Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi ‘American Spring’?

4 Mins read

Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes ini kemudian oleh pengamat disebut sebagai Arab Spring atau Musim Semi Arab.

Ibarat musim semi, beberapa kepala negara seperti Tunisia, Mesir, Yaman, Libya dan serta beberapa negara di Afrika Utara seperti Aljazair, Yordania, Maroko dan Oman, mengalami keruntuhan rezim. Mereka yang beberapa dekade memimpin akhirnya mengundurkan diri setelah protes massal dari masyarakat.

‘American Spring’, Sebuah Keniscayaan?

Jika di dunia Arab terjadi gelombang protes yang mengakibatkan runtuhnya rezim yang telah lama berkuasa, maka di Amerika saat ini juga tengah terjadi gelombang protes dari dunia kampus. Namun akankah terjadi yang namanya ‘American Spring’?.

Dari laporan Mintpressnews.com, pada 27 April 2024,  istilah ‘American Spring’ menjadi trending saat warga Sana’a, Yaman, turun ke jalan dan mengibarkan spanduk solidaritas kepada mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Dalam salah satu spanduk yang dibawa bertuliskan “Dear American Student: They Can Arrest You, But They Can Never Arrest Your Sipirit” (Untuk Mahasiswa Amerika: Mereka dapat menangkapmu, tapi mereka takkan bisa mematahkan semangatmu).

Perlu kita ketahui bersama bahwa Yaman merupakan salah satu negara yang mendukung penuh kemerdekaan Palestina. Sejak Badai al-Qasha pada 07 Oktober 2023 lalu, rakyat Yaman di setiap hari Jumat selalu melakukan unjuk rasa besar-besaran sembari mengkritik mereka yang pro-Zionis.

Dalam kurung waktu seminggu di akhir bulan April atau seminggu pasca serangan Iran ke Israel (14 April 2024), ada kurang lebih 100 kampus atau sekolah di Amerika Serikat dan di negara lain-lain seperti Inggris, Italia, Jerman, Perancis, Irlandia. Juga ada Korea Selatan dan Jepang serta Australia yang mengadakan demontrasi anti Zionis bahkan sampai berkemah di area kampus.

Baca Juga  Dakwah Salafi: Infiltrasi, Agitasi, Propaganda

Demonstarsi ini awalnya hanya diikuti oleh mahasiswa dari kampus ternama seperti Universitas Columbia, tapi para profesor, dekan dan dosen juga ikut terlibat menyuarakan kemerdekaan Palestina, anti Zionis dan anti-Genosida yang terjadi di Gaza, Palestina.

Efek demonstrasi Universitas Columbia kian melebar ke kampus-kampus lain. Di antara kampus-kampus tersebut adalah Universitas Ohio, Universitas South Carolina LA, Universitas Washington dan beberapa kampus lainnya yang tersebar di berbagai kota. Tujuan utama dari perlawanan ala mahasiswa ini adalah menuntut pihak kampus untuk memutus hubungan dengan Israel.

Demonstrasi pro-Palestina adalah sebuah ‘kartu kekuatan baru’. Sebagaimana diberitakan oleh The Cradle.co, The US Student Intifada: Palestine’s News Soft Power Lavarage pada 30 April 2024, “hanya dalam waktu seminggu, ribuan mahasiswa berkumpul dalam protes di seluruh Amerika yang menuntut diakhirinya genosida di Gaza, penghentian bantuan militer Amerika ke Israel, divestasi dana kampus dan menjunjung hak pengunjuk rasa dari tekanan”.

Namun sayangnya, kartu kekuatan baru ini ternyata mendapat tekanan dari pihak pemerintah. Tindakan represif aparat kepolisian terhadap mahasiswa dan bahkan kepada profesor menunjukkan bahwa negeri Paman Sam itu sudah tidak lagi ‘demokratis’. Amerika tidak lagi menjadi rujukan negara demokrasi sebagaimana yang pernah digaungkan sebelumnya. Apalagi sudah banyak mahasiswa yang ditahan dan terancam di drop out dari kampus. Belum lagi dekan, dosen dan profesor yang mengalami luka fisik.

Salah satu akun berita di X @Btnewsroom membagikan video yang memperlihatkan mahasiswa ‘zionis’ menyerang tenda demonstran dengan kembang api dan bom asap. Kepolisian dari NYPD (New York City Police Dapartment) menyeret dan menangkapi mahasiswa lalu membawanya dengan bus.

Karma untuk Amerika?

Ada dua hal yang ‘reinkarnasi’ dan menjadi agenda perubahan pola pikir pemuda di Barat. Pada tahun 1968 di Universitas Columbia ada demonstrasi mahasiswa yang menuntut diakhirinya Perang Vietnam dan Apartheid di Afrika Selatan. Protes tersebut membuahkan hasil. Pemerintah akhirnya menarik pasukan militer dari Vietnam. Dan berakhirlah perang tersebut.

Baca Juga  Mohammad Roem (1): Membela Bapak Kasman Singodimedjo

Kemudian yang kedua adalah Arab Spring. Amerika adalah aktor dibalik massifnya demonstrasi rakyat di negara-negara Arab. Negara yang tidak sehaluan dengan kebijakan luar negeri Amerika satu persatu dirongrong kestabilan negaranya hingga akhirnya berganti rezim. Bashar al-Assad satu-satunya presiden yang tidak bisa digulingkan oleh pemberontak dengan bantuan dari NATO.

Kedua hal di atas adalah bukti dari ‘Super Power’ yang dimiliki AS dan tentunya atas kerja sama Israel. Para jutawan Yahudi yang juga Zionis menyuplai dana untuk industri militer. Kekuatan militer AS ini juga untuk sokongan bagi Israel dalam melakukan penjajahan dan genosida di Gaza, Palestina.

Demonstrasi Columbia 1968 dan Arab Spring menjadi karma bagi Amerika. Jika dulunya AS-lah sebagai ‘King Maker’ maka saat ini negeri Hollywood itu merasakan ‘pahitnya’ demonstrasi. Di jantung negara keresahan itu muncul. Kaum terpelajar tidak lagi ingin dibohongi dengan narasi dukungan ‘Israel membela diri dari Hamas’. Mereka melihat secara daring genosida di Gaza. 

Saat ini AS sedang pesakitan. Protes mahasiswa yang damai, tanpa merusak, malah ditangkapi. Bahkan senator AS, Marsha Blackburn menyebut mereka yang pro-Palestina sebagai teroris dan visa mahasiswa asing harus dicabut begitu juga dana pinjaman belajarnya. Para pejabat sudah hilang akal sehat dalam menanggapi ‘Badai Columbia’.

Demonstrasi Universitas Columbia, Bagaimana dengan Kampus di Indonesia?

Nampaknya efek ‘American Spring’ belum menjalar ke kampus-kampus tanah air. Hingga tulisan ini dibuat belum ada kampus yang secara resmi menyatakan solidaritasnya terhadap Palestina. Begitu juga dengan organisasi keagamaan di lingkup mahasiswa. Genosida di Palestina sudah menjadi isu global. Bukan lagi hal yang tabu untuk menyuarakan dukungan. Apalagi pemerintah kita saat ini lewat Kemenlu begitu besar harapannya akan kemerdekaan Palestina.

Baca Juga  Kemenangan Macron di Perancis: Tonggak Kebebasan Beragama Umat Islam

Lalu mengapa belum ada aksi serupa di kampus-kampus? Apakah mahasiswa di Indonesia belum menjadikannnya sebuah langkah prioritas? Kita juga tentu tidak bisa men-judge bahwa kaum terpelajar tidak peduli. Mereka peduli hanya saja masih berskala personal. Belum terorganisir seperti yang terjadi di Universitas Columbia.

Menurut Sukidi Mulyadi, Phd, dalam salah satu diskusi virtual yang dimuat oleh Kompas.com, 01 Mei 2024, ternyata banyak kaum Intelektual Indonesia yang tidak punya keberanian dalam menyampaikan dan menyuarakan sebuah kebenaran. Beliau menyampaikan hal tersebut dan dikaitkan dengan situasi politik saat ini. Dan mungkin ini juga berkaitan dengan tidak adanya unjuk rasa di kampus-kampus terkait genosida di Gaza.

Hal lain yang membedakannya juga adalah situasi sosial politik tanah air. Kita baru saja selesai Pemilu 2024 dengan segala riak-riaknya. Timnas Garuda Muda juga baru saja mengepakkan sayapnya di turnamen semifinal Piala Asia U-23 Qatar. Dan ini sejarah baru. Euforia keberhasilan timnas menjadi bahasan utama di berbagai kalangan dan menjadi pemberitaan utama di siaran nasional.

Kemudian kebanyakan mahasiswa Indonesia bukanlah berasal dari golongan elit. Ada yang kuliah karena faktor ‘nekad’, mendapat beasiswa miskin, prestasi, ada yang kuliah sambil kerja. Kemudian para dosen dan guru besar sibuk dengan administrasi kampus yang ‘ruwet’.

Editor: Soleh

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds