Feature

Ajaran Sufisme Ibn Arabi Tidak Terpengaruh Filsafat (1): Sebuah Tinjauan Ulang Biografi

5 Mins read

Telah mafhum di kalangan peneliti maupun menulis tasawuf bahwa ajaran Ibn Arabi (w. 638 H) sangat penuh dengan term-term filsafat atau lebih tepatnya disebut tasawuf-falsafi. Tak hanya itu, Ibn Arabi juga dianggap sebagai pelopor lahirnya tasawuf-falsafi dalam tradisi mistik Islam. Ajaran tasawuf-falsafi sendiri mengandaikan bahwa antara tasawuf dan filsafat diintegrasikan secara harmonis dan membentuk ajaran baru yang khas bercorak teosofi, yakni sebentuk tasawuf yang bercorak filsafati. Artinya, filsafat mengambil bentuk dalam tubuh tasawuf yang bersifat rasional.

Salah satu ide sufisme Ibn Arabi yang dianggap bercorak tasawuf-falsafi terletak pada ajaran wahdatul wujud, kendati Ibn Arabi sendiri tak pernah menyebut istilah ini. Wahdatul wujud adalah sebentuk ajaran yang beranggapan bahwa Tuhan dan makhluk pada dasarnya adalah satu dan tidak terpisahkan. Dalam tradisi filsafat, sistem seperti ini biasanya sangat dekat dengan filsafat monisme.

Hemat saya, pandangan bahwa sufisme Ibn Arabi bercorak tasawuf-falsafi kiranya harus ditinjau ulang. Sebab, dalam peninjauan terhadap kajian biografi Ibn Arabi, baik penulisan biografi awal maupun pada masa modern, riwayat hidup beliau sama sekali tidak menandakan ada unsur-unsur filsafat yang hadir dalam seluruh perjalanan hidupnya. Tesis ini juga sekaligus untuk mematahkan hampir semua pandangan siapapun yang menganggap bahwa Ibn Arabi adalah seorang teosof.

***

Salah satu sebab terpenting mengapa penyematan filsafat begitu masif kepada ajaran sufisme Ibn Arabi adalah lantaran kurangnya penelitian yang berbasis pada kajian riwayat hidup Ibn Arabi. Dengan mencermati riwayat hidupnya, mau tidak mau seorang pengkaji akan masuk dalam ranah kesufian sebagai laku kesalehan yang dialami oleh sang sufi. Karena kesufian dalam pandangan Ibn Arabi – dan kaum sufi pada umumnya – adalah lingkup terberi (baca: intuisi) yang memungkinkan mereka mendapatkan penyingkapan ketuhanan.

Selain kurangnya pengkajian literatur tentang riwayat hidup Ibn Arabi, juga ada asumsi kuat bahwa penyematan filsafat dalam sufisme Ibn Arabi banyak juga disebabkan dari interpretasi para pengkaji terhadap karya-karyanya yang dianggap banyak menghadirkan term-term filsafat, atau bisa dikatakan bahwa bahasa yang digunakan Ibn Arabi dalam karya-karyanya sangat khas bercorak filosofis.

Baca Juga  Menghidupkan Spiritualitas di Era Modern dengan Neo Sufisme

Perlu ditegaskan bahwa interpretasi filosofis sangat berbeda dengan ajaran yang memang berbasis pada tradisi kefilsafatan. Interpretasi filosofis itu mirip seperti pendekatan filosofis dalam mengkaji sesuatu, artinya objek kajian tidak harus berkaitan dengan filsafat, hanya pendekatan dan metodologinya saja yang bercorak filosofis. Apa yang dilakukan oleh para penulis dan peneliti Ibn Arabi boleh jadi ada pada posisi ini, yakni mendekati pemikiran sufisme Ibn Arabi pada tataran filsafat. Sehingga seolah-olah pemikiran sufisme Ibn Arabi yang murni berbasis mistik juga sekaligus berbasis pada filsafat.

Tentu saja cara pandang dan cara mendekati sufisme Ibn Arabi yang seperti ini bisa berakibat fatal pada hasil penelitiannya. Tak hanya itu, pemikiran Ibn Arabi bukan hanya akan dikacaukan oleh keterselubungan interpretasi filsafat, tetapi juga pemikiran sufismenya akan kehilangan keotentikannya, dan tentu saja bukan Ibn Arabi lagi yang ada pada sosok yang dikaji tersebut.

***

Muhammad Yunus dalam Biografi Ibn Arabi (2015), mengatakan bahwa dengan mencermati riwayat hidup Ibn Arabi secara terperinci, penyematan sifat filsafat kepada pengalaman sang sufi menjadi bermasalah. Karena sifat filsafat itu tak pernah hadir dalam laku kesufian Ibn Arabi. Karena sifat itu tak pernah hadir, maka tak mungkin dikatakan sebagai tasawuf falsafi, filsafat kesufian, atau filsafat takwil, atau kemungkinan filsafat-filsafat lain yang disifati dengan sifat baru.

Untuk itu perlu kiranya menata ulang bangunan kesufian Ibn Arabi melalui penelusuran kajian biografis yang bertujuan untuk memurnikan pengalaman mistik Ibn Arabi dari terminologi filsafat sebagaimana selama ini dipahami secara keliru oleh banyak pemerhati tasawuf, khususnya pada pemikiran Ibn Arabi sendiri.

Dalam Ibn Arabi in the Later Islamic Tradition (1999: 25-48) karya Alexander D. Knysh disebutkan bahwa ada sekitar lima belas naskah biografi Ibn Arabi yang sebagian besar ditulis pada masa ketika Ibn Arabi masih hidup, dan beberapa ditulis oleh orang-orang yang pernah berjumpa dengan Ibn Arabi. Di antara kelima belas penulis tersebut hanya ada dua penulis saja yang menampakkan sikap negatif atau kebencian dengan Ibn Arabi, yakni al-Dhahabi (w. 748 H) dan al-Qastallani (w. 686 H). Sementara karya-karya yang lainnya, seperti ditulis oleh Ibn Nuqta (w. 629 H), Ibn al-Dubaythi (w. 637 H), dan Ibn Najjar (w. 643) – untuk menyebut beberapa saja –  lebih menekankan pada objektivitas dan menghadirkan kehidupan Ibn Arabi secara apa adanya.

Baca Juga  Media Islam dan Patriarki: Dominasi Laki-laki Atas Perempuan

***

Apa yang penting dari catatan Kynsh di atas adalah bahwa hampir semua penulis biografi awal tentang riwayat Ibn Arabi sama sekali tidak menghadirkan sosok Ibn Arabi yang dekat dengan dunia filsafat. Maksudnya, riwayat hidup Ibn Arabi tampak sama sekali tidak bersentuhan dengan term-term filsafat, baik dalam pengertian perjumpaan Ibn Arabi dengan para filosof di zamannya maupun ajaran-ajaran yang ditulis langsung melalui karya-karyanya.

Pada masa modern, usaha untuk menghadirkan riwayat Ibn Arabi sebagai seorang sufi sudah dimulai sejak Asin Palacios (1871-1944), seorang pendeta dan orientalis asal Spanyol. Ia menulis kajian dengan judul – dalam terjemahan Arabnya – “Ilm Nafs ‘inda Muhyiddin Ibn Arabi”, sebuah kajian ilmu jiwa dalam pandangan Ibn Arabi.

Hanya saja, karya ini banyak ditemukan kecacatan. Ini sebagaimana tergambar dalam perkataan Asin “Berkat jasa Ibn Arabi, ruh Neo-Platonisme dan Kristen bisa mencerap ke dalam kehidupan dan pemikiran-pemikiran Islam”. Kajian riwayat hidup di tangan Asin bukan malah menghadirkan hidupnya pengalaman kesufian yang memperoleh bentuknya dari kesalehan para sahabat dan Nabi. Di tangannya, kesalehan Ibn Arabi tak lebih hanyalah batu loncatan dari kesalehan Neo-Platonisme dan Kristen untuk meresap ke dalam kehidupan Islam. Tentu saja, cara baca seperti ini malah menghancurkan keshalehan Islami yang hidup dalam pengalaman mistik Ibn Arabi.

***

Pada tahun 1958, Henry Corbin, seorang pakar kajian Islam dari Prancis mencoba membenahi kesalahan Asin Palacios. Ia menulis buku berjudul “Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi”. Buku ini menarik karena selain kedalaman kajian yang disuguhkan, juga hadir dengan bahasa yang mengagumkan. Buku ini kiranya cukup berhasil dalam menggabungkan antara kecenderungan ilmiah dan kecenderungan sastrawi sehingga daya pikat pemikiran Ibn Arabi menjadi semakin menarik dan memukau.

Baca Juga  Sungkeman Tanpa Beban, Memaafkan Orang Tua di Hari Raya

Meski begitu, dalam kajian riwayat hidup di buku ini, Henry Corbin tampak mengaburkan sufisme Ibn Arabi dengan secara jelas membaurkan kajian filsafat yang disematkan kepada sang sufi ini. Lebih cacat lagi, Corbin juga mendudukkan Ibn Arabi dalam lingkup tradisi Syi’ah. Corbin ingin mengetengahkan satu anggapan bahwa keshalehan Ibn Arabi adalah bagian dari tradisi Syi’ah. Tentu saja, penafsiran seperti ini terkesan agak memaksakan, karena sikap Ibn Arabi terhadap Syi’ah jelas; ia mengecam dengan keras cara berpikir dan perilaku kaum Syi’ah dalam menjalankan praktik agama.

Beberapa tahun setelah meninggalnya Henry Corbin, Claude Addas merusaha membenahi alur riwayat hidup Ibn Arabi. Ia menulis buku berjudul “Quest for the Red Sulphur; The Life of Ibn Arabi”. Buku ini berusaha melacak riwayat hidup Ibn Arabi dari sumber-sumber pokok yang mungkin dapat dicapai. Dari awal sampai akhir, mencoba merunut kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupan Ibn Arabi.

Apa yang dilakukan oleh Addas dalam buku ini adalah mencoba melacak riwayat hidup dan ajaran sufisme Ibn Arabi secara apa adanya, dan hasilnya menunjukkan bahwa pengalaman hidup dan mistik Ibn Arabi betul-betul berada dalam rem tasawuf. Artinya, kesalehan sufistik Ibn Arabi bersifat otentik dan tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Ibn Arabi akrab dengan pemikiran kefilsafatan.

***

Dalam beberapa literatur tentang kajian biografi Ibn Arabi di atas kiranya dapat menjadi sedikit bukti nyata bahwa apa yang dialami oleh Ibn Arabi bukanlah pengalaman filsafat. Semata-mata, semua hal-ihwal yang dilakukan dan diucapkannya adalah murni pengalaman kesufian yang bersumber dari praktik keagamaan para sahabat dan Nabi Muhammad.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini memang belum menyentuh pada aspek ajaran-ajaran mistik Ibn Arabi, karena titik fokusnya lebih pada pengkajian riwayat hidup Ibn Arabi. Hal-hal yang berkaitan dengan ajaran sufisme Ibn Arabi akan disajikan pada kesempatan lain yang tentu saja bertujuan untuk makin memperkuat klaim teoritis bahwa pemikiran sufisme Ibn Arabi secara keseluruhan bersih dari klaim-klaim filsafat.

Editor: Soleh

23 posts

About author
Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds