Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read

Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah pernikahan seorang selebgram dengan pasangan yang masih dianggap terlalu muda untuk memasuki ikatan suci tersebut.

Tindakan ini menimbulkan gelombang kritik dari masyarakat, yang mengharapkan sosok selebgram tersebut dapat memberikan contoh yang baik, terutama dalam konteks norma-norma sosial dan agama.

Bagi khalayak umum, fenomena ini berpotensi memperkuat normalisasi pernikahan dini, yang secara sosial dapat mengaburkan batasan usia yang tepat untuk membangun rumah tangga.

Masyarakat yang menyaksikan figur publik mengabaikan pentingnya kedewasaan emosional, fisik, dan finansial dalam pernikahan, bisa terpengaruh untuk melihat pernikahan dini sebagai hal yang wajar atau bahkan patut dicontoh.

Hal ini juga dapat memicu peningkatan angka perceraian dan ketidakstabilan rumah tangga, terutama ketika pasangan muda tidak siap menangani tekanan tanggung jawab keluarga.

Dalam konteks ini, ternyata ada ayat Qur’an yang membahas masa iddah bagi perempuan yang sangat kontroversial apabila hanya dipahami secara literal.

Makna Iddah dalam Islam

Iddah atau masa tunggu adalah periode yang diwajibkan bagi perempuan yang bercerai atau ditinggal mati suami, sebelum mereka dapat menikah lagi. Terdapat tiga alasan utama mengapa masa iddah ini diatur dalam Islam:

  1. Memastikan bahwa perempuan tidak sedang hamil, sehingga tidak ada kebingungan terkait siapa ayah biologis jika perempuan tersebut segera menikah lagi dan hamil.
  2. Menghormati nilai dan kesakralan pernikahan, dengan memberikan waktu bagi pasangan, keluarga, dan komunitas untuk merenungkan pentingnya lembaga pernikahan.
  3. Memberikan waktu untuk rekonsiliasi, terutama jika perceraian terjadi karena keinginan sepihak dari suami.

Alasan-alasan ini memperlihatkan bahwa masa iddah bukan hanya soal biologis, tetapi juga berhubungan dengan nilai-nilai sosial dan spiritual. Al-Qur’an menjelaskan beberapa situasi yang berkaitan dengan masa tunggu ini.

Baca Juga  Semiotika Roland Barthes: Mungkinkah Dipakai untuk Mengkaji Al-Qur'an?

Ayat pertama tentang masa iddah ada di al-Azhab ayat 49 yang menjelaskan bahwa jika pasangan tidak pernah melakukan hubungan seksual, maka tidak ada masa tunggu. Logis, karena tidak ada kehamilan yang perlu dipastikan.

Ayat kedua ada di al-Baqarah ayat 228, yang mengatur masa tunggu bagi perempuan yang telah melakukan hubungan seksual, yaitu selama tiga kali haid. Masa ini diperlukan untuk memastikan tidak adanya kehamilan, dan memungkinkan suami untuk rujuk jika keduanya ingin memperbaiki hubungan.

Ayat terakhir yang menimbulkan kontroversi adalah ath-Thalaq ayat 4 yang mengatur masa tunggu bagi perempuan yang tidak menstruasi, termasuk yang sudah tua, hamil, dan—yang menjadi sumber perdebatan perempuan yang belum pernah menstruasi.

Teks dan Terjemahan ath-Thalaq ayat 4

Ayat ini berbunyi sebagai berikut;

وَالّٰۤـِٔيْ يَىِٕسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ اَشْهُرٍۙ وَّالّٰۤـِٔيْ لَمْ يَحِضْنَۗ وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا

Artinya; Perempuan-perempuan yang tidak mungkin haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan. Begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid (belum dewasa). Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

Ayat ini adalah salah satu ayat yang sering menjadi pusat perdebatan di kalangan umat Muslim modern. Ayat ini berbicara tentang masa tunggu atau iddah bagi perempuan yang sudah menikah tetapi bercerai, dan masa tunggu ini berbeda-beda tergantung pada kondisi perempuan tersebut, termasuk bagi yang belum pernah menstruasi.

Kontroversi Penafsiran ath-Thalaq Ayat 4

Kontroversi utama dari QS 65:4 terletak pada frasa “dan mereka yang belum menstruasi”, yang dalam bahasa Arabnya tertulis “واللائي لم يحضن” (wa al-la’i lam yaḥiḍna). Secara literal, ini mengacu pada perempuan yang belum mengalami haid. Dalam tafsir klasik, seperti Tafsir al-Tabari dan al-Wahidi, ayat ini dianggap mencakup perempuan yang belum mencapai usia pubertas, termasuk anak-anak.

Baca Juga  Sayyid Qutb: Sastrawan Penulis Kitab Tafsir

Tafsir ini didasarkan pada konteks sosial pada zaman wahyu, di mana pernikahan anak bahkan dengan gadis yang belum mencapai usia pubertas adalah hal yang umum terjadi. Menurut tafsir ini, pernikahan dengan anak pra-pubertas dianggap sah dan iddah mereka adalah tiga bulan jika terjadi perceraian.

Sebagian besar ulama klasik mengikuti pandangan literal terhadap ayat ini. Al-Tabari, misalnya, dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat tersebut mengatur perempuan yang belum menstruasi, termasuk yang masih sangat muda. Pandangan ini juga didukung oleh ulama terkenal lainnya, seperti Ibnu Katsir dan Ibnu Abbas. Mereka melihat ayat ini sebagai aturan yang logis dalam konteks sosial saat itu, di mana pernikahan anak tidak dipandang bermasalah dan dianggap bagian dari norma masyarakat.

Bagaimana Pendapat Ulama Kontemporer?

Para ulama kontemporer secara umum menolak penafsiran literal ath-Thalaq ayat 4 yang mendukung pernikahan anak, dengan alasan bahwa konteks sosial dan hak asasi manusia harus diprioritaskan.

Ulama seperti Sheikh Yusuf al-Qardhawi dan Sheikh Ali Jum’ah berpendapat bahwa pernikahan harus melibatkan kematangan fisik dan emosional. Mereka menekankan bahwa Islam sebagai agama yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan manusia, tidak mendukung pernikahan anak karena hal tersebut merugikan dan melanggar hak-hak anak.

Sementara itu, ulama seperti Sheikh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Khaled Abou El Fadl menafsirkan ath-Thalaq ayat 4 secara lebih metaforis. Mereka berpendapat bahwa frasa “belum menstruasi” dalam ayat tersebut bisa merujuk pada perempuan dewasa yang memiliki masalah kesehatan atau menstruasi yang belum teratur, bukan anak-anak. Bagi mereka, teks Qur’an harus dipahami sesuai dengan konteks sosial, dan penafsiran literal tanpa mempertimbangkan perubahan zaman bisa berbahaya.

Pendekatan Maqashid Syariah yang diusung oleh ulama seperti Sheikh Abdullah bin Bayyah dan Jasser Auda menekankan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk melindungi kesejahteraan manusia, termasuk anak-anak. Mereka menganggap pernikahan anak sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah yang mengutamakan kemaslahatan individu. Reformasi hukum yang menaikkan batas usia pernikahan dianggap sejalan dengan prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi dalam Islam.

Baca Juga  Debat Tahunan, Perbedaan Pendapat tentang "Ucapan Selamat Natal"

Fazlur Rahman dan Amina Wadud, dua pemikir Islam modern, juga menolak penafsiran tradisional yang mendukung pernikahan anak. Fazlur Rahman menekankan pentingnya memahami Qur’an dalam kerangka etika universal dan keadilan sosial, dengan tidak terjebak pada interpretasi tekstual yang kaku. Amina Wadud, sebagai seorang feminis Muslim, menekankan bahwa Islam harus mendorong kesetaraan dan keadilan gender, termasuk melindungi anak-anak dari praktik pernikahan yang merugikan. Bagi mereka, tafsir Qur’an harus selalu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Kesimpulan

Kontroversi seputar ayat ini menunjukkan bahwa tafsir Qur’an dapat berbeda tergantung pada konteks sosial dan nilai-nilai yang berkembang. Sementara tafsir tradisional menyebutkan bahwa ayat ini berlaku untuk perempuan pra-pubertas, banyak ulama modern menolak tafsiran tersebut dan menyerukan pembacaan yang lebih kontekstual sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia saat ini.

Diskusi ini tidak hanya tentang pemahaman teks agama, tetapi juga penerapannya dalam masyarakat yang semakin maju. Reformasi hukum dan perubahan sosial menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan ajaran Islam relevan dan bermanfaat saat ini.

Dengan pendekatan inklusif, kita dapat mewujudkan nilai-nilai Islam yang mendukung kesejahteraan, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Upaya ini menjadi bagian dari perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkeadilan.

Editor: Soleh

Avatar
3 posts

About author
Alumni Aqidah Filsafat Islam UIN Jakarta
Articles
Related posts
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…
Tafsir

Dekonstruksi Tafsir Jihad

3 Mins read
Hampir sebagian besar kesarjanaan modern menyoroti makna jihad sebatas pada dimensi legal-formal dari konsep ini dan karenanya menekankan pengertian militernya. Uraiannya mayoritas…
Tafsir

QS Al-Waqi'ah Ayat 75-77: Allah Bersumpah Atas Ciptaannya

3 Mins read
Keindahan gaya bahasa Al-Qur’an telah menarik perhatian para ulama sepanjang masa. Hampir tidak ada satupun segi kebahasaan Al-Qur’an yang luput dari pembahasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds