Feature

Santri Krapyak dan Persinggungan Budaya Kraton

3 Mins read

Senja di ufuk barat mulai mengabarkan para santri untuk bergegas pulang ke pondok usai membeli makanan dan minuman di sekitar Panggung Krapyak, Yogyakarta. Beberapa di antara mereka menyempatkan untuk mengelilingi situs bersejarah tersebut sebelum akhirnya berjalan menuju pondok. Cat putih bangunan itu mulai menguning lantaran terpantul sinar jingga matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Namun, hiruk pikuk sekitar Panggung Krapyak belum juga berhenti meski santri sudah siap mendirikan salat Maghrib di Masjid Jami’ Al-Munawwir. Para pedagang masih setia menunggu santri untuk datang menyambutnya kembali usai kelas Diniyyah malam selesai.

Akhir-akhir ini, Panggung Krapyak tidak hanya akrab dikelilingi santri. Para pengunjung wisata mulai dikenalkan situs bangunan tersebut setelah Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai salah satu warisan dunia dari Indonesia pada tanggal 18 September 2023.

Sumbu Filosofi ini dinilai memiliki arti penting secara universal yang bertajuk lengkap Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks. Konsep tata ruang berdasarkan konsepsi Jawa dan berbentuk jalan lurus membentang antara Panggung Krapyak di sebelah selatan, Kraton Yogyakarta, dan Tugu Yogyakarta di sebelah utara ini dicetuskan pertama kali oleh Raja Pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada abad ke-18.

“Jadi sekarang wisatawan Jogja tidak cuma dikenalkan Kraton dan Tugu, tapi mereka juga mulai ke sini (Panggung Krapyak). Biasanya pakai mobil yang biasa buat antar wisatawan keliling Kraton,’’ ujar Shofiatul Hikmah, pembimbing Asrama Putri SMP-SMA Ali Maksum Yogyakarta.

***

Struktur jalan yang membentuk garis horizontal tersebut penuh dengan simbolisme filosofis dan merupakan perwujudan falsafah Jawa tentang keberadaan manusia. Falsafah Jawa itu meliputi “Sangkan Paraning Dumadi” atau daur hidup manusia, “Hamemayu Hayuning Bawana” atau kehidupan harmonis antar manusia dan antara manusia dengan alam, dan “Manunggaling Kawula Gusti” atau hubungan antara manusia dan Sang Pencipta serta antara pemimpin dan rakyatnya. Selain itu, ada dunia mikrokosmik dan makrokosmik. Untuk membuktikannya, dalam garis sumbu filosofi tersebut terdapat tradisi dan praktik budaya Jawa, baik dalam pemerintahan, hukum adat, seni, sastra, festival, dan ritual.

Baca Juga  Safari Intelektual Para Pemikir Muslim Moderat

Panggung Krapyak merupakan bangunan berbentuk ruangan menyerupai kubus dan digunakan sebagai tempat pengintaian untuk berburu binatang pada masa kasulatanan Mataram. Sebab, dulu kawasan Krapyak adalah hutan yang berisi beragam satwa. Para raja gemar berburu rusa atau menjangan di sana. Maka, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I) membangun tempat persembunyian berupa panggung sebagai pos berburu sekaligus tempat berlindung dari binatang buas.

Bangunan itu berukuran luas 17,6 m x 15 m dan tingginya 10 m. Dindingnya terbuat dari batu bata merah yang dilapisi semen dan setiap sisinya ada sebuah pintu dan dua buah jendela. Ada dua lantai dan lantai bawah terbagi empat ruangan yang dihubungkan oleh Lorong. Sedangkan lantai atas merupakan sebuah tempat terbuka dan dibatasi oleh pagar untuk tempat berburu Binatang. Selain tempat berburu, Panggung Krapyak juga dipakai sebagai pos pertahanan yang bisa memantau musuh dari arah Selatan sehingga bisa memberikan peringatan ke Keraton.

