicita-citakan tidak lain adalah sebagai proses perekatan antar pihak dalam membentuk advokasi dan negosiasi dalam perubahan kebijakan publik yang mengancam kebhinekaan di Indonesia, terlebih di era fake news dan propaganda seperti hari ini. Maka dari itu, buku ini hadir sebagai bentuk ikhtiar dalam merawat keberagaman moderat yang telah pernah dicapai oleh kelompok islamis dan nasionalis Indonesia dalam Pancasila dan kemerdekaan yang kita rasakan saat ini. Mendukung moderasi, berarti kita sudah menjaga apa yang telah ditukar nyawa oleh para pahlawan Indonesia.
Daftar Buku
Judul: Moderasi Beragama Perspektif Bimas Islam
Pengarang: Tim Penyusun Ditjen Bimas Islam
Penerbit: Sekretariat Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama
Tanggal Penerbit: 2022
ISBN: 978-623-93799-3-3
Editor: Soleh