*** 

Saat ini, pihak Kraton Yogyakarta mulai sadar akan potensi wisata di Panggung Krapyak tersebut dan menyusun sejarah yang akan ditampilkan maupun diceritakan ke wisatawan yang berkunjung. Panggung Krapyak lekat dengan filosofi awal sangkan paraning dumadi yang digambarkan sebagai yoni atau alat kelamin perempuan, sedangkan tugu merupakan lingga atau alat kelamin laki-laki. Makna itu terbentuk lantaran ada pohon asem di sekitarnya dan adanya Kampung Mijen yang artinya wiji benih.

Saat mengisi pengajian di Pondok Ali Maksum, KH. Henry Sutopo mengingatkan ada yang janggal dengan filosofi Panggung Krapyak yang lekat dengan makna lingga yoni. Menurutnya, filosofi itu janggal dan tidak kuat. Sebab, lingga yoni itu merupakan peninggalan peradaban Hindu sedangkan Panggung Krapyak dibangun setelah selang hampir dua abad Mataram Islam. 

Baca Juga  Sektarianisme adalah Akar Terjadinya Krisis di Lebanon: Catatan Perjalanan dari Beirut

Selain itu, alasan HB 1 membangun Panggung Krapyak diilhami dari bangunan Kakbah, sedangkan Tugu merupakan alif mutakallim wahdah yakni Tuhan yang Maha Esa sebagai sumber awal kehidupan atau Sangkan Paraning Dumadi. Lambang adanya empat pintu yang saling berhubungan adalah lambing manunggaling kawula lan Gusti yang bersifat kosmopolit universal. 

“Tentu ada pertimbangan khusus mengapa Simbah Kyai Munawwir yang masih keluarga Kraton dulu membuka pesantren di dekat Panggung Krapyak dan menjadi pertimbangan mengapa logo Yayasan Pesantren Krapyak memakai backgroundPanggung Krapyak,’’ kata pengasuh pondok pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.

Sebenarnya, Panggung Krapyak dibangun oleh HB 1 yang mempunyai guru ngaji bernama Kyai Muhammad Fakih/Kyai Welit/Kyai Seda Laut yang tinggal di Wonokromo Pleret Bantul sebelah Selatan Kraton (sekarang Masjid Pathok Negara Wonokromo). HB 1 bergelar Ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Abdurrohman Sayyiding Panatagama Kholifatulloh Ingkang Jumeneng Kaping Setunggal ing Ngayojokarto Hadiningrat (1755-1792 M).

***

Selain itu, HB 1 seorang ahli ibadah salat lima waktu/puasa Senin Kamis dan membaca Al-Qur’an. Bahkan, beliau memiliki pusaka yang dikeramatkan yaitu Kyai Tunggul Wulung berwujud bendera kain dari kiswah Kakbah berisi tulisan syahadat/asma’ul husna/surat Al-Kautsar ditambah pusaka bendera lain berwarna hijau yang bertulisan Arab. Dari sejarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa HB 1 merupakan raja agamis.

Beliau sangat tegas untuk mengembalikan kembali makna filosofi Panggung Krapyak yang sesuai dengan latar belakang dari pembangunannya. Sebab, lokasi bangunan yang merupakan sumbu filosofi ini lekat dengan santri yang belajar di Yayasan Pesantren Krapyak. Di dalam yayasan tersebut terdapat banyak pondok pesantren, di antaranya ada pondok terbesar yaitu Pondok Pesantren Al-Munawwir dan Pondok Pesantren Ali Maksum. Bahkan, jumlah santri di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak mencapai lebih dari 2.000 santri. Maka, KH. Henry Sutopo aktif menyuarakan filosofi janggal ini di berbagai forum dan khususnya ke para santri, guru, dan pembimbing pondok.

Baca Juga  Kenangan dari Pak Karel Steenbrink

“Kalau ada guru sejarah di sini yang belum paham, bisa datang ke rumah saya. Ini penting untuk memahamkan sejarah ke para santri,” kata KH. Henry saat mengisi pengajian di pondok.

Editor: Yahya

*Artikel ini adalah hasil kerjasama antara IBTimes.ID dan Kemenag RI

Ronaa Nisa'us Sholikhah
2 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds